Lembaga Perwakilan Dan Permusyawaratan Rakyat Tingkat Sentra - Jimly Asshiddiqie
LEMBAGA PERWAKILAN DAN
PERMUSYAWARATAN RAKYAT TINGKAT PUSAT
Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH.
A. LEGISLATURE
Seringkali dipahami bahwa fungsi legislasi spesialuntuk terkait dengan fungsi pembuatan undang-undang dalam pengertian yang sempit. Karena itu, yang biasa dipahami sebagai lembaga legislatif berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 pasca reformasi spesialuntuk dewan perwakilan rakyat dan DPD saja. Bahkan, banyak pula tokoh-tokoh politik kita yang memahaminya lebih sempit lagi, yaitu bahwa lembaga yang mempunyai kewenangan pribadi di bidang pembuatan undang-undang itu spesialuntuk DPR, sedangkan DPD spesialuntuk berfungsi sebagai ‘advisory council’ terhadap fungsi DPR.
Jika kita mengacu kepada pendapat Frank Goodn0w, kekuasaan negara sanggup dibedakan antara fungsi pembuatan kebijakan (policy making) dan pelaksanaan kebijakan (policy executing). Teori Goodnow ini sanggup dinamakan sebagai teori ‘duo-politica’. Berbeda dari Goodnow, fungsi-fungsi kekuasaan, berdasarkan Montesquieu, terdiri atas tiga cabang atau ‘trias politica’ yaitu legislature, executive, dan judiciary. Executive ialah pelaksana, sedangkan judiciary menegakkannya jikalau timbul sengketa atau pelanggaran terhadap kebijakan. Namun, baik berdasarkan Goodnow maupun berdasarkan Montesquieu, yang dimaksud dengan fungsi legislatif atau legislature itu berkaitan dengan tiruana kegiatan yang dengan mengatasnamakan atau mewakili rakyat membuat kebijakan-kebijakan negara. INI yang disebut sebagai legislature atau fungsi legislatif.
Pelembagaan fungsi legislature itulah yang disebut parlemen. Di aneka macam negara ada yang melembagakannya dalam satu lembaga saja (unicameral atau monocameral), ada pula yang dua lembaga (bicameral),. Bahkan ada pula negara-negara yang mempunyai struktur dewan legislatif multi kameral atau terdiri atas lebih dari dua kamar atau lebih dari dua institusi[1]. Salah satunya ialah Indonesia yang mempunyai tiga institusi atau tiga lembaga dewan legislatif sekaligus, yaitu DPR, DPD, dan MPR. dewan perwakilan rakyat ialah lembaga perwakilan politik (political representation), dewan perwakilan rakyat ialah perwakilan kawasan (regional representation), sedangkan MPR ialah penjelmaan keseluruhan rakyat, baik dari segi politik maupun kedaerahan.
Di samping fungsi lainnya, dewan perwakilan rakyat berfungsi untuk membentuk undang-undang, DPD mempersembahkan pertimbangan dalam pembentukan undang-undang, sedangkan MPR memutuskan Undang-Undang Dasar sebagai kebijakan tertinggi. Di aneka macam negara, DPD atau yang disebut dengan nama lain, menyerupai Senat, biasanya berperan dalam pengambilan keputusan pembentukan undang-undang atau undang-undang tertentu. Akan tetapi, berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 yang berlaku sekarang, keputusan-keputusan DPD sama sekali tidak menentukan dalam proses pembentukan undang-undang itu. Peranan DPD spesialuntuk bersifat advisoris terhadap DPR. Sementara itu, berdasarkan Montesquieu, pembentukan undang-undang dasar juga dinamakan legislasi.
Karena itu, dengan mengacu kepada pendapat Montesquieu dan Frank Goodnow tersebut di atas, kita sanggup menyampaikan bahwa dalam struktur dewan legislatif Indonesia cukup umur ini terdapat tiga lembaga dewan legislatif yang sama-sama mempunyai fungsi legislasi dalam arti yang luas. Karena itu, saya sering menamakan struktur dewan legislatif Indonesia cukup umur ini sebagai parlemen trikameral. Kita tidak menganut prinsip unikameralisme, bukan pula buikameralisme, melainkan trikameralisme. melaluiataubersamaini demikian, adanya MPR, DPR, dan DPD dalam sistem ketatguagaraan kita berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 cukup umur ini ialah satu kesatuan kelembagaan dewan legislatif Indonesia yang mempunyai tiga lembaga perwakilan dan permusyawaratan dalam rangka pengambilan keputusan terkena kebijakan negara berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945.
B. MAJELIS PERMUSAWARATAN RAKYAT
Pasal 2 Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi:
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.
(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota negara.
(3) Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat diputuskan dengan bunyi yang terbanyak.
Sedangkan Pasal 3-nya menyatakan:
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan memutuskan undang-undang dasar.
(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.
