Fungsi Aturan Pidana Internasional Korelasinya Dengan Kejahatan Transnasional Khususnya Tindak Pidana Korupsi

FUNGSI HUKUM PIDANA INTERNASIONAL DIHUBUNGKAN
DENGAN KEJAHATAN TRANSNASIONAL KHUSUSNYA TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI

Oleh: Dr. LILIK MULYADI, S.H., M.H.[1]

I.      Penlampauan
        Pada dasarnya, berdasarkan Romli Atmasasmita istilah Hukum Pidana Internasional atau Internationale Strafprocessrecht tiruanla diperkenalkan dan dikembangkan oleh pakar-pakar aturan internasional dari Eropa daratan seperti: Friederich Meili pada tahun 1910 (Swiss) Georg Schwarzenberger pada tahun 1950 (Jerman); Gerhard Mueller pada tahun 1965 (Jerman); J.P. Francois pada tahun 1967; Rolling pada tahun 1979 (Belanda); Van Bemmelen pada tahun 1979 (Belanda), kemudian diikuti oleh para pakar aturan dari Amaerika Serikat seperti: Edmund Wise pada tahun 1965 dan Cherif Bassiouni pada tahun 1986 (Amerika Serikat).[2]
        Ditinjau dari substansinya maka aturan pidana internasional itu sendiri mengatakan adanya sekumpulan kaidah-kaidah dan asas-asas aturan pidana yang mengatur tentang kejahatan internasional.[3] Akan tetapi, bergotong-royong pengertian Hukum Pidana Internasional tidaklah sesederhana itu.  Ruang lingkup dan dimensi dari Hukum Pidana Internasional teramat luas dan bahkan mempunyai 6 (enam) pengertian. Romli Atmasasmita lebih lanjut sebut keenam pengertian Hukum Pidana Internasional tersebut mencakup beberapa aspek aspek-aspek sebagai diberikut:
(1)   Hukum Pidana Ingternasional dalam arti lingkup teritorial pidana nasional (internasional criminal law in the meaning of the territorial scope of municipal criminal law) ;
(2)   Hukum Pidana Internasional dalam arti kewenangan internbasional yang terdapat di dalam aturan pidana internasional (international criminal law in the meaning of internationally priscribel municipal criminal law);  
(3)   Hukum Pidana Internasional dalam arti kewenangan internasional yang terdapat dalam aturan pidana nasional
(international criminal law in the meaning of internationally authorised municipal criminal law);
(4)   Hukum Pidana Internasional dalam arti ketentuan aturan pidana nasional yang diakui sebagai aturan yang patut dalam kehidupan masyarakat bangsa yang beradab (international criminal law in the meaning of municipal criminal law common to civilised nations);
(5)   Hukum Pidana Internasional dalam arti kolaborasi internasional dalam prosedur manajemen peradilan pidana nasional
(international criminal law in the meaning of international co-operation in the administration of municipal criminal justice);
(6)   Hukum Pidana International dalam arti materiil (international criminal law in the material sense of the word).[4]

          Asumsi di atas menegaskan bahwa Hukum Pidana Internasional teramat luas bukan saja dalam arti lingkup teritorial aturan pidana nasional, akan tetapi juga mencakup aspek internasional baik dalam arti kewenangan internasional yang terdapat dalam aturan pidana nasional, prosedur manajemen peradilan pidana nasional serta aturan pidana internasional dalam arti materril.
          Secara universal dan kasuistik maka ada hubungan akrab antara Hukum Pidana Internasional dengan kejahatan transnasional. Tegasnya, lantaran ada hubungan sedemikian akrab antara Hukum Pidana Internasional dengan kejahatan transnasional yang demikian kompleks baik terkena cara melakukannya (modus operandi), bentuk dan jenisnya, serta locus dan tempus delicti yang lazimnya melibatkan beberapa negara dan sistem aturan pelbagai negara. Kejahatan transnasional ialah kejahatan-kejahatan yang bergotong-royong yaitu nasional yang mengandung aspek transnasional atau lintas batas negara. Jadi, terjadinya kejahatan itu sendiri bergotong-royong di dalam batas-batas wilayah negara (nasional) akan tetapi dalam beberapa hal terkait kepentingan negara-negara lain, sehingga nampak adanya dua atau lebih negara yang berkepentingan atau yang terkait dengan kejahatan itu. Dalam praktiknya, tentu ada banyak faktor yang menimbulkan terkaitnya kepentingan lebih dari satu negara dalam suatu kejahatan. Tegasnya, kejahatannya sendiri yaitu nasional, tetapi kemudian terkait kepentingan negara atau negara lainnya, maka nampaknya sifatnya yang transnasional. Misalnya, khusus tindak pidana korupsi, dimana pelaku (offender) maupun aset hasil korupsi tersebut kemudian disimpan di negara lain sehingga sehingga tidak saja mencakup batas wilayah negara yang bersangkutan tetapi juga memasuki wilayah negara lain.

