Makalah Filsafat Islam Al Ghazali
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah mencatat bahwa perkembangan pemikiran dan kecerdikan sangatlah cepat, hal ini sanggup di lihat dari banyaknya filosof-filosof yang bermunculan dan bisa mempersembahkan bantuan positif lewat karya-karyanya yang mempuni dan banyak dijadikan reference bagi perkembangan dan kemajuan pemikiran insan ketika ini.
Dalam perkembangannya tidaklah sedikit para filosof terutama filosof muslim yang menjadi icon perubahan dari jaman ke jamannya, pun demikian dengan al-Ghazali ia dikenal dengan filosof yang banyak berperan aktif dalam pengembangan warisan intelektual berupa kekayaan kebudayaan yang tergambar dalam aneka macam bidang yang menjadi titik tolak keberangkatannya dalam membuat buah karya-karya ia yang luar biasa.
Dewasa ini pemikiran al-Ghazali sedikit banyaknya sudah mempersembahkan efek yang cukup signifikan dalam perkembangan watak dikalangan umat muslim, diantaranya terkena kajian watak yang senantiasa mempunyai korelasi dengan kehidupan jiwa lantaran ia terlebih lampau disematkan pada jiwa, hal tersebut menunjukan adanya korelasi watak dan kebahagiaan yang ialah tujuan dari watak itu sendiri.
Berkaitan dengan pernyataan di atas, dalam Pandangan al-Ghazali bahwa tujuan insan yang benar itu ialah kebahagiaan ukhrawi, kemudian ia menuturkan bagaimana cara mendapatkan kebahagian tersebut? kebahagiaan ukhrawi spesialuntuk bisa dicapai dengan cara mengendalikan sifat-sifat insan dalam perbuatan baik.
Oleh lantaran itu pemahaman wacana riwayat hidup al-Ghazali, al-Ghazali dan filsafatnya akan di paparkan dalam sebuah kajian khusus wacana al-Ghazali sebagai salah satu filosof muslim.
B. Rumusan Masalah
Kajian wacana al-Ghazali ini di batasi dengan rumusan perkara sebagai diberikut :
- Bagaimana Riwayat Hidup/singkat al-Ghazali?
- Rangkaian karya-karya yang dihasilkan oleh al-Ghazali?
- Filsafat al-Ghazali dan efek pemikiran-pemikirannya?
C. Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan Penulisan makalah ini ialah jawabanan terhadap serangkaian rumusan perkara di atas yakni :
- Untuk mengetahui riwayat hidup/ sejarah singkat salah satu filosof muslim yaitu al-Ghazali.
- Untuk mengetahui karya-karya al-Ghazali.
- Untuk mengetahui filsafat al-Ghazali dan efek pemikirannya.
- Untuk memenuhi salah satu kiprah kelompok pada matakuliah filsafat Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Riwayat Hidup/Singkat al-Ghazali
Nama lengkap al-Ghazali ialah Abu Hamid Muhammad Bin Muhammad Bin Ahmad al-Ghazali, bergelar “Hujjat al-Islam”. Lahir pada tahun 450 H/1058 M[1] di Ghazaleh, sebuah kota kecil yang terletak di akrab Thus (Wilayah Khurasan), Iran. Ada juga yang menyampaikan bahwa ia lahir pada tahun 1056, 1050, 1059 M. Nama al-Ghazali ini berasal dari al-ghazzal, yang artinya tukang pintal benang, lantaran pekerjaan ayah Ghazali ialah pemintal benang wol[2] sedangkan ghazali juga diambil dari kata ghazalah, yaitu sebuah nama kampung kelahiran al-Ghazali sehingga nama al-Ghazali dinisbatkan oleh orang kepada pekerjaan ayahnya atau dinisbatkan kepada daerah kelahirannya[3].
Pada usia 54 tahun bertepatan dengan tahun 505 H/1111 M al-Ghazali meninggal dunia, ayahnya ialah seorang yang baik, meninggal dunia waktu al-Ghazali masih kecil tetapi sebelum wafat dia sudah menitipkan al-Ghazali kepada seorang mitra sufi-nya dengan demikian, al-Ghazali pada usia kanak-kanak sudah mendapatkan pendidikan agama secara “privat” dari seorang sufi mitra ayahnya. Diperkirakan al-Ghazali hidup dalam suasana kesederhanaan sufi tersebut hingga usia 15 tahun (450-465 H).
Orang bau tanah al-Ghazali terutama ayahnya tergolong orang yang hidup sangat sederhana sebagai pemintal benang tetapi mempunyai semangat keagamaan yang tinggi menyerupai terlihat pada simpatiknya kepada ulama dan ia selalu mengharapkan semoga anaknya kelak menjadi ulama yang selalu memdiberi nasihat kepada umat.
namun amat diakungkan ajalnya tidak mempersembahkan peluang kepadanya untuk menyaksikan keberhasilan anaknya sesuai dengan do’anya. Namun sekali lagi diungkapkan bahwa beruntungnya sebelum meninggal ia sempat menitipkan al-Ghazali bersama saudaranya, Ahmad kepada seorang sufi, teman dekatnya untuk dibimbing dan dibina dengan baik.