(3) Majelis Permusyawaratan Rakyat spesialuntuk sanggup memberhentikan Presiden dan/atau Wapres dalam masa jabatannya berdasarkan undang-undang dasar.
Dapat dikatakan bahwa Pasal 2 Undang-Undang Dasar 1945 tersebut mengatur terkena organ atau lembaganya, sedangkan Pasal 3 mengatur kewenangan lembaga MPR itu. Di samping itu, ada beberapa pasal lain dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang juga mengatur tentang MPR, termasuk terkena kewenangannya. Akan tetapi, pada kepingan ini, yang dititik-beratkan spesialuntuk penegasan bahwa dalam Undang-Undang Dasar 1945, status MPR itu sebagai lembaga atau organ negara diatur secara eksplisit.
Mengapa nian ketentuan terkena MPR harus ditempatkan pada Bab III yang tersendiri dan menlampaui pengaturan terkena hal-hal lain menyerupai Presiden dan dewan perwakilan rakyat serta DPD? Jawabannya terang bahwa memang demikianlah susunan Undang-Undang Dasar 1945 yang orisinil sebagai Konstitusi Proklamasi yang disahkan tanggal 18 Agustus 1945. Malah aslinya, ketentuan tentang MPR itu terdapat dalam Bab II, bukan Bab III menyerupai naskah setelah perubahan yang berlaku sekarang.
Sebelum menentukan hal-hal lain, Undang-Undang Dasar 1945 yang orisinil menegaskan bahwa kedaulatan rakyat Indonesia dijelmakan dalam badan MPR sebagai pelaku utama dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat itu. Karena itu, bunyi rumusan orisinil Pasal 1 ayat (2) Bab I Undang-Undang Dasar 1945 ialah “Kedaulatan ialah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR”. Di samping itu, pada Bab III Pasal 6 ayat (2) ditentukan pula bahwa “Presiden dan Wapres dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan bunyi yang terbanyak”.
Atas dasar rumusan yang demikian, dikembangkan pengertian sebagaimana diuraikan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Dasar 1945 yang oleh Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 dijadikan kepingan yang tak terpisahkan dari naskah Undang-Undang Dasar 1945, yaitu bahwa Presiden bertunduk dan bertanggungjawaban kepada MPR. Karena itu, selama ini dimengerti bahwa MPR inilah yang ialah yang paling tinggi, atau biasa disebut sebagai lembaga tertinggi negara, sehingga masuk akal bahwa keberadaanya diatur paling pertama dalam susunan Undang-Undang Dasar 1945.
Sekarang, setelah Undang-Undang Dasar 1945 diubah secara substantif oleh Perubahan Pertama hingga dengan Keempat dengan paradigma pedoman yang sama sekali baru, susunan organisasi negara Republik Indonesia sudah seharusnya diubah sebagaimana mestinya. Antara MPR, DPR, dan DPD sudah semestinya dijadikan 1 kepingan atau setidak-tidaknya berada dalam rangkaian bab-bab yang tidak terpisahkan menyerupai sekarang. Dalam naskah resmi konsolidasi yang tidak resmi[2] (sesudah Perubahan Keempat), susunan Bab III tentang MPR dan Bab VII tentang dewan perwakilan rakyat serta Bab VII tentang DPD, diantarai oleh Bab IV tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara, Bab IV tentang Dewan Pertimbangan Agung yang sudah dihapuskan ketentuannya dari Undang-Undang Dasar 1945, dan Bab V tentang Kementerian Negara, dan Bab VI tentang Pemerintah Daerah.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 setelah Perubahan Keempat, organ MPR juga tidak sanggup lagi dipahami sebagai lembaga yang lebih tinggi kedudukannya daripada lembaga negara yang lain atau yang biasa dikenal dengan sebutan lembaga tertinggi negara. MPR sebagai lembaga negara sederajat levelnya dengan lembaga-lembaga negara yang lain menyerupai DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan Badan Pemeriksa Keuangan. Bahkan dalam hubungan dengan fungsinya, organ MPR sanggup dikatakan bukanlah organ yang pekerjaannya bersifat rutin. Meskipun di atas kertas, MPR itu sebagai lembaga negara memang terus ada, tetapi dalam arti yang konkret atau nyata, organ MPR itu sendiri bekerjsama gres sanggup dikatakan ada (actual existence) pada dikala kewenangan atau ‘functie’nya sedangkan dilaksanakan. Kewenangannya itu ialah mengubah dan memutuskan undang-undang dasar (UUD), memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden, menentukan presiden atau wakil presiden untuk mengisi lowongan jabatan presiden atau wakil presiden, dan ‘melantik’ presiden dan/atau wakil presiden.
Sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945, MPR atau Majelis Permusyawaratan Rakyat mempunyai kedudukan sebagai lembaga tertinggi negara. Kepada lembaga MPR inilah Presiden, sebagai kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan, bertunduk dan bertanggungjawaban. Dalam lembaga ini pula kedaulatan rakyat Indonesia dianggap terjelma seluruhnya, dan lembaga ini pula yang dianggap sebagai pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat itu. Dari lembaga tertinggi MPR inilah, mandat kekuasaan kenegaraan dibagi-bagikan kepada lembaga-lembaga tinggi negara lainnya, yang kedudukannya berada di bawahnya sesuai prinsip pertolongan kekuasaan yang bersifat vertikal (distribution of power).
Namun, kini setelah perubahan Undang-Undang Dasar 1945, tidak dikenal lagi adanya lembaga tertinggi negara. Sesuai kepercayaan pemisahan kekuasaan (separation of power) berdasarkan prinsip “checks and balances” antara cabang-cabang kekuasaan negara, MPR mempunyai kedudukan yang sederajat saja dengan lembaga-lembaga (tinggi) negara lainnya. Malahan, jikalau dikaitkan dengan teori terkena struktur dewan legislatif di dunia, yang dikenal spesialuntuk dua pilihan, yaitu struktur dewan legislatif satu kamar (unikameral) atau struktur dewan legislatif dua kamar (bikameral).
Di lingkungan negara-negara yang menganut sistem dewan legislatif dua kamar, memang dikenal adanya lembaga psersidangan bersama di antara kedua kamar dewan legislatif yang biasa disebut sebagai “joint session” atau sidang gabungan. Akan tetapi, sidang adonan itu bukanlah lembaga yang tersendiri. Misalnya, di Amerika Serikat terdapat the House of Representatives dan Senate. Keduanya disebut sebagai Congress of the United States of America. Jika sidang adonan atau ‘joint session’ diadakan, maka namanya ialah persidangan Kongres.
Dalam Konstitusi Amerika Serikat disebutkan bahwa “All legislative power vested in Congress which consist of the Senate and the House of Representatives”. Segala kekuasaan legislatif berada di Kongres yang terdiri atas House of Representative dan Senat. Akan tetapi, dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 ketentuan terkena MPR, dirumuskan secara tidak sama, yaitu “MPR terdiri atas anggota dewan perwakilan rakyat dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilu dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang”. melaluiataubersamaini demikian, MPR tidak dikatakan terdiri atas dewan perwakilan rakyat dan DPD, melainkan terdiri atas anggota dewan perwakilan rakyat dan anggota DPD. melaluiataubersamaini demikian, MPR itu ialah lembaga yang tidak terpisah dari institusi dewan perwakilan rakyat dan DPD.
Berdasarkan ketentuan Pasal 3 juncto Pasal 8 ayat (2) dan (3), MPR mempunyai kewenangan untuk (1) mengubah dan memutuskan undang-undang dasar; (2) memberhentikan Presiden dan/atau Wapres dalam masa jabatannya berdasarkan undang-undang dasar; (3) menentukan Presiden dan/atau Wapres untuk mengisi kekosongan dalam jabatan Presiden dan/atau Wapres berdasarkan undang-undang dasar; dan (4) mengadakan sidang MPR untuk peresmian atau pengucapan sumpah/janji jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Keempat kewenangan tersebut sama sekali tidak tercakup dan terkait dengan kewenangan dewan perwakilan rakyat ataupun DPD, sehingga sidang MPR untuk mengambil keputusan terkena keempat hal tersebut sama sekali bukanlah sidang adonan antara dewan perwakilan rakyat dan DPD, melainkan sidang MPR sebagai lembaga tersendiri. Oleh alasannya itu, sanggup dikatakan bahwa keberadaan lembaga MPR itu ialah institusi ketiga dalam struktur dewan legislatif Indonesia, sehingga saya menamakannya sebagai sistem tiga kamar (trikameralisme). Dewasa ini, tidak ada satupun negara di dunia yang menerapkan sistem tiga kamar menyerupai ini. Karena itu, Indonesia sanggup dikatakan ialah satu-satunya negara di dunia yang menerapkan sistem tiga kamar ini.
Namun demikian, meskipun MPR itu ialah kamar ketiga, sifat pekerjaan MPR itu sendiri tidaklah bersifat tetap, melainkan bersifat adhoc. Sebagai organ negara, lembaga MPR itu gres sanggup dikatakan ada, apabila fungsinya sedang bekerja (in action). Dalam hal ini kita sanggup membedakan antara pengertian “MPR in book” dengan “MPR in action”. Dari keempat kewenangan di atas, tidak satupun yang bersifat tetap. Perubahan dan penetapan undang-undang dasar tentunya spesialuntuk akan dilakukan sewaktu-waktu. Sesudah perubahan 4 (empat) kali berturut-turut pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002, mungkin masih akan usang untuk adanya perubahan lagi atas Undang-Undang Dasar 1945. Kita belum sanggup memperkirakan dalam waktu 10 hingga dengan 20 tahun menhadir, apakah akan ada lagi atau tidak jadwal perubahan atas Undang-Undang Dasar 1945.