II.   Fungsi Hukum Pidana Internasional Dihubungkan melaluiataubersamaini Kejahatan Transnasional Khususnya Terhadap Tindak Pidana Korupsi
           Hukum Pidana Internasional atau international criminal law atau internationale strafprocessrecht ialah cabang ilmu aturan yang relatif baru. Romli Atmasasmita sebut pengembangan Hukum Pidana Internasional sebagai salah satu cabang ilmu aturan dimulai oleh pekerjaan Gerhard O.W. Mueller dan Edmund M. Wise yang sudah menyusun suatu karya tulis International Criminal Law dalam rangka proyek penulisan di bawah judul Comparative Criminal Law Project dari Universitas New York. Pekerjaan ini kemudian dilanjutkan oleh Bassiouni dan V. Nada (1986), yang sudah menulis sebuah karya tulis A Treatise on International Criminal Law (1973).[5]
           sepertiyang apa yang sudah diterangkan di atas maka eksistensi Hukum Pidana Internasional hakikatnya teramat penting khususnya apabila dihubungkan dengan kejahatan transnasional. Apabila dijabarkan lebih lanjut maka pada pokoknya bergotong-royong ada 4 (empat) fungsi dari Hukum Pidana Internasional. Adapun keempat fungsi tersebut yaitu sebagai diberikut:
1.      Agar aturan nasional di masing-masing negara dipandang dari sudut aturan pidana internasional sama derajadnya. Dari aspek ini, maka menempatkan negara-negara di dunia ini tanpa memandang besar atau kecil, berpengaruh atau lemah, maju atau tidaknya, mempunyai kedudukan yang sama antara satu dengan lainnya. Oleh lantaran itu, maka aturan masing-masing diantara negara-negara mempunyai kedudukan yang sama.
2.      Agar tidak ada intervensi aturan antara negara satu dengan yang lain. Tegasnya, biar negara besar tidak melaksanakan intervensi aturan terhadap negara yang lebih kecil. Apabila dijabarkan lebih jauh maka fungsi kedua dari Hukum Pidana Internasional ini ialah penjabaran dari asas non-intervensi. Menurut asas ini, maka suatu negara dihentikan campur tangan atas dilema dalam negeri negara lain, kecuali negara itu sendiri menyetujui secara tegas. Jika suatu negara, contohnya dengan memakai kekuatan bersenjata berusaha memadamkan ataupun mendukung pemberontakan bersenjata yang terjadi di dalam suatu negara lain tanpa persetujuan negara yang bersangkutan, tindakan ini terang melanggar asas non-intervensi.
3.      Hukum Pidana Internasional juga mempunyai fungsi sebagai “jembatan” atau “jalan keluar” bagi negara-negara yang berkonflik untuk menimbulkan Mahkamah Internasional sebagai jalan keluar. Pada dasarnya, Mahkamah Internasional ialah sebuah forum peradilan yang bersifat independen dan tidak memihak yang memutus serta mengadili suatu kasus yang dipersengketakan oleh negarguagara yang berkonflik. Oleh lantaran itu maka Hukum Pidana Internasional inilah yang ialah “jembatan” atau “jalan keluar” bagi negara-negara yang berkonflik.
4.      Hukum Pidana Internasional juga berfungsi untuk dijadikan landasan biar penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional relatif menjadi lebih baik. Dari perspektif Hukum Pidana Internasional maka asas ini lazim disebut sebagai Asas “penghormatan dan pemberian terhadap hak-hak asasi manusia”. Asas ini membebani kewajiban kepada negara-negara bahkan kepada siapapun untuk menghormati dan melindungi hak asasi insan dalam situasi dan kondisi apapun juga. Berdasarkan asas ini, tindakan apapun yang dilakukan oleh negara-negara atas seseorang atau lebih dalam status apapun juga, tindakannya ini dihentikan melanggar ataupun berperihalan dengan hak asasi manusia. Sebagai contoh, suatu negara membuat peraturan perundang-undangan nasional dalam bidang aturan pidana menyerupai undang-undang tidak pidana korupsi, terorisme, money loundering, dan lain sebagainya dihentikan ada ketentuannya yang berperihal dengan hak asasi manusia.
          Keempat fungsi Hukum Pidana Internasional tersebut ialah fungsi yang bersifat elementer dan krusial. Apabila dijabarkan, maka keempat fungsi tersebut berafiliasi akrab dan sanggup diaplikasikan terhadap kejahatan transnasional khususnya terhadap Tindak Pidana Korupsi yang ialah bahasan topik dalam paper ini.
        Tindak pidana korupsi ialah  salah  satu  bagian  dari  hukum  pidana khusus. Apabila dijabarkan, tindak pidana korupsi mempunyai spesifikasi  tertentu  yang  tidak sama  dengan  hukum  pidana umum, menyerupai penyimpangan aturan aktivitas dan bahan yang diatur dimaksudkan menekan seminimal mungkin terjadinya kebocoran serta penyimpangan terhadap keuangan dan perekonomian negara. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Anti Korupsi 2003 (United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), 2003)[6] mendiskripsikan dilema korupsi sudah ialah ancaman fokus terhadap stabilitas, keamanan masyarakat nasional dan internasional, sudah melemahkan institusi, nilai-nilai demokrasi dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan maupun penegakan hukum. 
          Selain itu, dikaji dari perspektif internasional intinya korupsi ialah salah satu kejahatan dalam pembagian terstruktur mengenai White Collar Crime dan mempunyai akhir kompleksitas serta menjadi atensi masyarakat internasional. Konggres Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-8 terkena “Prevention of Crime and Treatment of Offenders” yang mengesahkan resolusi “Corruption in Goverment” di Havana tahun 1990 merumuskan tentang akhir korupsi, berupa:
1.      Korupsi dikalangan pejabat publik (corrupt activities of public official):  
a.      Dapat menghancurkan efektivitas potensial dari tiruana jenis aktivitas pemerintah (“can destroy the potential effectiveeness of all types of govermental programmes”)
b.     Dapat menghambat pembangunan (“hinder development”).
c.      Menimbulkan korban individual kelompok masyarakat
(“victimize individuals and groups”).
2.      Ada keterkaitan akrab antara korupsi dengan aneka macam bentuk kejahatan ekonomi, kejahatan terorganisasi dan pembersihan uang haram.[7]