Sejak kecil al-Ghazali dikenal sebagai anak yang senang menuntut ilmu pengetahuan karenanya tidak heran bila semenjak masa kanak-kanak, ia sudah berguru dengan sejumlah guru kota kelahirannya. Salah satu guru juga ulama besar Thus pada waktu itu ialah ahmad ibn Muhammad al-Radzikani. Sesudah usia cukup umur dia pergi ke kota Nisyafur salah satu kota sentra ilmu pengetahuan yang penting di dunia islam pada waktu itu. Dia kemudian menjadi anakdidik Imam al-Haramain (Iman 2 kota haram : Makkah dan Madinah) selaku Guru besar di Universitas al-Nizhamiyah-Nisyafur. Imam ini sangat menonjol keahliannya dalam dunia ilmu kalam al-As’ary bahkan ia pengikut setia aliran ini. Di universitas inilah al-Ghazali memperoleh ilmu pengetahuan menyerupai ilmu Fiqh, ilmu kalam, Retorika, Logika, Filsafat, Tasawuf, dan Ilmu-ilmu alam.
Sesudah Imam Haramain al-Jawaini meninggal dunia pada tahun 478 H/1085 M, al-Ghazali pindah dan berkunjung ke Mu’askar[4] disana dia berkenalan dengan Nihzam al-Muluk, perdana menteri saljuk. Nihzam al-Muluk ini ialah pendiri Univerisitas Nizhamiyah kemudian Nizham mempersembahkan kehormatan kepada al-Ghazali untuk mengadakan pertemuan diskusi dengan orang-orang terkemuka sehingga ia menetap di kota tersebut selama 6 tahun. Nizham al-Muluk tertarik dengan pemikirannya, kemudian memintanya untuk sanggup mempertahankan dan memperkokoh kepercayaan mahir sunnah dan terus mempersembahkan bahtahan terhadap ajaran-ajaran Bathiniyah, Ismailiyah, Golongan Filsafat, dll.
Pada usia 25 tahun sekitar 484 H/1091 M, al-Ghazali diangkat menjadi guru di Universitas Nizhamiyah-Baghdad, pengangkatan ini juga didasarkan atas reputasi ilmiahnya yang begitu hebat, kemudian ia juga mengajar di Syam dan Naisaburi. Sungguhpun namanya sudah cukup terkenal dan jumlah mahasiswanya semakin bertambah. Pengalaman hidup al-Ghazali di Universitas Nizhamiyyah ini dijelaskan dalam bukunya al-Munqiz min al-Dhalal, selama mengajar di daerah itu ia (al-Ghazali) menekuni dan mendalami filsafat secara otodidak, terutama pemikiran al-Farabi, Ibnu Sina, Ibn Maskawih dan ikhwan al-Shafa’. Penguasaannya terhadap filsafat terbukti dalam sebuah karyanya menyerupai al-Maqoshid al-Falsafah dan Tahafut al-Falasifah.
Dalam kurun waktu 4 tahun lamanya ia memangku jabatan tersebut, bergelimang dengan ilmu pengetahuan dan kemewahan duniawi, kemudian pada masa ini pula al-Ghazali al-Ghazali banyak menulis buku-buku ilmiah dan filsafat. Namun pada periode ini juga sekitar tahun 448 H/1095 M ia menderita krisis rohani sebagai jawaban perilaku kesangsiannya (al-Syak), yang oleh orang barat di kenal dengan skepticisme[5], yaitu krisis yang menyangsikan terhadap tiruana makrifah, baik yang bersifat empiris maupun rasional.
Di dalam hatinya kesangsian mulai muncul hal ini sanggup terlihat dari aneka macam pertanyaan yang ia keluarkan inikah ilmu pengetahua yang sebenarnya? Inikah kehidupan yang dikasihi Allah? Ini kah cara hidup yang diridhoi tuhan? melaluiataubersamaini mereguk madu dunia hingga dasar gelasnya, aneka macam pertanyaan timbul dari hati sanubarinya, kesyak-an terhadap daya serap indera dan olahan kecerdikan betul-betul yang kerap kali menyelimuti dirinya.
sehingga pada alhasil ia tetapkan untuk menyingkir dari dingklik kebemasukan ilmiyahnya di Baghdad dan mulai merangkak menuju mekah, kemudian ke Damaskus dan tinggal disana sambil mengisolir diri untuk diberibadah dan kontemplatif.
Dalam perjalanannya hidupnya al-Ghazali ia kembali ke kota kelahirannya, Thus ia masih tetap berkhalwat, keadaan inilah ia bisa menjadikan momentum untuk kembali menulis karyanya yang terbesar yakni Ikhya ‘ulum al-Din (the Revial of the Religius science-Menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama).
Kendati ada desakan dari penguasa saljuk kala itu, al-Ghazali diminta mengajar di Universitas Nizamiyah di Naisabur, tetapi spesialuntuk berlangsung selama 2 tahun kemudian kembali lagi ke Thus untuk mendirikan Madrasah bagi para Fuqoha hingga ia menghabiskan hari-hari terakhirnya dengan mengajar dan diberibadah sehingga dipanggil oleh yang Kuasa untuk kembali kehadirat-Nya pada tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H/1111 M dalam usia 55 tahun, namun perkara waktu al-Ghazali meninggal juga ada yang menyampaikan ia meninggal pada usia 54 tahun[6].