Demikian pula dengan jadwal pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden serta jadwal pemilihan presiden dan/atau wakil presiden untuk mengisi lowongan jabatan. Kita tidak sanggup membuat ramalan terkena kemungkinan kedua jadwal ini akan dijalankan dalam waktu dekat. Dalam sejarah lebih dari 2 abad[3] pengalaman Amerika Serikat, gres tercatat 3 (tiga) kasus yang terkait dengan ‘impeachment’ terhadap Presiden. Ketiga kasus itu msing-masing melibatkan Presiden Lindon Johnson, Presiden Nixon, dan Presiden Bill Clinton.
Karena itu, satu-satunya kewenangan MPR yang bersifat rutin dan sanggup direncanakan ialah kegiatan persidangan untuk peresmian presiden dan wakil presiden setiap lima tahunan. Akan tetapi, berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar 1945, sidang MPR itu sendiri bersifat fakultatif. Pengucapan sumpah atau komitmen Presiden dan/atau Wapres sanggup dilakukan di hadapan atau di dalam sidang MPR atau sidang DPR. Jika MPR tidak sanggup bersidang, pengucapan sumpah/janji itu sanggup dilakukan dalam sidang atau rapat paripurna DPR. Jika rapat paripurna dewan perwakilan rakyat juga tidak sanggup diselenggarakan, maka pengucapan sumpah/janji jabatan Presiden dan/atau Wapres itu cukup dilakukan di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh Pimpinan Mahkamah Agung.
melaluiataubersamaini perkataan lain, tidak satupun dari keempat kewenangan MPR itu yang bersifat tetap, sehingga memerlukan alat-alat perlengkapan organisasi yang juga bersifat tetap. MPR itu gres ada jikalau fungsinya memang sedang berjalan atau bekerja (in action). Oleh alasannya itu, tidak ada keharusan bagi MPR untuk diadakan pimpinan dan sekretariat yang tersendiri. Undang-Undang Dasar 1945 sama sekali tidak mengamanatkan hal ini. Artinya, jikalau dikehendaki, sanggup saja pembentuk undang-undang dalam hal ini dewan perwakilan rakyat dengan persetujuan Presiden sanggup saja mengadakan pimpinan MPR yang bersifat tersendiri itu atau malah meniadakan dan mengatur semoga pimpinan MPR itu dirangkap saja secara ex officio oleh pimpinan dewan perwakilan rakyat dan pimpinan DPD.
Di masa Orde Baru, pimpinan MPR juga pernah dirangkap oleh pimpinan DPR, alasannya pertimbangan bahwa kegiatan MPR itu sendiri tidak bersifat tetap. Oleh alasannya itu, pembentuk undang-undang didiberikan kebebasan menentukan pilihan apakah akan mengadakan atau meniadakan jabatan pimpinan dan sekretariat jenderal MPR yang bersifat permguan. Kedua pilihan itu sama-sama sanggup dibenarkan, asalkan masing-masing pilihan itu benar-benar idadasarkan atas alasan yang masuk nalar dan memang ada kegunaanya.
Sebenarnya, baik pimpinan MPR, pimpinan DPR, maupun pimpinan DPD sama-sama tidak diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini tidak sama dari para pimpinan Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan Badan Pemeriksa Keuangan yang secara tegas diatur, yaitu bahwa ketuanya dipilih dari dan oleh anggotanya masing-masing. Karena itu, ialah keharusan konstitusional (constitutional imperative) bahwa di dalam organisasi MA, MK, dan BPK , diadakan jabatan Ketua. Sedangkan di MPR, DPR, dan DPD, sanggup saja diatur dalam Undang-Undang bahwa pimpinannya spesialuntuk dijabat oleh seorang Koordinator, atau disebut Juru Bicara atau “Speaker”. Hanya saja, untuk pimpinan dewan perwakilan rakyat selama ini sudah biasa disebut Ketua dewan perwakilan rakyat dan Wakil Ketua DPR, sehingga sanggup dikatakan sudah menjadi konvensi ketatguagaraan bahwa di dewan perwakilan rakyat ada jabatan Ketua dan Wakil Ketua DPR.