      Asumsi di atas sebut tindak pidana korupsi bersifat sistemik, terorganisasi, transnasional dan multidimensional dalam arti berkorelasi dengan aspek sistem, yuridis, sosiologis, budaya, ekonomi antar negara dan lain sebagainya.[8] Dikaji dari perspektif yuridis, maka tindak pidana korupsi ialah kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crimes) sebagaimana dikemukakan  Romli Atmasasmita, bahwa:
               “melaluiataubersamaini memperhatikan perkembangan tindak pidana korupsi, baik dari sisi kuantitas maupun dari sisi kualitas, dan setelah mengkajinya secara mendalam, maka tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa korupsi di Indonesia bukan ialah kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan sudah ialah kejahatan yang sangat luar biasa (extra-ordinary crimes). Selanjutnya kalau dikaji dari sisi akhir atau dampak negatif yang sangat merusak tatanan kehidupan bangsa Indonesia semenjak pemerintahan Orde Baru hingga dikala ini, terang bahwa perbuatan korupsi ialah perampasan hak ekonomi dan hak sosial rakyat Indonesia.9

           Selain itu, dari dimensi lain maka Penjelasan Umum UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menegaskan pula:
              “Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa tragedi tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga ialah pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan lantaran itu tiruana maka tindak pidana korupsi tidak lagi sanggup digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan sudah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitupun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi sanggup dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa. Penegakan aturan untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami aneka macam hambatan. Untuk itu diharapkan metode penegakan aturan secara luar biasa melalui pembentukan suatu tubuh khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan.”