B. Buah Karya al-Ghazali
Buah Karya al-Ghazali diperkirakan mencapai 300 buah, karya tulisnya meliputi aneka macam disiplin ilmu pengetahuan, di bawah ini ialah beberapa warisan dari karya ilmiah yang paling besar pengaruhnya terhadap pemikiran umat Islam yakni di antaranya sebagai diberikut :
- Maqashid al-Falasifah (tujuan-tujuan para Filosof, sebagai karangan pertama dan meliputi masalah-masalah filsafat.
- Tahafut al-Falasifah (Kekacauan pikiran para Filosof), buku ini dikarang sewaktu ia berada di Baghdad tatkala jiwanya dilanda kegalauan/kesangsian.
Dalam buku ini, al-Ghazali mengecam filsafat dan para filsuf dengan keras.
- Mi’yar al-Ilm (Kriteria ilmu-ilmu).
- Ihya ‘Ulum al-Din (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama), buku ini ialah karyanya yang terbesar yang dikarangnya selama beberapa tahun dalam keadaan berpindah-pindah antara Damaskus, Yerusalem, Hijaz dan Thus yang meliputi pandua antara Fiqh, tasawuf dan filsafat.
- al-Munqidz min al-Dhalal (penyelamat dari kesesatan), buku ini ialah sejarah perkembangan alam pikiran al-Ghazali dan merefleksikan sikapnya terhadap beberapa macam ilmu serta jalan mencapai tuhan.
- al-Ma’arif al-Aqliyah (Pengetahuan yang rasional).
- Misykat al-Anwar (lampu yang bersinar banyak), buku ini meliputi pembahasan wacana watak dan tasawuf.
- Minhaj al-‘Abidin (Jalan mengabdikan diri kepada Tuhan).
- Al-Iqtishad fi al-I’tiqad (Moderasi dalam akidah).
- Ayyuha al-Walad (Wahai Anak).
- Al-Mustashfa.
- Iljam al-‘awwam’an “ilm al-Kalam”.
- Mizan al-‘Amal (Timbangan Amal).
Dari hasil pemaparan di atas sanggup di lihat bahwa al-Ghazali dalam hidupnya sudah menepuh aneka macam jalan dan mereview aneka macam madzhab, dimulai sebagai seorang aturan islam, berbalik menjadi seorang teolog muslim, berpindah sebagai filosof muslim dan berakhir sebagai seorang sufi.
Orang boleh tidak sama pandangan wacana siapa al-Ghazali, apakah ia seorang filosof ataukah seorang sufi? untuk mengetahui lebih jelasnya tentunya harus di ketahui lebih dalam wacana mereka, Kalau kita mulai mengkaji al-Ghazali lewat pintu gerbang karyanya “Maqasid al-Falasifah” atau “Tahafut al-Falasifah” atau lewat ‘Mi’yar al-Ilm”nya, maka kita akan berkesimpulan bahwa al-Ghazali ialah seorang filosof, dan dia bukanlah seorang sufi. Tapi kalau kita masuk kepemikiran al-Ghazali lewat pintu gerbang “Ihya Ulum al-Din” atau kitab “Arba’in” atau juga lewat ‘al-Munqidz min al-Dhalal”, maka kita akan berkesimpulan bahwa al-Ghazali ialah seorang sufi, tidaklah dia seorang filsuf.
Umurnya yang pendek ini cukup besar keuntungannya bagi dunia ilmu pengetahuan meskipun ia sudah meninggal dunia namun hasil karyanya tetap hidup di tengah-tengah dunia ilmiah. Keluasan ilmunya, kelancaran gaya bahasanya dengan argumentasi-argumentasi yang sukar dipatahkan membuat hasil-hasil karyanya menjadi pola para ilmuan. Karya tulisnya meliputi aneka macam disiplin ilmu pengetahuan, buah tangannya ini tidak sedikit di alih-bahasakan orang ke dalam aneka macam bahasa di Eropa. Warisan dari karya ilmiahnya mempunyai efek yang besar terhadap pemikiran umat Islam.
C. al-Ghazali dan Filsafatnya
Untuk mengkaji korelasi al-Ghazali dengan filsafat, dimulai dari jawabanan atas suatu pertanyaan yang paling fundamental dan paling sering dimunculkan, yaitu apakah benar al-Ghazali sanggup dikategorikan dalam barisan para filosof? Bukankah al-Ghazali seorang teolog?
Sikap al-Ghazali dalam dua bukunya Tahafut al-Falasifah dan al-Munqidz min al-Dhalal yang menentang para filosof, bahkan menempelkan label kekufuran kepada para filosof, sudah menimbulkan perilaku pro dan kontra terhadap dirinya. Akibatnya al-Ghazali ditempatkan sebagai sosok yang perdebatan dengan para filosof, bahkan al-Ghazali dan pemikiran-pemikirannya dituding sebagai orang yang mengharamkan filsafat. Berdasarkan hal itu, tidak sedikit orang yang menamkan kebencian terhadap al-Ghazali dan pemikiran-pemikirannya. Menyikapi fenomena ini tentunya perlu upaya penjernihan dan kajian yang mendalam wacana filsafat dalam pandangan al-Ghazali yang sesungguhnya, sehingga kajianya tidak membingungkan para pembaca dan audiens dalam memahami sosok al-Ghazali ini.