Setara dengan susunan DPR, di dalam susunan kepemimpinan DPD tentunya sanggup pula diadakan jabatan Ketua dan Wakil Ketua menyerupai yang terdapat dalam susunan organisasi DPR. Karena itu, tidak salah jikalau pembentuk undang-undang, sama-sama mengadakan jabatan Ketua dan Wakil, baik dalam susunan dewan perwakilan rakyat maupun DPD. Akan tetapi, untuk jabatan pimpinan MPR, keadaannya sungguh tidak sama. Jabatan kepimpinanan MPR yang terpisah dari kepemimpinan dewan perwakilan rakyat dan DPD serta adanya sekretariat jenderal MPR-RI yang juga tersendiri, terlepas dari sekretariat jenderal dewan perwakilan rakyat dan sekretariat jenderal DPD menyerupai cukup umur ini, ialah semata-mata akhir pengaturannya dalam Undang-Undang No. .... tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Selama masa Order Baru juga sudah biasa diatur bahwa pimpinan MPR-RI itu dirangkap secara ex-officio oleh pimpinan DPR-RI. Lagi pula keberadaan MPR yang tersendiri sebagai lembaga ketiga di samping dewan perwakilan rakyat dan DPD (trikameralisme) ialah produk gres dalam sistem ketatguagaraan kita berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945. Keberadaan pimpinan MPR yang tersendiri belum sanggup dikatakan didasarkan atas konvensi ketatguagaraan yang sudah baku. Malahan, apabila dikaitkan dengan semangat efisiensi, keberadaan pimpinan MPR yang tersendiri dan juga kesekretariat-jenderal yang juga tersendiri sanggup dikatakan sebagai pemborosan yang sia-sia.
Ketika RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD dibahas bersama di dewan perwakilan rakyat pada tahun 2003 yang lalu, harus diakui terdapat suasana politis yang tidak menguntungkan, sehingga pengaturannya terkena pimpinan MPR dan kesekretraiat-jenderalan yang bangkit sendiri ini menerima persetujuan. Pertama, perdebatan tersisa terkena hasil perubahan ketiga dan keempat Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang menyangkut struktur dewan legislatif bikameral masih belum reda.
Kelompok konservatif sangat menentang gagasan bikameralisme yang salah satunya diartikan seolah-olah menghilangkan sama sekali keberadaan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga yang sebelumnya ialah lembaga tertinggi negara. Padahal keberadaan Dewan dan Majelis tersebut dianggap sebagai pencerminan pribadi dari dianutnya sila keempat Pancasila, yaitu “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Kata “permusyawaratan” dinilai terjelma dalam pelembagaan MPR, sedangkan kata “perwakilan” dianggap tercermin dalam pelembagaan DPR. Menerima wangsit struktur dewan legislatif bikameral yang terdiri atas dewan perwakilan rakyat dan DPD, berarti menghilangkan keberadaan MPR sebagai pelembagaan prinsip “permusyawaratan” dalam sila keempat itu.
Pandangan semacam ini sangat mewarnai pandangan kelompok anggota MPR yang dimotori oleh partai yang berkuasa (the ruling party) ketika itu, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang dipimpin oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Suasana psikologis yang terbentuk ketika itu sangat dipengaruhi oleh aneka macam tekanan yang sangat besar lengan berkuasa dari kelompok yang anti-perubahan UUD, sehingga partai yang berkuasa sangat berhati-hati dalam menyikapi setiap wangsit perubahan pasal demi pasal Undang-Undang Dasar 1945. Dalam suasana semacam itu sanggup dibayangkan bahwa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri yang juga ialah Ketua Umum Partai ini sangat dihantui oleh kekuatiran bahwa lembaga MPR akan dihapuskan sama sekali dari sistem ketatguagaraan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Karena itu, sebagai kompromi atas perdebatan ini, rumusan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan dalam rangka Perubahan Keempat pada tahun 2002 ialah “MPR terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang”. Karena adanya kata “anggota” dalam rumusan tersebut di atas, berarti – meskipun keanggotaannya dirangkap-- institusi MPR itu sama sekali tidak sama dan terpisah dari institusi dewan perwakilan rakyat dan institusi DPD. Sebagai institusi yang terpisah, menyerupai sudah diuraikan di atas, ketiganyapun mempunyai fungsi, tugas, dan kewenangan yang juga tidak sama dan terpisah satu sama lain. Karena itu, memang tidak sanggup dihindarkan untuk menyatakan bahwa MPR itu ialah lembaga atau kamar ketiga dari struktur dewan legislatif Republik Indonesia (trikameral parliament).
Sebab kedua yang menjadikan diterimanya keberadaan pimpinan dan kesekretariat-jenderalan yang tersendiri itu ialah suasana persaingan kepentingan politik antar partai-partai politik itu sendiri baik yang ada di dalam MPR dan dewan perwakilan rakyat maupun di luar dewan legislatif menjelang pemilihan umum legislatif dan pemilihan umum presiden tahun 2004. Berbagai kelompok partai politik sedang disibukkan oleh aneka macam jadwal koalisi antar satu sama lain. Karena itu, keengganan pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Megawati untuk meniadakan jabatan pimpinan dan kesekretariat-jenderal MPR yang tersendiri itu berhimpit dengan kepentingan elite partai-partai politik untuk menyediakan sebanyak mungkin jabatan publik sebagai materi untuk pertolongan kekuasaan di antara mereka. Karena itu, kesepakatan terkena rumusan pasal-pasal yang menentukan adanya jabatan pimpinan MPR dan kesekretariat-jenderalan MPR yang terpisah dan tersendiri itu, dengan simpel sanggup dicapai.
Karena itu, sanggup rangka konsolidasi sistem ketatguagaraan kita pasca Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, dan penataan kelembagaan kenegaraan kita di masa menhadir, sanggup diusulkan semoga adanya lembaga pimpinan dan kesekretariat-jenderalan MPR yang tersendiri ini cukuplah selama periode transisi hingga tahun 2009 saja. Untuk selanjutnya, hal itu perlu diubah semoga lebih efisien. MPR, DPR, dan DPD ialah tiga kamar dalam struktur dewan legislatif Indonesia sebagai satu kesatuan. Gedungnya sama, pegawainya juga sama. Karena itu, piminannya juga sebaiknya dirangkap saja, dan bahkan kesekretariat-jenderalannya pun sebaiknya dijadikan satu saja. Dalam rangka hasil pemilihan umum tahun 2009, pembentuk undang-undang sebaiknya menyempurnakan kembali Undang-Undang tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, sehingga hal ini menerima perhatian yang sungguh-sungguh.
C. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT (DPR)
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 terang tergambar bahwa dalam rangka fungsi legislatif dan pengawasan, lembaga utamanya ialah dewan perwakilan rakyat (Dewan Perwakilan Rakyat). Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan, “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. Bandingkan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi, “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Pasal 5 ayat (1) ini sebelum Perubahan Pertama tahun 1999 berbunyi, “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.
Kedua pasal tersebut setelah Perubahan Pertama tahun 1999, berubah drastis sehingga mengalihkan pelaku kekuasaan legislatif atau kekuasaan pembentukan undang-undang itu dari tangan Presiden ke tangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Di samping itu, berdasarkan ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Dasar 1945, setiap anggota dewan perwakilan rakyat berhak pula mengajukan undangan rancangan undang-undang yang syarat-syarat dan tatacaranya diatur dalam peraturan tata tertib.
Bahkan lebih dipertegas lagi dalam Pasal 20A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 ditentukan pula, “Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan”. Artinya, kekuasaan legislasi, kekuasaan penentuan anggaran (budgeting), dan kekuasaan pengawasan (control), berada di Dewan Perwakilan Rakyat. Menurut Pasal 20A ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, “Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain undang-undang dasar ini, dewan perwakilan rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat”. Ayat (3)-nya menyatakan pula, “Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain undang-undang dasar ini, setiap anggota dewan perwakilan rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, memberikan usul, dan pendapat, serta hak imunitas”.
Untuk menggambarkan besar lengan berkuasa posisi konstitusional dewan perwakilan rakyat berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, ditegaskan pula dalam Pasal 7C bahwa “Presiden tidak sanggup membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat”. Sebaliknya, dalam Pasal 7A ditentukan, “Presiden dan/atau Wapres sanggup diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas undangan DPR, baik apabila terbukti sudah melaksanakan pelanggaran aturan berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”.
Di samping itu, dalam rangka fungsinya sebagai pengawas, Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 menentukan pula:
(1) Presiden dengan persetujuan dewan perwakilan rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain.
(2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akhir yang luas dan fundamental bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan DPR”.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang.
Bahkan dalam Pasal 13 dan Pasal 14 hasil Perubahan Pertama tahun 1999, bahkan diatur pula hal-hal lain yang bersifat mengakibatkan posisi dewan perwakilan rakyat menjadi lebih besar lengan berkuasa dibandingkan dengan sebelumnya. Pasal 13 ayat (2) menentukan, “Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan DPR”, dan ayat (3)-nya menentukan, “Presiden mendapatkan penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan DPR”. Sedangkan Pasal 14 ayat (2) menentukan, “Presiden memdiberi amnesti dan penghapusan dengan memperhatikan pertimbangan DPR”.
Untuk lebih lengkapnya uraian terkena kewenangan dewan perwakilan rakyat itu, sanggup dikutipkan disini ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 20 dan Pasal 20A, yang masing-masing meliputi 5 (lima) ayat, dan 4 (empat) ayat. Pasal 20 menentukan bahwa:
(1) DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
(2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh dewan perwakilan rakyat dan Presiden untuk menerima persetujuan bersama.
(3) Jika rancangan undang-undang itu tidak menerima persetujuan bersama, rancangan itu dihentikan diajukan lagi dalam persidangan dewan perwakilan rakyat masa itu.
(4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang sudah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.
(5) Dalam hal rancangan undang-undang yang sudah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
Selanjutnya, ketentuan Pasal 20A berbunyi:
(1) DPR mempunyai fungsin legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.
(2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, dewan perwakilan rakyat empunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.
(3) Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap angota dewan perwakilan rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, memberikan undangan dan pendapat serta hak imunitas.
(4) Ketentuan lebih lanjut tentang dewan perwakilan rakyat dan hak anggota dewan perwakilan rakyat diatur dalam undang-undang.
Selain ketentuan tersebut, dalam Pasal 21 Undang-Undang Dasar 1945 juga ditetapkan bahwa “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan undangan rancangan undang-undang”. Anggota dewan perwakilan rakyat itu sendiri, berdasarkan ketentuan Pasal 19 ayat (1) dipilih melalui pemilihan umum. Dalam ayat (2)-nya ditentukan bahwa susunan dewan perwakilan rakyat itu diatur dengan undang-undang. Selanjutnya dalam Pasal 22B diatur pula bahwa “Anggota dewan perwakilan rakyat sanggup diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang.
D. DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD)
Pembentukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) tiruanla dimaksudkan dalam rangka mereformasi struktur dewan legislatif Indonesia menjadi dua kamar (bikameral) yang terdiri atas dewan perwakilan rakyat dan DPD. melaluiataubersamaini struktur bikameral itu dibutuhkan proses legislasi sanggup diselenggarakan berdasarkan sistem “double-check” yang memungkinkan representasi kepentingan seluruh rakyat secara relatif sanggup disalurkan dengan basis sosial yang lebih luas. Yang satu ialah cerminan representasi politik di dewan perwakilan rakyat (political representation), sedangkan yang lain mencerminkan prinsip representasi teritorial atau regional (regional representation) di DPD.
Akan tetapi, wangsit bikameralisme atau struktur dewan legislatif dua kamar itu menerima perihalan yang keras dari kelompok konservatif di Panitia Ad Hoc Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 di MPR 1999-2002, sehingga yang disahkan ialah rumusan yang kini yang tidak sanggup disebut menganut sistem bikmaeral sama sekali. Dalam ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 cukup umur ini, terang terlihat bahwa DPD tidaklah mempunyai kewenangan membentuk undang-undang. DPD juga tidak mempunyai kewenangan penuh untuk melaksanakan fungsi pengawasan. Karena itu, kedudukannya spesialuntuk bersifat penunjang atau ‘auxiliary’ terhadap fungsi DPR, sehingga DPD paling jauh spesialuntuk sanggup disebut sebagai ‘co-legislator’, dari pada ‘legislator’ yang sepenuhnya.
Menurut ketentuan Pasal 22D Undang-Undang Dasar 1945, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mempunyai beberapa kewenangan sebagai diberikut:
(1) DPD sanggup mengajukan kepada dewan perwakilan rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan:
· otonomi daerah,
· hubungan sentra dan daerah,
· pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
· pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
· yang berkaitan dengan perimbangan keuangan sentra dan daerah.
(2) Dewan Perwakilan Daerah (DPD):
a. ikut mengulas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
· otonomi daerah,
· hubungan sentra dan daerah;
· pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah;
· pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
· perimbangan keuangan sentra dan daerah; serta
b. mempersembahkan pertimbangan kepada dewan perwakilan rakyat atas:
· rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara,
· rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak,
· rancangan undang-undang yang berkait dengan pendidikan, dan
· rancangan undang-undang yang berkaitan dengan agama.
(3) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sanggup melaksanakan pengawasan (kontrol) atas:
a. Pelaksanaan UU terkena:
· otonomi daerah,
· pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah,
· hubungan sentra dan daerah,
· pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
· pelaksanaan anggaran dan belanja negara;
· pajak,
· pendidikan, dan
· agama, serta
b. menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada dewan perwakilan rakyat sebagai materi pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
melaluiataubersamaini demikian, jelaslah bahwa fungsi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) itu spesialuntuklah sebagai ‘co-legislator’ di samping Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sifat tugasnya spesialuntuk menunjang (auxiliary agency) terhadap tugas-tugas konstitusional DPR. Dalam proses pembentukan suatu undang-undang atau legislasi, DPD tidak mempunyai kekuasaan untuk memutuskan atau berperan dalam proses pengambilan keputusan sama sekali. Padahal, persyaratan pemberian untuk menjadi anggota DPD jauh lebih berat daripada persyaratan pemberian untuk menjadi anggota DPR. Artinya, kualitas legitimasi anggota DPD itu sama sekali tidak diimbangi secara sepadan oleh kualitas kewenangannya sebagai wakil rakyat kawasan (regional representatives).
Dalam Pasal 22C diatur bahwa:
(1) Anggota DPD dipilih dari setiap provinsi mealui pemilihan umum.
(2) Anggota DPD dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota DPD itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR.
(3) DPD bersidang sedikitnya sekali dalam setahun.
(4) Susunan dan kedudukan DPD diatur dengan undang-undang.
Seperti halnya, anggota DPR, maka berdasarkan ketentuan Pasal 22D ayat (4), “Anggota DPD sanggup diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang”.
Bagi para anggota DPD, kewenangan-kewenangan yang dirumuskan di atas tentu kurang memadai. Apalagi dalam pengalaman selama lima tahun DPD periode 2004-2009, sudah ternyata bahwa keberadaan lembaga DPD ini terasa kurang banyak gunanya dalam dinamika sistem ketatguagaraan dalam kenyataan praktik. Karena itulah, muncul aspirasi untuk mengadakan (i) Perubahan Kelima Undang-Undang Dasar 1945, dan/atau setidaknya (ii) Perubahan UU tentang Susduk yang sanggup memperkuat kedudukan dan peranan DPD dalam praktik. Namun demikian, wangsit ini kandas, dikarenakan tidak berhasil meyakinkan para anggota dewan perwakilan rakyat untuk membuatkan kiprah dengan DPD dalam setiap pembentukan undang-undang. Oleh alasannya itu, di masa yang akan hadir, meskipun memang disadari perlunya dilakukan Perubahan Kelima Undang-Undang Dasar 1945, tetapi inisiatif untuk itu sebaiknya tidak hadir dari kalangan DPD, melainkan haruslah hadir dari partai-partai politik yang duduk di DPR.
Dari segi etika, juga kurang elok jikalau inisiatif itu hadir dari DPD, alasannya para calon anggota DPD sendiri sebelum terpilih menjadi anggota DPD sudah mengetahui persis bahwa yang harus dilakukan oleh DPD ialah sebagaimana yang sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang sekarang. Mengapa mau menjadi anggota DPD jikalau semenjak sebelumnya sudah mengetahui bahwa kedudukan dan peranan DPD itu memang tidak sekuat yang diharapkan? Jika setelah terpilih gres mempersoalkan kedudukan DPD yang lemah, akan simpel nampak dari luar bahwa para anggota DPD spesialuntuk berusaha memperbesar kekuasaan sendiri, bukan berpikir tentang nasib rakyat di daerah-daerah.
Ada beberapa hal yang sanggup dilakukan untuk memperkuat atau menempatkan diri sebagai lembaga yang penting dalam sistem ketatguagaraan kita pada periode 2009-2014 yang akan hadir. Pertama, diberikan pemberian kepada wangsit Perubahan Kelima Undang-Undang Dasar 1945 yang hadir dari partai-partai politik yang berkuasa; Kedua, tingkatkan kinerja dengan ‘high profile’ di segala bidang di mata publik; Ketiga, setiap anggota DPD sebaiknya mengalihkan samasukan Koreksi, bukan kepada dewan perwakilan rakyat yang merasa disaingi oleh DPD, tetapi justru aktif dan kritis terhadap jalannya pemerintahan sesuai dengan kewenangannya. dewan perwakilan rakyat harus diperlakukan sebagai partner, bukan saingan.
Keempat, perjuangkan melalui undang-undang susduk semoga pimpinan MPR dirangkap oleh pimpinan dewan perwakilan rakyat dan DPD. Misalnya, Ketua dewan perwakilan rakyat ialah Ketua MPR, sedangkan Ketua DPD sebaga Wakil Ketua MPR. Adakan dialogue-dialogue dan lobi-lobi informal dan tertutup dengan pimpinan partai-partai politik terkena kemungkinan peningkatan kedudukan DPD di masa yang akan hadir. Namun demikian, pendekatan-pendekatan semacam ini tidakboleh mempersembahkan kesan kepada publik bahwa inisiatif untuk memperbesar kekuasaan hadir dari kalangan DPD sendiri. Kelima, dan hal-hal lain yang sanggup didiskusikan bersama, sehngga kinerja DPD sanggup menjalan lebih efektif dan dirasakan kebergunaannya dalam sistem politik dan ketatguagaraan kita berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945.
[1] Lihat disertasi Dr. Fatmawati, Struktur dan Fungsi Legislasi Parlemen dengan Sistem Multikameral: Studi Perbandingan antara Indonesia dan Berbagai Negara”, Fakultas Hukum Universitas Indonesia , Jakarta , 2009.
[2] Ingat dalam aneka macam kesemapatan dan aneka macam goresan pena saya terkena soal ini, saya selalu mengingatkan bahwa yang harus kita anggap sebagai naskah resmi ialah naskah terbitan Undang-Undang Dasar 1945 yang terdiri atas 5 kepingan yang tersusun secara kronologis berdasarkan urutan pengesahannya, dimana yang satu menjadi lampiran dari naskah yang sudah lebih doloe disahkan, yaitu (i) Naskah Undang-Undang Dasar 1945 berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, (ii) Naskah Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar 1945 Tahun 1999, (iii) Naskah Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945 Tahun 2000, (iv) Naskah Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 Tahun 2001, dan (v) Naskah Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945 Tahun 2002. Sedangkan naskah konsolidasi yang juga diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal MPR ialah naskah yang bersifat tidak resmi. Tambahan pula, sesuai ketentuan UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, naskah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang orisinil dan dianggap resmi itu juga wajib dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, sehingga satu-satunya referensi terkena naskah orisinil dan resmi itu nantinya ialah yang tertuang dalam Lembaran Negara itu.
0 Response to "Lembaga Perwakilan Dan Permusyawaratan Rakyat Tingkat Sentra - Jimly Asshiddiqie"
Posting Komentar