          Tindak pidana korupsi ialah extra ordinary crimes  sehingga  diperlukan  penanggulangan yang bersifat luar biasa (extra ordinary enforcement) dan tindakan-tindakan yang luar biasa pula (extra ordinary measures). Dari dimensi ini maka fungsi Hukum Pidana Internasional yaitu sangat penting. Sebagai kejahatan yang bersifat transnasional maka kebijakan legislasi di Indonesia haruslah mengacu kepada tindak pidana korupsi yang terdapat di negara lain sepanjang hal tersebut relatif sesuai dengan kondisi sosial, budaya dan kultur orang Indonesia. Oleh lantaran korupsi kejahatan yang bersifat transnasional maka Hukum Pidana Internasional ialah jembatan yang mempunyai fungsi untuk adanya interaksi antara satu negara dengan negara lainnya. Dalam praktik hal ini sudah dilaksanakan contohnya menyerupai apa yang sudah dilakukan oleh Indonesia dengan menanhadirani perjanjian ekstradisi dengan negara Singapura yang salah satu kesepakatannya yaitu dalam rangka memulangkan koruptor yang bersembunyi di negara tersebut. 
           Selain itu, dengan dilakukannya perjanjian ekstradiksi tersebut membawa dampak terhadap fungsi Hukum Pidana Internasional yang kedua yaitu tidak adanya intervensi aturan antara satu negara dengan negara lainnya. Aspek ini disebabkan, oleh lantaran antara negara satu dan negara lainnya sudah melaksanakan perjanjian yang dilakukan secara sukarela dan saling menguntungkan kedua belah pihak. Negara pihak atau negara korban korupsi sanggup meminta secara baik-baik dengan melalui jalan masuk aturan ekstradiksi kepada negara ketempatan daerah koruptor maupun asetnya disembunyikan. Oleh lantaran itu, melalui jalan masuk ekstradiksi ini relatif sanggup lebih memulangkan koruptor maupun asetnya kembali kepada negara korban.
          Kembalikan dari apa yang sudah diuraikan di atas maka apabila negara korban maupun negara ketempatan tidak ada penjanjian ekstradiksi maka para koruptor maupun aset relatif tidak sanggup dilakukan perundingan untuk memulangkan koruptor beserta asetnya. Atau sanggup juga apabila negara korban maupun negara ketempatan terjadi konflik terhadap para koruptor maupun asetnya. Maka terhadap aspek ini, fungsi Hukum Pidana
Internasional sangat berperan di dalamnya. Para negara korban melalui jalur aturan internasional sanggup meminta kepada Mahkamah Internasional untuk mengadili negara yang bersangkutan biar sanggup memdiberi jalan keluar baik kepada negara korban maupun kepada negara ketempatan biar memutus secara adil kasus yang bersangkutan. Oleh lantaran yang memutus yaitu Mahkamah Internsional yang bersifat independen maka diharapkan konflik yang terjadi diharapkan final serta diputus berdasarkan asas keadilan yang relatif sanggup diterima baik oleh negara korban maupun negara ketempatan.              Berhubungan dengan apa yang sudah diuraikan di atas yaitu fungsi Hukum Pidana Internasional sebagai jembatan biar aturan nasional di masing-masing negara dipandang dari sudut aturan pidana internasional sama derajadnya, kemudian fungsi kedua sebagai mencegah tidak ada intervensi aturan antara negara satu dengan yang lain (asas non-intervensi), dan fungsi ketiga yaitu Hukum Pidana Internasional juga mempunyai fungsi sebagai “jembatan” atau “jalan keluar” bagi negara-negara yang berkonflik untuk menimbulkan Mahkamah Internasional sebagai jalan keluar maka tiruana itu bermuara kepada fungsi keempat yaitu Hukum Pidana Internasional juga berfungsi untuk dijadikan landasan biar penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional relatif menjadi lebih baik. Fungsi keempat ini ialah “kunci” bagi penegakan aturan khususnya terhadap Tindak Pidana Korupsi. 
           Pada asasnya, Hak Asasi Manusia berdasarkan Bab I Pasal I angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia disebutkan ialah seperangkat hak yang menempel pada hakikat dan eksistensi insan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan ialah anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, aturan dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta pemberian harkat dan martabat manusia. Oleh lantaran itu maka intinya berdasarkan Paul  Sieghart[9]  secara global  HAM terdiri dari tiga generasi, yaitu generasi pertama (Sipil dan Politik), generasi kedua (Ekonomi, Sosial dan Budaya), generasi ketiga (Hak Kelompok) yang ketiruananya itu sesungguhnya ialah hak individu. Oleh lantaran tindak pidana korupsi ialah tindak pidana yang bersifat extra ordinary crimes  sehingga  diperlukan  penanggulangan yang bersifat luar biasa (extra ordinary enforcement) dan tindakan-tindakan yang luar biasa pula (extra ordinary measures) maka Hukum Pidana Internasional ialah katalisator dan pengaman yang sanggup berfungsi biar penindakan dan penegakan aturan tindak pidana korupsi sesuai dengan koridor aturan dan dengan demikian diharapkan penegakan Hak Asasi Manusia Internasional relatif menjadi lebih baik sebagaimana fungsi keempat dari Hukum Pidana Internasional.