Al-Ghazali ialah tokoh fenomenal sekaligus mempunyai keunikan tersendiri di banding filosof lain. Hal itu dibuktikan al-Ghazali sebagai sosok yang mendalami filsafat sekaligus mengKoreksinya. Filsafat intinya ialah proses pencarian kebenaran, adapun kebenaran yang dicari al-Ghazali ialah suatu kebenaran sejati, yaitu kebenaran yang diyakini betul-betul ialah kebenaran.
Corak pemikiran al-Ghazali pada mulanya ialah sama dengan para filosof yang lainnya, ia memandang pengetahuan itu ialah hal-hal yang bisa ditangkap oleh panca indera, namun dia beropini pula bahwa panca indera juga mempunyai belum sempurnanya, lantaran ketidakpercayaan pada indera kemudian ia meletakan kepercayaan pada akal, tetapi kecerdikan juga tidak bisa dipercaya lantaran dia melihat bahwa aliran-aliran yang memakai kecerdikan sebagai sumber pengetahuan, ternyata menghasilkan pemandangan berperihal yang juga susah diselesaikan oleh akal.
Kondisi ini menggambarkan kebemasukan al-Ghazali, menyerupai yang terungkap dalam bukunya Maqasid al-Falasifah dan Tahafut al-Falasifah. Buku Maqashid al-Falsifah meliputi tiga perkara filsafat, yaitu logika, ketuhanan dan Fisika yang diuraikan dengan sejujurnya, seolah dia filosof yang menulis wacana kefilsafatan sehabis itu, ia menulis buku diberikutnya, yaitu Tahafut al-Falasifah di mana ia bertindak bukan filosof melainkan seorang tokoh islam yang hendak mengKoreksi filsafat dan menunjukan kelemahan-kelemahan serta kejanggalan-kejanggalannya, yaitu dalam hal yang berlawanan dengan agama[7].
Sebelum melaksanakan interupsi atas semangat filsafat, al-Ghazali membuat pembagian terstruktur mengenai para filosof yang dirumuskan dalam tiga Golongan yakni :
1. Filosof Materialis (Dahriyyun)
Mereka ialah para Fisosof yang menyangkal adanya tuhan. Sementara itu, Kosmos ini ada dengan sendirinya menyerupai Empedokles (490-430 SM) dan Demokritus (460-360 SM). Menurut al-Ghazali, golongan ini menyangkal keberadaan pencipta dan pengatur alam. Golongan ini menganggap bahwa ala mini sudah ada dengan sendirinya semenjak azali.
2. Filosof Naturalis (Thabi’iyyun)
Mereka ialah para filosof yang melaksanakan aneka macam penelitian di ala mini melalui penyelidikan-penyelidikan tersebut mereka cukup banyak menyaksikan keajaiban-keajaiban yang memaksa mereka untuk mengakui adanya maha pencipta di alam ini. Walaupun begitu, mereka tetap mengingkari Allah dan Rasul-Nya dan hari berbangkit, mereka tidak mengenal pahala dan dosa alasannya ialah mereka spesialuntuk memuaskan nafsu menyerupai hewan.
3. Filosof Ketuhanan/theis (Ilahiyun)
Para filosof ini dipandang lebih moderat lantaran memakai sistematika pemikiran yang lebih mapan ketimbang kalangan-kalangan yang sebelumnya. Al-Ghazali memasukan nama-nama Filsofof Yunani Klasik menyerupai Sokrates, Plato dan Aristoteles. Aristoteles sudah menyanggah pemikiran filosof sebelumnya yaitu materialis dan naturalis, namun ia sendiri tidak sanggup membebaskan diri dari sisa-sisa kekafiran dan keheredoksian, oleh lantaran itu, ia sendiri termasuk orang kafir. Tidak spesialuntuk hingga itu, Al-Ghazali mempersembahkan klaim yang sama pada para filosof yang mengikuti dan merujuk pada filsafat mereka, termasuk para filosof muslim. meski demikian, al-Ghazali tidak serta merta menganggap tiruana tema pemikiran filsafat itu sesat dan bisa menimbulkan kekufuran.
Kitab Maqasid al-Falasifah (Pemikiran kaum filosof), dalam buku ini ia menerangkan pemikiran-pemikiran Filsafat dan ditujukan untuk mengKoreksi dan menghancurkan filsafat. Krtikan itu yang mempelopori lahirnya buku Tahafut al-Falasifah (Kerancuan pemikiran-Pemikiran filosof)[8].
Fenomena ini yang menyulut sebagian para pemikir dengan mempersembahkan justifikasi bahwa al-Ghazali bukanlah seorang filosof, lantaran al-Ghazali tidak mengarang buku filsafat dan spesialuntuk menyerang filsafat bahkan al-Ghazali meyakini bahwa kebenaran yang bisa menjawaban keraguan-raguannya ialah tasawuf bukan ilmu kalam dan filsafat.
Dalam irit penulis ketika ada evaluasi bahwa al-Ghazali bukan filosof berdasarkan argumentasi di atas, kesimpulannya tidaklah sesederhana itu lantaran ketika al-Ghazali mendalami pemikiran para filosof dan melaksanakan koreksi terhadap filsafat, sesungguhnya secara tidak sadar ia sedang berfilsafat.
melaluiataubersamaini demikian filsafat dalam pandangan al-Ghazali bukanlah sesuatu yang haram, adanya pandangan dari sekelompok orang bahwa al-Ghazali mengharamkan filsafat berdasarkan pada bentuk penyerangan al-Ghazali terhadap filsafat, padahal al-Ghazali tidak menyerang filsafat secara keseluruhan.
Pada dasarnya, al-Ghazali tidak menyerang tiruana cabang filsafat, kecuali filsafat ketuhanan (Metafisika). Al-Ghazali menyerang kaum filosof dalam kitab tahafut al-Falasifah lantaran mereka berlebihan dalam memakai kecerdikan dan tetapkan sesuatu tanpa bukti atas nama kecerdikan disamping menafikan sesuatu yang tidak ada dalil-dalil syara yang menafikannya.[9] Sebagai upaya pembuktian al-Ghazali menyimpulkan bahwa filsafat Aristoteles yang disalin dan disebarluaskan oleh al-Farabi dan Ibnu Sina terbagi menjadi 3 kelompok :
1. Filsafat yang tidak perlu disangkal, dengan arti sanggup diterima
2. Filsafat yang harus dipandang bid’ah (heteredoksi)
3. Filsafat yang harus dipandang kafir[10]
Menurut al-Ghazali, lapangan Filsafat spesialuntuk ada Enam : Matematika, Logika, Fisika, Metafisika, Politik dan Etika. Hubungan antara tiap disiplin dengan agama tidak selamanya berbentuk sama, ada tema kajian yang tidak berperihalan dengan agama dan ada pula yang berlawanan dengan agama. Al-Ghazali sudah menyatakan bahwa agama tidak melarang insan dan tidak juga memerintahkan insan untuk mempelajari matematika.
Al-ghazali mempersembahkan dua catatan keberatannya terhadap matematika, pertama kebenaran yang matematis bukan ialah kebenaran filsafat yang seutuhnya. Kedua, kebodohan umat islam sudah membuat kajian matematika dianggap bisa menguatkan agama.
Adapun wacana logika, al-Ghazali mengganggap pelajaran ini tidak ada hubungannya dengan agama, lantaran baginya kecerdikan spesialuntuk kajian yang meliputi penyelidikan wacana alasan-alasan dalam pembuktian sebuah kebenaran, kias-kias (silogisme) dan syarat-syarat pembuktiannya saja.
Seperti juga dalam logika, al-Ghazali mendiskreditkan pemikiran metafisika para filosof lantaran menurutnya, para filosof spesialuntuk menghasilkan pemikiran yang salah, para filosof tidak melaksanakan ketelitian yang baik dalam perkara ketuhanan dalam perkara inilah al-Ghazali menolak filsafat dan menyusun sanggahan-sanggahan yang bersarat ideologis dalam karya yang dianggap luar biasa oleh para pengikutnya “Tahafut al-Falasifah”.
Menurut al-Ghazali ada dua puluh perkara ihwal ketuhanan yang menjadi titik kesalah para filosof sehingga al-Ghazali mempersembahkan komentar terhadap dua puluh perkara itu sebagai diberikut :
- Membatalkan pendapat mereka bahwa alam ini ini azali.
- Membatalkan pendapat mereka bahwa alam ini abadi.
- Menjelaskan kegalauan mereka bahwa Allah-lah pencipta alam semesta dan ala mini ciptaan-Nya.
- Menjelaskan kelemahan mereka dalam membuktikan yang maha pencipta.
- Menjelaskan kelemahan mereka dalam tetapkan dalil tidak mungkin adanya ilahi dua.
- Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak punya sifat
- Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak terbagi ke dalam al-Jin dan al-Fashl
- Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah mempunyai substansi basith (simple) dan tidak mempunyai mahiyah (hakikat).
- Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah tidak berjisim.
- Menjelaskan kelemahan pendapat mereka wacana al-dahr (abadi dalam arti tidak bermula dan tidak berakhir).
- Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah mengetahui yang selainya.
- Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa allah tidak mengetahui Juz’iyyat.
- Menjelaskan pendapat mereka bahwa plguat-plguat ialah binatang yang bergerak dengan kemauan-Nya.
- Menjelaskan pendapat mereka bahwa membuktikan bahwa Allah spesialuntuk mengetahui Zat-Nya.
- Membatalkan apa yang mereka sebutkan wacana tujuan penggerak dari plguat-plguat.
- Membatalkan pendapat mereka bahwa plguat-plguat mengetahui tiruana yang juz’iyyat.
- Membatalkan pendapat mereka yang mengatakan bahwa tidak mungkin terjadinya sesuatu di luar aturan alam.
- Menjelaskan pendapat mereka bahwa roh insan ialah jauhar (substansi) yang berdiri sendiri tidak mempunyai tubuh.
- Menjelaskan pendapat mereka yang menyatakan mustahilnya fana (lenyap) jiwa manusia.
- Membatalkan pendapat mereka yang menyatakan bahwa badan tidak akan dibangkitkan dan yang akan mendapatkan kesenangan dalam nirwana dan kepedihan dalam neraka spesialuntuk Roh.[11]
Tiga dari kedua puluh perkara di atas, berdasarkan al-Ghazali membuat filosof menjadi kafir yaitu :
- Nomor 1, yakni kepercayaan wacana Qadimnya alam dan keazaliannya.
- Nomor 13, yakni bahwa Allah tidak mengetahui Juz’iyyah atau spesialuntuk mengetahui yang besar-besar saja.
- Nomor 20, yakni pengingkaran kebangkitan jasmaniyah/tubuh di hari akhirat.
Dalam pandangan al-Ghazali, siapapun orang yang meyakini salah satu atau ketiga perkara di atas, maka orang tersebut berstatus kafir, lantaran dalam pedoman islam tidak ada aliran atau Madzhab manapun yang meyakini ketiga perkara tersebut. INI pecahan dari filosof al-Ghazali yang banyak menggemparkan para filosof. Disamping itu, pada analisis dan koreksi tersebut al-Ghazali sudah menunjukan kebemasukannya dalam berfilsafat, sehingga ia tidak sanggup diragukan lagi untuk menyandang gelar filosof Islam.
Di bawah ini akan akan sedikit diuraikan wacana filsafat yang di kemukakan oleh al-ghazali :
1. Filsafat Ketuhanan
Al-ghazali memandang hal metafisika (ketuhanan), dengan mempersembahkan reaksi keras terhadap neo-Pletonisme Islam, menurutnya banyak kesalahan para filosof, lantaran mereka tidak teliti dalam lapangan kecerdikan dan matematika. Untuk itu, al-Ghazali mengecam secara eksklusif dua tokoh Neo-Platonisme muslim (Al-Farabi dan Ibnu Sina) dan secara tidak eksklusif terhadap Aristoteles, guru mereka. Menurut Al-Ghazali dalam bukunya tahafut al-Fasasifah para pemikir bebas tersebut ingin meninggalkan keyakinan-keyakinan islam dan mengabaikan dasar-dasar pemujaan ritual, dengan menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak mempunyai kegunaan bagi pencapaian intelektual mereka.
Konsep ketuhanan berdasarkan al-Ghazali terdiri dari tiga perkara pokok, yakni :
a. Masalah Wujud
Dalam tetapkan wujud ilahi ini al-Ghazali mengikuti tradisi ulama kalam al-Asyari, ia memakai dalil wujud ilahi itu atas dua bentuk yaitu dalil aqli dan dalil aqli, penerapan dalil naqli yakni melalui perenungan terhadap ayat-ayat al-Qur’an sambil memperhatikan alam semesta sebagai ciptaaan tuhan, dimana dengan perenungan ayat dan fenomena alam yang serba teratur insan akan hingga mengakui wujud tuhan.
Al-Ghazali dalam membuktikan wujud ilahi melalui dalil aqli, al-Ghazali memperperihalkan wujud Allah dengan wujud makhluk. Wujud Allah ialah Qadim sedangkan wujud makhluk ialah hadis. Wujud yang hadis (baharu) menghendaki alasannya ialah gerak yang menlampaui nya sebagai penggerak yang meng-adakannya. Sebab musabab ini tidak akan berakhir sebelum hingga kepada yang Qadim yang tidak dicipta dan digerakan. Sedangkan wujud Allah SWT bila ia hadis, tentu akan menghendaki alasannya ialah musabab menyerupai itu juga, yang sudah niscaya tak aka nada pertama pokok geraknya. Hal demikian, ialah suatu hal yang tidak mungkin dan tak akan menghasilkan apa-apa.
b. Masalah Dzat dan Sifat
Dalam mengulas wacana dzat tuhan, al-Ghazali membatasi diri dengan mengemukakan hadits Nabi SAW yang melarang insan memikirkan dzat Allah SWT, dari itu ia menegaskan, bahwa kecerdikan insan tidak akan hingga mencapai dzat itu, cukup bagi insan spesialuntuk mengetahui sifat af’alnya saja. Sedangkan dalam mengulas wacana sifat Tuhan, Al-Ghazali cenderung untuk mengikuti para mutakalimin dari madzhab al-Asyari. Beliau tetapkan adanya sifat dzat yang diistlahkan dengan sifat salbiyah, yakni sifat yagng menafikan sesuatu yang tidak sesuai dengan kesempurnaan zat Allah SWT. Sifat salbiyah ini ada lima macam yakni, Qidam (tidak bepermulaan), Baqa (Kekal), Mukhalafathu lil hawaditsi (berlainan dengan baharu), Qiyamuhu binafsihi (berdiri sendiri) dan Wahdaniyyah (Esa).
c. Masalah Af’al
Dalam Masalah ini al-Ghazali beropini bahwa perbuatan Allah SWT tidak terbatas dalam membuat alam saja, tetapi Allah SWT juga membuat perbuatan insan dan ikhtiarnya. Perbuatan insan tidaklah terlepas dari kehendak Allah SWT, insan spesialuntuk didiberikan kekuasaan dalam lingkungan kehendak tuhan, jadi perbuatan dan ikhtar insan ialah terbatas dan tidak akan melampaui garis-garis Qadar, dalam menguraikan wacana af’al ini al-Ghazali mengembalikan permasalahan kepada firman Allah SWT QS. al-Fathir ayat 8.
2. Tasawuf Al-Ghazali
Al-Ghazali dikenal sebagai orang yang haus akan segala ilmu pengetahuan, ia berusaha sekeras mungkin agar dapat mencapai suatu keyakinan dan mengetahui hakikat segala sesuatu sehingga ia bersikap kritis dan kadang ia tidak percaya terhadap adanya kebenaran tiruana (0xioma atau sangat mendasar) namun pada kedua pengetahuan ini pun ia alhasil tidak percaya (Skeptis)[12]
Keyakinan al-ghazali bahwa tasawuflah yang sanggup menghilangkan rasa syak yang usang menggangu dirinya juga dalam tasawuflah ia memperoleh keyakinan yang dicari-carinya, itulah yang membuat al-Ghazali memperoleh keyakinan kembali, ada kata yang sangat indah sekali yakni :
“Cahaya itu ialah kunci dari kebanyakan pengetahuan dan siapa yang menyangka bahwa kasyf (pembukaan tabir) bergantung pada argument-argument, sebetulnya talah mempersempit Rahmat ilahi yang demikian luas, adapun cahaya yang dimaksud ialah cahaya yang disinarkan ilahi kedalam hati sanubari seseorang”.
Sampai kepada garis kesimpulan bahwa satu-satunya yang menimbulkan keyakinan akan kebenaran bagi al-Ghazali ialah pengetahuan yang diperoleh secara eksklusif dari ilahi dengan tasawuf, dan Rupaya dengan adanya gagasan dari al-Ghazali dalam dunia tasawuflah, tasawuf seolah bangun kembali dari pulasnya juga menjadi kajian yang menarikdanunik dan banyak digandrungi oleh orang-orang.
3. Filsafat Etika/Akhlak Al-Ghazali
Al-Ghazali dalam menta’rifkan/mengenalkan/ mendekatkan akhak dengan uraian diberikut : Akhlak ialah sifat yang tertanam di dalam jiwa dimana timbul perbuatan-perbuatan dan tindak –tanduk dengan praktis dan praktis tanpa memerlukan pikiran dan pertimbangan, jadi watak ialah milik jiwa yang menjadi sifat seseorang manusia, yang dengan sifat itu secara praktis ia sanggup berbuat.
Adapun dalam mendefiniskan etika atau akhlak, Al-Ghazali mempunyai banyak kesamaan dengan ibnu maskawih yaitu suatu keadaaan jiwa yang mantap yang direfleksikan dalam bentuk perbuatan-perbuatan praktis tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan, kesamaan Ibnu Maskawih dengan al-Ghazali dan Tusi juga tampak dalam pembicaraan wacana upaya jiwa, kekuatan dan sifat-sifatnya lantaran jiwalah sebagai sumber kebaikan, kebahagiaan dan sebaliknya.
Filsafat etika al-Ghazali sanggup kita lihat pada teori tasawufnya dalam bukunya Ihya ‘Ulumudin, dengan kata lain, filsafat etika al-Ghazali ialah teori tasawufnya, tujua pokok dari etika al-Ghazali terdapat pada semboyan tasawuf yang terkenal : al-Takhalluq bi-Akhlaqihii ‘ala thaqatil Basyariyah, maksudnya ialah semoga insan sejauh kesanggupannya meniru-niru perangai dan sifat-sifat ketuhanan menyerupai pengasih, penyayang, pengampun (pemaaf), dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, Sabar, jujur , Taqwa, Zuhud, Ikhlas, beragama dan sebagainya.
Menurut al-Ghazali watak insan intinya ada dalam keadaan seimbang dan yang memperburuk itu ialah lingkungan dan pendidikan, kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan itu tercantum dalam syariah dan pengetahuan akhlak.
Tentang pembagian terstruktur mengenai jiwa insan pun al-Ghazali membaginya kedalam tiga daya : yaitu Daya Bernafsu (al-Nafs al-Bahimiyah), dan Berani (al-Nafs al-Sabuiyaah) dan daya berfikir (al-Nafs al-Natiqoh), daya berangasan dan berani berasal dari ruh ilahi yang tidak akan mengalami kehancuran.
4. Pengaruh Pemikiran-Pemikiran al-Ghazali
Pengaruh Pemikiran al-Ghazali terhadap perkembangan peradaban Islam sangat kuat besar lantaran pemikiran-pemikiran al-Ghazali sesuai dengan pedoman Islam. Banyak kitab karangan al-Ghazali ialah upayanya untuk memmembersihkankan hati umat Islam dari kesesatan sekaligus pembelaan terhadap serangan-serangan pihak luar, baik Islam maupun Barat (Orientalis), lantaran Jasanya dalam mengomentari dan melaksanakan pembelaan terhadap aneka macam serangan-serangan , ia didiberikan gelar “Hujjatul Islam”, tentu saja gelar tersebut bukan sembarang gelar dan tidak ada seorang pun yang didiberikan gelar sebelumnya, gelar tersebut didiberikan kepada a-Ghazali didasarkan pada pemikiran al-Ghazali yang sangat baik da berpengaruh.
Al-Ghazali hingga ketika ini barang kali tidak berlebihan apabila dikatakan sebagai pemikir besar dalam Islam, ia sudah mempersembahkan efek besar dan mempersembahkan wajah gres dalam Islam. Dalam menafsirkan Filosofis yang dilakukan oleh Filosof Islam sebelumnya tidak mempersembahkan pemikiran yang berpusat pada Islam, melainkan mereka banyak tertuju pada masalah-masalah klasik yang terdapat dalam pemikiran Yunani. Demikian pula, ulama kalam dalam memerangi filsafat, tidak ada seorang pun yang dikerjakan al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah, ia menguji setiap pemikiran filosof dan menunjukan kelemahannya.
Melalui karyanya yang luar biasa dan karya terbesarnya yakni kitab Ihya ‘Ulumuddin banyak para sufi berpegang secara esensial terhadap kitab itu, mereka sehabis mengkajinya banyak menemui kepuasaan sehingga menemukan benteng yang kuat. melaluiataubersamaini begitu, al-Ghazali sudah mencapai hakikat agama yang belum pernah ditemukan orang-orang sebelumnya dan mengembalikan kepada pedoman agama serta nilai-nilainya yang utuh, bagi al-Ghazali jalan yang paling akrab kepada Allah SWT ialah melalui hati, dari sinilah ia juga sudah membuka pintu Islam seluas-luasnya untuk Sunni.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Nama lengkap al-Ghazali ialah Abu Hamid Muhammad Bin Muhammad Bin Ahmad al-Ghazali, bergelar “Hujjat al-Islam”. Lahir pada tahun 450 H/1058 M[13] di Ghazaleh, sebuah kota kecil yang terletak di akrab Thus (Wilayah Khurasan), Iran. Ada juga yang menyampaikan bahwa ia lahir pada tahun 1056, 1050, 1059 M.
Dalam bukunya Tahafut al Falasifah Al Ghazali menyampaikan bahwa para filusuf sudah banyak mengungkapkan argumentasi yang berperihalan dengan Al Qur’an sehingga dia menganggap para filusuf sudah mgningkari Al Qur’an dan ia menyampaikan bahwa mereka ialah orang-orang kafir.
Adapun hal-hal yang dilanggar oleh para filusuf berdasarkan Al Ghazali ada 20 perkara yaitu 16 dalam bidang metafisika dan 4 dibidang fisika namun dari 20 hal itu 17 hal digolongkan dalam Ahl al Bida’ dan berkenaan dengan 3 hal lainnya para filusuf dikatakan sebagaii orang kafir.
Dalam bukunya The Incoherence of the philosophers (Tahafut al-Falasifah), Al-Ghazali membentangkan dua puluh pernyataan yang ia coba buktikan kesalahannya. Tujuh belas di antaranya menimbulkan bid’ah lantaran dianggap menyimpang dari pedoman yang asli, yakni Alquran. Dan, tiga di antaranya benar-benar membuktikan apa yang ia ka tegorikan sebagai orang yang tidak diberiman, bahkan dengan tuduhan yang lebih berat lagi.
Mengenai pandangan yang keliru dari para filsuf ini, Al-Ghazali mengungkapkan pendapatnya sebagaimana ia paparkan dalam bukunya yang berjudul Munqidh min adh-Dhalal bahwa “kekeliruan para filsuf terdapat dalam ilmu-ilmu metafisik. Karena ternyata mereka tidak sanggup mempersembahkan bukti-bukti yang niscaya berdasarkan persyaratan yang mereka perkirakan ada dalam logika. Karya yang terbesar dari al-Ghazali ialah kitab Ihya al’ulumudin.
B. Saran
Makalah yang kami sajikan ini tidaklah terlepas dari kehilafan dan belum sempurnanya oleh karenanya Koreksi dan masukan yang konstruktif sangat kami harapkan dari para pakar dan pembaca sekalian.
Semoga makalah ini mempersembahkan manfaat dalam menopang perkembangan informasi baik bagi para penyaji khususnya dan umumnya pada tiruana yang membaca makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Hermawan, A. Heris dan Yaya Sunarya. 2011. Filsafat Islam. Bandung : Cv Insan Mandiri.
Basri, Hasan dan Zaenal Mufti. 2009. Filsafat Islam. Bandung : Cv Insan Mandiri.
Nasution, Hasyimsyah. 1998. Filsafat Islam. Jakarta : Gaya Media Pratama.
Zar, Sijaruddin. 2004. Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada.
Oiver, Leman. 2001. “Pengantar filsafat islam” Sebuah Pendekatan Tematis, Bandung : Mizan Media utama.
Supriyadi, Dedi. 2002. Pengantar Filsafat Islam. Bandung : Pustaka Setia
[1] Sirajuddin, Filsafat Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 155.
[2] Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1995). hlm. 41
[3] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1995), hlm.77
[4] Majid Fakhri; Sejarah Filsafat Islam; h : 304-305
[5] Skepticisme, al-Syak, lebih tepat diartikan dengan sangsi, bukan galau. Sangsi ialah perilaku mental terhadap suatu kebenaran/pengetahuan yang belum sanggup diketahui kebenarannya. Sangsi mendorong insan untuk mengadakan penyelidikan lebih lanjut. Sementara ragu, perilaku mental yang tidak berani mengambil keputusan untuk bertindak. Lihat IR. Poerdjawijatna, Tahu dan Pengetahuan, (Jakarta: Bina Aksara, 1983), hlm. 20.
[6] Ibid, hal.68
[7] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Bulan Bintang Jakarta 1996 hal 143.
[8] Harun Nasution, hal 30-31
[9] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam; Konsep Filosof dan Ajarannya, Bandung Pustaka setia, 2009 hal. 157
[10] Sijaruddin Zar, hal 161.
[11] Sirajuddin Zar, hal 162-163, lihat pula untuk lebih jelasnya al-Ghazali “Tahafut al-Falasifah” dalam Takhlik sulaiman Dunia (Kairo Darl Ma’arif, 1962) hal 66-87.
[12] A. Mustafa, Filsfat Islam (Bandung, Pustaka setia, 2007), hal. 224
[13] Sirajuddin, Filsafat Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 155.
0 Response to "Makalah Filsafat Islam Al Ghazali"
Posting Komentar