III. Penutup
       Keempat fungsi Hukum Pidana Internasional yaitu sebagai jembatan biar aturan nasional di masing-masing negara dipandang dari sudut aturan pidana internasional sama derajadnya, sebagai pencegah tidak ada intervensi aturan antara negara satu dengan yang lain (asas non-intervensi), sebagai “jembatan” atau “jalan keluar” bagi negara-negara yang berkonflik untuk menimbulkan Mahkamah Internasional sebagai jalan keluar dan landasan biar penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional relatif menjadi lebih baik berkorelasi dengan kejahatan transnasional khususnya terhadap kejahatan korupsi. Oleh lantaran itu, diharapkan nantinya keempat fungsi Hukum Pidana Internasional tersebut relatif sanggup lebih berperan terbaik bagi negara-negara di dunia untuk sanggup menindaklanjuti kejahatan korupsi.*** DAFTAR PUSTAKA

Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional, PenerbitCV Yrama Widya, Bandung, 2006
Paul Sieghart, The Lawful Rights Of Mankind, An Introduction To The International Legal Code Of Human Rights,  Oxford University Press, 1986
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Penerbit Refika Aditama, Bandung, 2003
--------------------------, Korupsi, Good Governance Dan Komisi Anti Korupsi Di Indonesia,     Penerbit   Badan Pembinaan     Hukum           Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI, Jakarta, 2002
-------------------------, Strategi Dan Kebijakan Pemberantasan Korupsi Pasca Konvensi PBB Menentang Korupsi Tahun 2003: Melawan Kejahatan Korporasi, Paper, Jakarta, 2006
-------------------------, Strategi dan Kebijakan Hukum Dalam Pemberantasan Korupsi Melawan Kejahatan Korporasi di Indonesia: Membentuk Ius Constituendum Pasca Ratifikasi Konvensi PBB Menentang Korupsi Tahun 2003, Paper, Jakarta, 2006




[1] Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, Penulis Buku Ilmu
Hukum dan Kini Wakil Ketua Pengadilan Negeri Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa Timur
[2] Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Penerbit Refika Aditama, Bandung, 2003, hlm. 19 
[3] I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional, PenerbitCV Yrama Widya, Bandung, 2006, hlm. 31 
[4] Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana ...., Op. Cit, hlm. 21 
[5] Romli Atmasasmita,  Pengantar Hukum Pidana....., Ibid, hlm. 19 
[6] dikutif dari: Romli Atmasasmita, Strategi Dan Kebijakan Pemberantasan Korupsi Pasca Konvensi PBB Menentang Korupsi Tahun 2003: Melawan Kejahatan Korporasi, Paper, Jakarta, 2006, hlm. 1 dan Romli Atmasasmita, Strategi dan Kebijakan Hukum Dalam Pemberantasan Korupsi Melawan Kejahatan Korporasi di Indonesia: Membentuk Ius Constituendum Pasca Ratifikasi Konvensi PBB Menentang Korupsi Tahun 2003, Paper, Jakarta, 2006, hlm. 1.
[7] Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hlm. 69 
[8] Romli Atmasasmita, Strategi Dan Kebijakan Pemberantasan …., Op.Cit, hlm. 1              9Romli Atmasasmita, Korupsi, Good Governance Dan Komisi Anti Korupsi Di Indonesia, Penerbit Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan
HAM RI, Jakarta, 2002, hlm. 25
[9] Paul Sieghart, The Lawful Rights Of Mankind, An Introduction To The International Legal Code Of Human Rights,  Oxford University Press, 1986,  107 dstnya  

0 Response to "Fungsi Aturan Pidana Internasional Korelasinya Dengan Kejahatan Transnasional Khususnya Tindak Pidana Korupsi"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel