Makalah Masyarakat Ummatan Wasathan Dalam Perspektif Alquran



KATA PENGANTAR

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، أَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ وَأَشْكُرُهُ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ وَأَسْتَغْفِرُهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًاعَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، دَعَا إِلَى اللهِ عَلَى بَصِيْرَةٍ فَاسْتَجَابَ لِدَعْوَتِهِ الرَّاشِدُوْنَ، فَصَلَوَاتُ اللهِ وَسَلاَمُهُ عَلَيْهِ وَعَلَى مَنْ تَبِعَهُ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ
Segala puji dan kemuliaan spesialuntuklah milik Rabb semata, atas segala rahmat dan ni’matn-Nya yang sudah dikaruniakan kepada segenap hamba-Nya. Shalawat dan salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada junjunan alam nabi Muhammad Saw yang menuntun umatnya ke jalan yang paling benar.
Alhamdulillah berkat rahmat dan hidayah Allah Swt, kami sanggup menyusun dan menuntaskan sebuah kajian ilmiyah wacana “Objektifikasi Konsep Masyarakat yang Ummatan wasathan berdasrkan Al qur’an  Q.S. Al baqarah [2]:143”.
Disamping itu, kami sadari sepenuhnya bahwa kajian makalah yang kami sajikan ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karna itu kami selalu berharap atas Koreksi dan masukanya yang membangun, guna meningkatkan wawasan ilmu pengetahuan kami di masa yang akan hadir.
Harapan kami, semoga makalah ini bisa bermanfaa bagi para pembacanya serta menjadi amal shaleh bagi kami, Amiin.


                                                               Bandung, 17 Mei 2014


                                                                                              Penulis










DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................
DAFTAR ISI..................................................................................................................
BAB I:  PENDAHULUAN...........................................................................................
a. Latar Belakang Masalah..............................................................................................
b. Rumusan Masalah.......................................................................................................
c. Metode Penelitian.......................................................................................................
BAB II : TINJAUAN TEORITIS.................................................................................
a. Tinjauan Turats (Keilmuan Islam)...............................................................................
1.    Pengertian masyarakat yang ummatan wasathan.......................................................
2.    Pandangan al Alquran wacana masyarakat masyarakat yang ummatan wasathan.......
b. Tinjauan Teori Antropologi (Clifford Geertz)............................................................
BAB III : HASIL RISET...............................................................................................
a.    Subjek Kajian (ayat al-Qur’an / al-Hadits yang diteliti)............................................
b.    Tafsir ‘Ulama atas Subjek Kajian...............................................................................
c.    Objektifikasi dalam Konteks Indonesia Kini.............................................................
BAB IV:  KESIMPULAN.............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................











    



BAB I
PENDAHULUAN

               a. Latar Belakang Masalah
Islam menaruh perhatian terhadap masyarakat menyerupai perhatiannya terhadap individu. Masyarakat dan individu ialah satu sama lain saling mempengaruhi.[1][1] Karena baiknya suatu masyarakat disebabkan baiknya individu begitu juga sebaliknya rusaknya masyarakat lantaran disebabkan rusaknya individu. Oleh lantaran itu Allah mengisyaratkan bahwa kalau suatu masyarakat ingin baik, maka langkah pertama yang harus diperbaiki terlebih lampau ialah dengan memperbaiki individu-individunya. Untuk membentuk individu-individu yang baik maka perlu lingkungan atau masyarakat yang baik pula. Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Al Qardhawy yaitu baiknya individu ialah suatu keharusan bagi baiknya masyarakat, lantaran individu ialah bagaikan kerikil bata dalam suatu bangunan, maka tidak ada kebaikan pada bangunan kalau kerikil batanya rapuh. Dalam Al Qur’an banyak digambarkan wacana ciri atau kriteria suatu masyarakat harapan yang Allah sudah jelaskan kepada kita. Salah satu ayat Al Qur’an yang mengabarkan wacana masyarakat islami yang dimaksudkan oleh Allah yaitu terdapat dalam Surah Al Baqarah: 143.
Karena terlalu banyaknya citra wacana masyarakat ideal yang dijelaskan oleh Al Qur’an, maka dalam hal ini penulis memseriuskan diri untuk mengulas wacana citra masyarakat islami yang termaktub dalam Surah Al Baqarah: 143.

Dan tidaklah hijrah Nabi SAW ke Madinah kecuali dalam kerangka perjuangan untuk membangun masyarakat yang berdikari yang terpancang di dalamnya aqidah Islam, nilai-nilai, syi'ar-syi'ar dan aturan-aturannya. Masyarakat Islam ialah masyarakat yang tidak sama dengan masyarakat mana pun, baik keberadaannya maupun karakternya. Ia ialah masyarakat yang Rabbani, insani, akhlaqi dan masyarakat yang seimbang (tawazun). Ummat Islam dituntut untuk mendirikan masyarakat menyerupai ini, sehingga mereka bisa memperkuat agama mereka, membentuk kepribadian mereka dan bisa hidup di bawah naungannya dengan kehidupan Islami yang sempurna. Suatu kehidupan yang diarahkan oleh aqidah Islamiyah dan dimembersihkankan dengan ibadah, dituntun oleh pemahaman yang shahih, digerakkan oleh semangat yang menyala, terikat dengan moralitas dan watak Islamiyah, serta diwarnai oleh nilai-nilai Islam. Diatur oleh. aturan Islam dalam perekonomian, seni, politik dan seluruh segi kehidupannya. Masyarakat Islam bukanlah masyarakat yang spesialuntuk menerapkan syari'at Islam pada bidang aturan saja, terutama di bidang pidana dan perdata sebagaimana difahami oleh mayoritas ummat. Bahkan mengarah pada berbuat zhalim terhadap masyarakat, dengan memseriuskan seluruh potensi yang bermacam-macam dalam menegakkan satu pilar di antara banyak pilar yaitu hukum, dan bahkan dalam satu bidang saja dari aturan tersebut yaitu pidana atau perdata. Untuk itu penting sekali bagi kita untuk sanggup mempersembahkan citra yang terang, wacana komponen-komponen utama dalam membentuk masyarakat yang kita idamkan. Telah berdiri di sini banyak sekali gerakan dan jamaah Islam di banyak sekali penjuru dunia Arab ataupun dunia
               b. Rumusan Masalah
melaluiataubersamaini merujuk pada uraian singkat dari latar belakang yang sudah dikemukakan, kelihatan bahwa interpretasi wacana Ummatan wasathan sangat menarikdanunik untuk dikaji berdasarkan tinjauan tafsir tematik dengan menggunakan multi tekni interpretasi. Sekaitan dengan ini, maka permasalahan yang dijadikan obyek pembahasan ialah :
1.      pengertian masyarakat yang Ummatan wasathan ?
2.      bagaimana konsep masyarakat Ummatan wasathan dalam perspektif Alquran  ?
3.      bagaimana adilikasi dalam Konteks Indonesia terkini sebagai Ummatan wasathan ?

               c. Metode Penelitian
Dalam penulisan makalah ini penulis menggunakan metode kualitatif yang didasarkan atas kepustakaan yang menitikberatkan kepada pandangan para jago dan ulama berdasarkan buku yang mereka tulis







BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A.    Tinjauan Turats (Keilmuan Islam)
1.      Pengertian masyarakat yang ummatan wasathan
Kata ummat terambil dari kata amma-yaummu yang berarti menuju menumpu dan meneladani. Menurut Qurais Shihab ummat diartikan sebagai himpunan pengikut nabi Muhammad. Dalam hal ini menurutnya lagi kenapa Al Qur’an menggunakan kata ummat lantaran didalamnya sanggup menampung perbedaan kelompok-kelompok, betapapun kecil jumlah mereka, selama masih pada arah yang sama yaitu Allah SWT.[2][10] Dari kata ummat—dalam pengertian himpunan-- inilah maka kita maka kita mengenal istilah masyarakat.
Secara umum masyarakat diartikan sebagai kumpulan orang atau individu. Sedangkan dalam (Quraish Shihab, 1996) masyarakat diartikan sebagai kumpulan sekian banyak individu­­ –kecil atua besar—yang terkait oleh satuan adat, situs atau aturan khas dan hidup bersama. Dalam bahasa Al Qur’an digunakan beberapa kata diantaranya: qawm, ummah, syu’ub dan qobail. [3][11] dari arti yang sudah dipaparkan sanggup dimengerti bahwa masyarakat ialah kumpulan dari sekian orang atau individu yang hidup bersama dan mempunyai tujaun bersama serta terikat oleh sebuah aturan yang sudah disahkan bersama dan gotong royong atau hidup bersma dalam waktu yang lama.
Sedangkan ideal dalam pengertian ini ialah sesuai dengan yang dicita-citakan. meminjam istilah Ali Nurdin, maksud dari pengertian masyarakat ideal dalam pembahasan ini ialah citra yang bersifat umum dan normativ terkena esensi atau hakikat masyarakat yang dicita-citakan oleh Al Qur’an Surah Al Baqarah: 143.[4][12]
Kata wasathan terdiri dari aksara wau, sin dan tha’ dasar pertengahan atau moderat yang memang merujuk pada pengertian adil. Ar Raghib menyerupai yang dikutip Ali Nurdin, mengartikan wasathan sebagai sesuatu yang berada dipertengahan yang kedua ujungnya pada posisi sama. Ummathan wasathan ialah masyarakat yang berada dipertengahan dalam arti moderat, posisi pertengahan menimbulkan anggota tidak memihak kekiri dan kekanan, yang sanggup mengantar insan berlaku adil. Posisi itu juga yang menajdikannya sanggup menyaksikan siapapun dan dimanapun. Allah menimbulkan umat Islam pada posisi pertengahan semoga menajdi saksi atas perbuatan manusia, yakni umat yang lain.
Abdullah Yusuf Ali mengartikan wasathan sebagai justly balance maksudnya bahwa esensi pedoman Islam ialah menghilangkan segala bentuk ekstriminitas dalam banyak sekali hal. Kata wasathan juga menunjuk pada letak geografi yaitu letak geografi tanah Arab berada di pertengahan bumi.[5][13] Dari beberapa pengertian yang dikemukakan diatas, mengisyaratkan bahwa sebuah masyarakat ideal terbangun dari sikap para personnya yang berlaku tidak berlebih-lebihan dari satu urusan kepada urusan yang lain, atau berada pada posisi tengah diantara dua ekstrim. Hal ini menyerupai yang dikemukakan oleh Quraish Shihab yang mengemukakan bahwa pada mulanya kata wasath berarti segala sesuatu yang baik sesuai dengan objeknya. Sesuatu yang baik berada pada posisi dua ekstrim, yang dicontohkan bahwa keberanian ialah pertengahan antara sikap ceroboh dan takut, kedermawanan ialah pertengahan antara sikap kikir dan boros, dll, dari situ berkembang maknanya menjadi tengah.[6][14]
Sementara itu Muhammad Quthb, menyampaikan bahwa ummathan wasathan kalau dihubungkan pada posisi Islam yang berada di tengah sisi ekstrim,--yaitu kapitalisme dan komunisme-- Jika diperhatikan tiga sistem kehidupan yang diperjuangkan, yaitu Islam, komunisme dan kapitalisme, maka sanggup dijumpai bahwa dalam sistem ekonominya—Islam—yang berkenaan dengan hak milik pribadi contohnya ada kekerabatan yang erat dengan konsep kemasyarakatannya. Sistem kapitalis didirikan diatas konsep bahwa individu ialah suatu makhluk suci yang hak-haknya dihentikan diganggu gugat oleh masyarakat atau dihentikan dihalang-halangi kebebasannya. Oleh lantaran itu, dalam sistem kapitalisme ini milik pribadi diizinkan tanpa ada pembatasan apapun. Sebaliknya sistem komunisme mendasarkan konsepnya atas landasan bahwa masyarakat itu ialah pokok yang terpenting sehingga individu dengan sendirinya dianggap tidak mempunyai kekuasaan apapun. Oleh akhirnya komunisme meletakan seluruh hak milik pribadi berada di dalam kekuasaan Negara sebagai wakil masyarakat dan hak milik individu tidak diakuinya.kedua konsep ini berlainan dengan konsep Islam. Dalam konsep Islam individu sekaligus mempunyai dua sifat dalam waktu bersamaan, yaitu mempunyai sifat sebagai individu yang bebas dan mempunyai sifat sebagai salah satu anggota masyarakat. Dalam konsep kemasyarakatannya yang didasarkan atas teori Islam, Al Qur’an tidak memisahkan individu dengan masyarakat dan tidak pula memperperihalkannya. Kedua watak yang dimiliki oleh individu yakni sebagai pribadi yang bebas dan sebagai anggota masyarakat, itu sudah diatur oleh syari’at Islam semoga mempunyai keseimbangan diantara kedua watak tersebut, kepentingan individu terlindungi dan kepentingan masyarakat terpelihara. jadi masyarakat ideal ialah masyarakat yang sikapnya dan tindakanya berada pada posisi dua ekstrim menyerupai yang tersebut diatas, serta bisa berlaku adil sehingga sanggup dijadikan saksi. suatu masyarakat belum dijadikan sebagai saksi sebelum mengikuti Rasulullah atau menimbulkan Rasulullah sebagai teladan, lantaran kalau tidak menimbulkan Rasulullah sebagai tauladan maka suatu masyarakat tidak disebut sebagai masyarakat pertengahan tetapi masyarakat yang mengikutii salah satu dari dua ekstrim. Ketika suatu masyarakat sudah menimbulkan Rasullulah sebagai teladanya maka Rasulullah akan menjadi saksi atas masyarakat tersebut. Makara sangat mustahil Rasulullah akan menjadi saksi atas masyarakat yang berlaku tidak adil. Dalam hal ini apakah rasulullah akan menjadi saksi pada masyarakat yang bersikap dzalim dengan berlaku anarkis?

Tinjauan turats yang penulis pakai secara keilmuan islam yaitu metode yang digunakan dalam penafsiran al Qur’an ibnu katsir yaitu : segi metodologi ia menganut sistem tradisional, yakni sistematika tertib mushaf dengan menyelesaikan penafsiran seluruh ayat dari surah fatihah hingga simpulan surah annnas. Dikatakan bahwa dalam operasionalisasinya, Ibnu Katsir menempuh cara pengelompokkan ayat-ayat tidak sama, namun tetap dalam konteks yang sama. Metode demikian juga ditempuh beberapa mufassir di era 20-an menyerupai Rasyid Ridha, Al-Maraghi, Al-Qasimi.
Kitab ini sanggup dikategorikan sebagai salah satu kitab tafsir dengan corak dan orientasi (al-laun wa ittajah) tafsir bi al-ma’tsur /tafsir bi al-riwayah, lantaran dalam tafsir ini sangat mayoritas menggunakan riwayat/hadis, pendapat sobat erat dan tabi’in.
Adapun metode (manhaj) yang ditempuh Ibnu Katsir dalam menafsirkan al-Quran sanggup dikategorikan sebagai manhaj tahlili (metode analitis). Kategori ini dikarenakan pengarangnya menafsirkan ayat demi ayat secara analitis berdasarkan urutan mushaf al-Quran. Meski demikian metode penafsiran kitab ini pun sanggup dikatakan semi tematik (maudhu’i) lantaran ketika menafsirkan ayat ia mengelompokan ayat-ayat yang masih dalam satu konteks pembicaraan ke dalam satu tempat, baik satu atau beberapa ayat kemudian ia menampilkan ayat-ayat lainnya terkait untuk membuktikan ayat yang sedang ditafsirkan itu.
Metode tersebut, ia aplikasikan dengan metode-metode penafsiran yang dianggapanya paling baik (ahsan turuq al-tafsir). Langkah-langkah dalam penafsirannya  secara garis besar ada tiga; Pertama, sebut ayat ditafsirkannya, kemudian menafsirkannya dengana bahasa yang simpel dan ringkas. Jika memungkinkan, ia membuktikan ayat tersebut dengan ayat yang lain, kemudian memperbandingkannya hingga makna dan maksudnya jelas. Kedua, mengemukakan banyak sekali hadis atau riwayat yang marfu’ yang berafiliasi dengan ayat yang sedang ditafsirkan. Ia pun sering membuktikan antara hadis atau riwayat yang sanggup dijadikan argumentasi (hujah) dan yang tidak, tanpa mengabaikan pendapat para sobat dekat, tabi’in dan para ulama salaf. Ketiga,  mengemukakan banyak sekali pendapat mufasir atau ulama sebelumnya. Dalam hal ini, ia terkadang memilih pendapat yang paling berpengaruh dia antara para ulama yang dikutipnya, atau mengemukakan pendapatnya sendiri dan terkadang ia sendiri tidak berpendapat.
Secara lebih rinci tahap-tahap tersebut akan diuraikan dibawah ini:

               b. Tinjauan Teori Antropologi (Clifford Geertz)
Tinjauan teori antropologi yang penulis pakai dalam penulisan makalah ini ialah teori yang di gagas oleh clifford geertz yang mana  Antropologi memandang Agama sebagai Sistem Budaya,  dgn karakteristik sebagai diberikut:
  1. sistem simbol
  2. yang berperan membangun suasana  hati dan motivasi yang kuat dan tahan usang di dalam diri insan
  3. dengan cara merumuskan konsepsi tatanan kehidupan umum
  4. dan mengemas konsepsi ini dengan suatu aura faktualitas tertentu
  5. sehingga suasana hati dan motivasi tampak realistik secara unik”.
(Clifford Geertz, dlm, Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, 2001: 412-419; lihat juga, Julian Ashari, Dari Bumi untuk Langit, 2014: 122)






BAB III
HASIL RISET

  1. Subjek Kajian (ayat al-Qur’an / al-Hadits yang diteliti)
Allah SWT. Telah berfirman dalam Al Qur’an Surah Al Baqarah: 143, yang didalamnya menegaskan bahwa Allah menimbulkan umat Islam sebagai ummathan wasathan untuk menjadi saksi bagi manusia.
y7Ï9ºxx.ur öNä3»oYù=yèy_ Zp¨Bé& $VÜyur (#qçRqà6tGÏj9 uä!#ypkà­ n?tã Ĩ$¨Y9$# tbqä3tƒur ãAqߧ9$# öNä3øn=tæ #YÎgx© 3 $tBur $oYù=yèy_ s's#ö7É)ø9$# ÓÉL©9$# |MZä. !$pköŽn=tæ žwÎ) zNn=÷èuZÏ9 `tB ßìÎ6®Ktƒ tAqߧ9$# `£JÏB Ü=Î=s)Ztƒ 4n?tã Ïmøt7É)tã 4 bÎ)ur ôMtR%x. ¸ouŽÎ7s3s9 žwÎ) n?tã tûïÏ%©!$# yyd ª!$# 3 $tBur tb%x. ª!$# yìÅÒãÏ9 öNä3oY»yJƒÎ) 4 žcÎ) ©!$# Ĩ$¨Y9$$Î/ Ô$râäts9 ÒOŠÏm§ ÇÊÍÌÈ  
143. dan demikian (pula) Kami sudah menimbulkan engkau (umat Islam), umat yang adil dan pilihan[95] semoga engkau menjadi saksi atas (perbuatan) insan dan semoga Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) engkau. dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan semoga Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa Amat berat, kecuali bagi orang-orang yang sudah didiberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.

[95] Umat Islam dijadikan umat yang adil dan pilihan, lantaran mereka akan menjadi saksi atas perbuatan orang yang menyimpang dari kebenaran baik di dunia maupun di akhirat.


  1. Tafsir ‘Ulama atas Subjek Kajian
Untuk memahami ayat 143 surah Al Baqarah, para ulama tafsir sudah menafsirkannya diantaranya ialah Sayyid Quthb, dia menyampaikan bahwa umat Islam ialah umat pertengahan yaitu umat yang adil dan pilihan serta menjadi saksi atas insan seluruhnya, maka ketika itu umat Islam menjadi penegak keadilan dan keseimbangan diantara manusia.[7][3] Senada dengan apa yang dikemukakan oleh Quraish Shihab yang menyampaikan bahwa Ummathan wasthan yaitu umat pertengahan moderat dan teladan sehingga dengan demikian keberadaan kaum dalam posisi pertengahan itu, sesuai dengan posisi ka’bah yang berada dipertengahan pula. Posisi pertengahan menimbulkan insan tidak memihak kekiri dan kekanan, hal mana mengantar insan berlaku adil. Posisi pertengahan menimbulkan seseorang sanggup dilihat oleh siapapun dalam penjuru yang tidak sama dan ketika itu ia sanggup mejadi teladan bagi tiruana pihak. Posisi itu juga menjadikannya sanggup menyaksikan siapapun dan dimanapun. Allah menimbulkan umat Islam pada posisi pertengahan semoga umat Islam menjadi saksi atas perbuatan umat yang lain. Tetapi hal ini tidak sanggup dilakukan kecuali kalau menimbulkan Rasulullah SAW. syahid yakni saksi yang menyaksikan kebenaran sikap dan perbuatan kalian dan beliaupun kalian saksikan, yakni kalian jadikan teladan dalam segala tingkah laku.
Ummathan wasathan juga diartikan pertengahan dalam pandangan wacana Tuhan dan dunia. Tidak mengingkari wujud Tuhan, tetapi tidak juga menganut paham polyteisme (banyak Tuhan). Pandangan Islam ialah Tuhan Maha Wujud Dia Maha Esa. Pertengahan juga ialah pandangan umat Islam wacana kehidupan dinia ini. Pandangan Islam wacana hidup ialah disamping ada dunia juga ada akhirat, keberhasilan di darul abadi ditentukan oleh kepercayaan dan amal shalih di dunia. Manusia dihentikan karam dalam materialism tidak pula membumbung tinggi dalam spiritualisme.[8][4] Sementara itu Ibnu Katsir menyampaikan bahwa yang dimaksud Wasathan berarti pilihan dan yang terbaik, Allah menimbulkan umat ini ialah umat yang terbaik. Allah SWT. Telah mengkhususkannya dengan syariat-syariat yang paling tepat dan tuntunan-tuntunan yang paling lurus serta jalan-jalan yang paling jelas, menyerupai dalam Al Qur’an Surat Al Hajj: 78.[9][5] Wasathan menurutnya juga bisa diartikan sebagai adil, hal ini berdasar atas hadits riwayat Ahmad yang menyampaikan bekerjsama yang akan menjadi saksi para nabi yaitu Nabi Mumammad dan umatnya.[10][6]
Senada dengan apa yang sudah dikemukakan diatas, Al Maraghi menyatakan bahwa sikap umat Islam tengah-tengah diantara dua ekstrim. Sebelum lahirnya Islam, umat insan terbagi menjadi dua kelompok yaitu, pertama, orang-orang yang selalu cenderuang kepada kepentingan dunai dan kebutuhan jasmaniah, menyerupai kaum Yahudi dan musyrikin. Kedua, yaitu orang-orang yang mengekang atau membelenggu diri dengan adat kebiasaan dan kepentingan rohaniah secara total, sehingga sama sekali meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawiah termasuk kebutuhan jasmaniah mereka. Mereka ialah kaum Nasrani, sabi’in dan beberapa pengikut sekte agama hindu penyembah berhala, yakni kelompok yang popular dengan olahraga yoga. Kemudia Islam lahir yang berupaya memadu antara dua kebutuhan rohaniah dan jasmaniah (duniawiah) disamping mempersembahkan hak-hak secara manusiawi.
Umat Islam dikatakan sebagai umat yang pertengahan kalau mengikuti jejak ajaranya, alasannya ajaran-ajaran belaiau ialah undang-undang bagi para pengikutnya, siapapun yang menyimpang dan menciptkan adat tersendiri yang menyimpang dari pedoman beliau, maka ketika itu pedoman Rasul ialah bumerang bagi mereka sendiri, merekapun bukan termasuk golongan Rasulullah. Jika seseorang tidak berlaku sebagaimana prilaku yang diteladani Rasul, maka ia bukan termasuk yang ialah bersikap pertengahan, tetapi ia sudah memihak kepada salah satu diantara kedua golongan ekstrim.[11][7] Dari uraian yang sudah dipaparkan oleh sebagaian mufasir, sekiranya sanggup diambil benang merah bekerjsama ummathan wasathan ialah umat pertenganahan yang utama atau terbaik serta adil sehingga sanggup menjadi saksi atas perbuatan manusia. Kenapa umat Islam oleh Allah dijadikan umat yang terbaik atau umat plihan atau umat yang adil? Untuk menjawaban pertanyaan ini, terlebih lampau marilah kita simak pemaparan yang dikemukakan oleh Sayyid Quthb. Beliau mengklasifikasikan umathan wasathan dalam banyak sekali bentuknya, ialah sebagai diberikut:
1. Ummatan wasathan (umat pertengahan) dengan segala makna wasath baik yang diambil dari kata wisaathah yang berarti anggun dan utama, maupun dari kata wasath yang berarti adil dan seimbang atau dari kata wasath dalam arti material indrawi.
2. Ummathan wasathan dalam tashawur pandangan, pemikiran, dan keyakinan. Umat Islam bukanlah umat yang semata-mata bergelut dan terhanyut dengan ruhiyah (rohani) dan juga bukan umat yang semata-mata beraliran bahan (materialisme) akan tetapi umat Islam ialah umat yang pemenuhan nalurinya seimbang dan bersesuaian dengan pemenuhan jasmani.
3. Ummathan wasathan dalam pemikiran dan perasaan. Umat Islam bukanlah umat yang beku dan stagnan dengan apa yang diketahui. Juga bukan umat yang tertutup terhadap eksperimentasi ilmiah dan pengetahuan-pengetahuan lain. Mereka juga bukan umat yang simpel mengikuti suara-suara yang didengung-dengungkan orang lain dengan taklid buta menyerupai taklidnya simpanse yang lucu. Akan tetapi umat Islam ialah umat yang berpegang pada pandangan hidup, manhaj dan prinsipnya.
4. Ummathan wasathan dalam peraturan dan keserasian hidup. Umat Islam tidak spesialuntuk bergelut dalam hidupnya dengan perasaan dan hati nurani, dan juga tidak terpaku dengan watak dan aturan manusia. Akan tetapi umat Islam mengangkat nurani insan dengan aturan dari Allah SWT. Serta dengan suatu instruksi dan pengajaran. Dan menjamin aturan masyarakat dengan suatu pengaturan yang menyeluruh. Islam tidak membiarkan aturan kemasyarakatan dibentuk oleh penguasa dan juga tidak dilakukan secara eksklusif oleh wahyu. Tetapi aturan kemasyarakatan itu adalan percampuran antara keduanya yakni aturan yang berasal dari wahyu dan dilaksanakan oleh penguasa.
5. Ummathan wasathan dalam ikatan dan hubungan. Islam tidak membiarka insan melepaskan dan melampaui batas dalam individualnya dan juga tidak meniadakan tugas individualnya dalam masyarakat atau Negara. Islam juga tidak membiarkan serakah dan tamak dalam kehidupan kemasyarakatannya. Aka tetapi Islam mempersembahkan kebebasan yang positif saja, menyerupai kebebasan menuju kemajuan dan pertumbuhan.
6. Ummathan wasathan dalam tempat, yakni suatu kawasan dipermukaan bumi dimana umat Islam ada diseluruh peloksoknya baik di barat, timur, utara maupun selatan dengan posisi ini umat Islam menjadi saksi atas insan lainnya.
7. Ummathan wasathan dalam zaman. Mengakhiri masa belum dewasa dengan menyongsong masa kedewasaan berpikir. Tegak ditengah-tengah dengan mengikis khurafat dan takhayul yang menempel lantaran terbawa dari zaman kebodohan dan kekanak-kanakan yang kemudian dan memelihara kemajaun nalar yang dikendalikan hawa nafsu syaitan.[12][8]
Dari uraian diatas maka sanggup diambil kesimpulan sekaligus untuk menjawaban pertanyaan diatas, bahwa umat Islam oleh Allah dijadikan sebagai umat terbaik, pilihan atau adil lantaran pertama, umat Islam bisa menyeimbangkan pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani tidak terjebak pada salah satunya. Kedua, dari cara berpikirnya umat Islam tidak stagnan dalam pemikiran dan perbuatan serta tidak taqlid buta terhadap suara-suara yang didengungkan dan tidak tertutup terhadap eksperimen-eksperimen ilmiah dan pengetahuan yang lain dengan berpegang teguh pada pandangan hidup, manhaj dan prinsipnya. Ketiga, dalam hal aturan umat Islam tidak menggunakan aturan kecuali sesuai dengan apa yang sudah dituntunkan oleh Allah tetapi juga tidak antipati terhadap aturan yang sudah dibentuk Negara selama tidak berperihalan dengan syari’at. Keempat, umat Islam bisa mengkolaborasikan antara kepentingan individunya dan kepentingan masyarakat, tidak terjebak pada salah satunya yaitu menjadi individu yang individualistik atau malah meniadakan sama sekali tugas keindividuannya. Dan lain-lain.
Tidak bisa diingkari bahwa pada zaman kini umat Islam sudah tidak mengambil lagi posisi yang sebenarnya yang sudah didiberikan Allah SWT. Kepadanya. Umat sudah kosong dari aturan Allah dalam arti sudah tidak lagi menggunakan manhaj atau metode yang tealah dipilihkan Allah untuknya. Umat sudah mengambil bermacam-macam macam metode yang bukan dari Islam, sekaligus umat sudah menerapkan celupan yang bukan celupan dari Allah.[13][9]

Pengertian
Dari beberapa klarifikasi yang sudah dikemukakan oleh beberapa mufasir terkena ayat ini (Q.S. Al Baqarah: 143) kemudian penulis akan memformulasikanya untuk mengidentifikasi masyarakat ideal. Sebelum penulis menguraikan lebih lanjut terkena masyarakat ideal terlebih lampau penulis akan memaparkan pengertian wacana masyarakat ideal itu sendiri.
Kata ummat terambil dari kata amma-yaummu yang berarti menuju menumpu dan meneladani. Menurut Qurais Shihab ummat diartikan sebagai himpunan pengikut nabi Muhammad. Dalam hal ini menurutnya lagi kenapa Al Qur’an menggunakan kata ummat lantaran didalamnya sanggup menampung perbedaan kelompok-kelompok, betapapun kecil jumlah mereka, selama masih pada arah yang sama yaitu Allah SWT.[14][10] Dari kata ummat—dalam pengertian himpunan-- inilah maka kita maka kita mengenal istilah masyarakat.
Secara umum masyarakat diartikan sebagai kumpulan orang atau individu. Sedangkan dalam (Quraish Shihab, 1996) masyarakat diartikan sebagai kumpulan sekian banyak individu­­ –kecil atua besar—yang terkait oleh satuan adat, situs atau aturan khas dan hidup bersama. Dalam bahasa Al Qur’an digunakan beberapa kata diantaranya: qawm, ummah, syu’ub dan qobail. [15][11] dari arti yang sudah dipaparkan sanggup dimengerti bahwa masyarakat ialah kumpulan dari sekian orang atau individu yang hidup bersama dan mempunyai tujaun bersama serta terikat oleh sebuah aturan yang sudah disahkan bersama dan gotong royong atau hidup bersma dalam waktu yang lama.
Sedangkan ideal dalam pengertian ini ialah sesuai dengan yang dicita-citakan. meminjam istilah Ali Nurdin, maksud dari pengertian masyarakat ideal dalam pembahasan ini ialah citra yang bersifat umum dan normativ terkena esensi atau hakikat masyarakat yang dicita-citakan oleh Al Qur’an Surah Al Baqarah: 143.[16][12]
Kata wasathan terdiri dari aksara wau, sin dan tha’ dasar pertengahan atau moderat yang memang merujuk pada pengertian adil. Ar Raghib menyerupai yang dikutip Ali Nurdin, mengartikan wasathan sebagai sesuatu yang berada dipertengahan yang kedua ujungnya pada posisi sama. Ummathan wasathan ialah masyarakat yang berada dipertengahan dalam arti moderat, posisi pertengahan menimbulkan anggota tidak memihak kekiri dan kekanan, yang sanggup mengantar insan berlaku adil. Posisi itu juga yang menajdikannya sanggup menyaksikan siapapun dan dimanapun. Allah menimbulkan umat Islam pada posisi pertengahan semoga menajdi saksi atas perbuatan manusia, yakni umat yang lain.
Abdullah Yusuf Ali mengartikan wasathan sebagai justly balance maksudnya bahwa esensi pedoman Islam ialah menghilangkan segala bentuk ekstriminitas dalam banyak sekali hal. Kata wasathan juga menunjuk pada letak geografi yaitu letak geografi tanah Arab berada di pertengahan bumi.[17][13] Dari beberapa pengertian yang dikemukakan diatas, mengisyaratkan bahwa sebuah masyarakat ideal terbangun dari sikap para personnya yang berlaku tidak berlebih-lebihan dari satu urusan kepada urusan yang lain, atau berada pada posisi tengah diantara dua ekstrim. Hal ini menyerupai yang dikemukakan oleh Quraish Shihab yang mengemukakan bahwa pada mulanya kata wasath berarti segala sesuatu yang baik sesuai dengan objeknya. Sesuatu yang baik berada pada posisi dua ekstrim, yang dicontohkan bahwa keberanian ialah pertengahan antara sikap ceroboh dan takut, kedermawanan ialah pertengahan antara sikap kikir dan boros, dll, dari situ berkembang maknanya menjadi tengah.[18][14]
Sementara itu Muhammad Quthb, menyampaikan bahwa ummathan wasathan kalau dihubungkan pada posisi Islam yang berada di tengah sisi ekstrim,--yaitu kapitalisme dan komunisme-- Jika diperhatikan tiga sistem kehidupan yang diperjuangkan, yaitu Islam, komunisme dan kapitalisme, maka sanggup dijumpai bahwa dalam sistem ekonominya—Islam—yang berkenaan dengan hak milik pribadi contohnya ada kekerabatan yang erat dengan konsep kemasyarakatannya. Sistem kapitalis didirikan diatas konsep bahwa individu ialah suatu makhluk suci yang hak-haknya dihentikan diganggu gugat oleh masyarakat atau dihentikan dihalang-halangi kebebasannya. Oleh lantaran itu, dalam sistem kapitalisme ini milik pribadi diizinkan tanpa ada pembatasan apapun. Sebaliknya sistem komunisme mendasarkan konsepnya atas landasan bahwa masyarakat itu ialah pokok yang terpenting sehingga individu dengan sendirinya dianggap tidak mempunyai kekuasaan apapun. Oleh akhirnya komunisme meletakan seluruh hak milik pribadi berada di dalam kekuasaan Negara sebagai wakil masyarakat dan hak milik individu tidak diakuinya.kedua konsep ini berlainan dengan konsep Islam. Dalam konsep Islam individu sekaligus mempunyai dua sifat dalam waktu bersamaan, yaitu mempunyai sifat sebagai individu yang bebas dan mempunyai sifat sebagai salah satu anggota masyarakat. Dalam konsep kemasyarakatannya yang didasarkan atas teori Islam, Al Qur’an tidak memisahkan individu dengan masyarakat dan tidak pula memperperihalkannya. Kedua watak yang dimiliki oleh individu yakni sebagai pribadi yang bebas dan sebagai anggota masyarakat, itu sudah diatur oleh syari’at Islam semoga mempunyai keseimbangan diantara kedua watak tersebut, kepentingan individu terlindungi dan kepentingan masyarakat terpelihara. jadi masyarakat ideal ialah masyarakat yang sikapnya dan tindakanya berada pada posisi dua ekstrim menyerupai yang tersebut diatas, serta bisa berlaku adil sehingga sanggup dijadikan saksi. suatu masyarakat belum dijadikan sebagai saksi sebelum mengikuti Rasulullah atau menimbulkan Rasulullah sebagai teladan, lantaran kalau tidak menimbulkan Rasulullah sebagai tauladan maka suatu masyarakat tidak disebut sebagai masyarakat pertengahan tetapi masyarakat yang mengikutii salah satu dari dua ekstrim. Ketika suatu masyarakat sudah menimbulkan Rasullulah sebagai teladanya maka Rasulullah akan menjadi saksi atas masyarakat tersebut. Makara sangat mustahil Rasulullah akan menjadi saksi atas masyarakat yang berlaku tidak adil. Dalam hal ini apakah rasulullah akan menjadi saksi pada masyarakat yang bersikap dzalim dengan berlaku anarkis?

  1. Objektifikasi dalam Konteks Indonesia Kini

Supremasi aturan di Indonesia masih harus direformasi untuk membuat kepercayaan masyarakat dan dunia internasional terhadap sistem aturan Indonesia. Masih banyak kasus-kasus ketidakadilan aturan yang terjadi di negara kita. Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang mempunyai kedudukan dan perlakuan aturan yang sama tanpa kecuali.
Keadaan yang sebaliknya terjadi di Indonesia. Bagi masyarakat kalangan bawah perlakuan ketidakadilan sudah biasa terjadi. Namun bagi masyarakat kalangan atas atau pejabat yang punya kekuasaan susah rasanya menjerat mereka dengan tuntutan hukum. Adilkah ini?
Kasus Nenek Minah asal Banyumas yang divonis 1,5 bulan kurungan ialah salah satu pola ketidakadilan aturan di Indonesia. Kasus ini berpertama dari pencurian 3 buah kakao oleh Nenek Minah. Saya oke apapun yang namanya tindakan mencuri ialah kesalahan. Namun demikian tidakboleh lupa aturan juga mempunyai prinsip kemanusiaan. Masak nenek-nenek kayak begitu yang buta aksara dieksekusi spesialuntuk lantaran ketidaktahuan dan keawaman Nenek Minah wacana hukum.
Menitikkan air mata ketika saya menyaksikan Nenek Minah duduk di depan pengadilan dengan wajah tuanya yang sudah keriput dan tatapan kosongnya. Untuk hadir ke sidang kasusnya ini Nenek Minah harus meminjam uang Rp.30.000,- untuk biaya transportasi dari rumah ke pengadilan yang memang jaraknya cukup jauh. Seorang Nenek Minah saja bisa menghadiri persidangannya walaupun harus meminjam uang untuk biaya transportasi. Seorang pejabat yang terkena masalah aturan mungkin banyak yang bolos dari panggilan pengadilan dengan alasan sakit yang kadang dibuat-buat. Tidak malukah dia dengan Nenek Minah?. Pantaskah Nenek Minah dieksekusi spesialuntuk lantaran mencuri 3 buah kakao yang harganya mungkin tidak lebih dari Rp.10.000,-?. Dimana prinsip kemanusiaan itu?. Adilkah ini bagi Nenek Minah?.
Bagaimana dengan koruptor kelas kakap?. INI sebenarnya yang menjadi ketidakadilan aturan yang terjadi di Indonesia. Begitu susahnya menjerat mereka dengan tuntutan hukum. Apakah lantaran mereka punya kekuasaan, punya kekuatan, dan punya banyak uang ?, sehingga bisa mengalahkan aturan dan aturan tidak berlaku bagi mereka para koruptor.
Sangat simpel menjerat aturan terhadap Nenek Minah, simpel sekali menghukum seorang yang spesialuntuk mencuri satu buah semangka, begitu gampangnya menjebloskan ke penjara suami-istri yang kedapatan mencuri pisang lantaran keadaan kemiskinan. Namun demikian sangat susah dan sangat berbelit-belit begitu akan menjerat para koruptor dan pejabat yang tersandung duduk kasus aturan di negeri ini. Ini sangat diskriminatif dan memalukan sistem aturan dan keadilan di Indonesia. Apa bedanya seorang koruptor dengan mereka-mereka itu?.
Saya tidak membenarkan tindakan pencurian oleh Nenek Minah dan mereka-mereka yang mempunyai masalah menyerupai Nenek Minah. Saya juga tidak membela perbuatan yang dilakukan oleh Nenek Minah dan mereka-mereka itu. Tetapi dimana keadilan aturan itu? Dimana prinsip kemanusian itu?. Seharusnya para penegak aturan mempunyai prinsip kemanusiaan dan bukan spesialuntuk menjalankan aturan secara positifistik.

INI dinamika aturan di Indonesia, yang menang ialah yang mempunyai kekuasaan, yang mempunyai uang banyak, dan yang mempunyai kekuatan. Mereka niscaya kondusif dari gangguan aturan walaupun aturan negara dilanggar. Orang biasa menyerupai Nenek Minah dan kawan-kawannya itu, yang spesialuntuk melaksanakan tindakan pencurian kecil eksklusif ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Sedangkan seorang pejabat negara yang melaksanakan korupsi uang negara milyaran rupiah sanggup berkeliaran dengan bebasnya.
Oleh lantaran itu perlu adanya reformasi aturan yang dilakukan secara komprehensif mulai dari tingkat sentra hingga pada tingkat pemerintahan paling bawah dengan melaksanakan pembaruan dalam sikap, cara berpikir, dan banyak sekali aspek sikap masyarakat aturan kita ke arah kondisi yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman dan tidak melupakan aspek kemanusiaan.





















BAB IV
KESIMPULAN

Masyarakat ideal berdasarkan Al Qur’an Surat Al Baqarah: 143 ialah masyarakat serasi atau masyarakat berkeseimbangan yang bercirikan bersifat moderat dan berdiri ditengah-tengah serta adil. Ummathan wasathan ialah masyarakat moderat yang posisinya berada ditengah semoga dilihat oleh tiruana pihak dari segenap penjuru dan dijadikan sebagai saksi sekaligus menjadi teladan dan panutan bagi yang lain dan pada ketika yang sama mereka menimbulkan Nabi Muhammad SAW. sebagai patron, teladan dan saksi dan pembenaran tiruana aktifitasnya.[19][15]

















Referensi
Ahmad Mustofa Al Maraghi, Tafsir Al Maraghi, Pent. Ashori Umar Sitanggal dkk., Semarang: CV Toha Putra, 1987.
Al Imam Abul Fida Ismail Ibnu Kasir Ad Dimasyqi, Tafsir Ibnu Kasir, pent. Bahrun Abu Bakar, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000
Ali Nurdin, Quranic Societi: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam Al Qur’an, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006.
M. Quraish Shihab, Wawasasn Al Qur’an, Bandung: Penerbit Mizan, 1996.
_________, Tafsir Al Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al Qur’an, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2000
Sayyid Quthub, Tafsir fi Zhilalil Qur’an (dibawah Naungan Al Qur’an), Penj. As’ad Yasin dkk., Jakarta: Gema Insani, 2000.
Anshari, Julian. Dari Bumi untuk Langit. Bandung. 2014.



[1][1] Yusuf Al Qordhawy, Malamih Al Mujtama’ Al Muslim Alladzi Nansyuduhu (Anatomi Masyarakat Islam), pent. Setiawan Budi Utomo, Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 1999, hal.1.
[2][10] M. Quraish Shihab, Wawasasn Al Qur’an, Bandung: Penerbit Mizan, 1996, hal. 326.
[3][11] Ibid., hal. 319.
[4][12] Ali Nurdin, Quranic Societi: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam Al Qur’an, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006, hal. 10-11.
[5][13].Ibid., hal. 104-106.
[6][14] M. Quraish Shihab, Wawasasn Al Qur’an, Bandung: Penerbit Mizan, 1996, hal. 328.
[7][3] Sayyid Quthub, Tafsir fi Zhilalil Qur’an (dibawah Naungan Al Qur’an), Penj. As’ad Yasin dkk., Jakarta: Gema Insani, 2000, hal. 158.
[8][4] M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al Qur’an, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2000, hal. 325.
[9][5] Al Imam Abul Fida Ismail Ibnu Kasir Ad Dimasyqi, Tafsir Ibnu Kasir, pent. Bahrun Abu Bakar, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000, hal. 10.
[10][6] Ibid., hal.13.
[11][7] Ahmad Mustofa Al Maraghi, Tafsir Al Maraghi, Pent. Ashori Umar Sitanggal dkk., Semarang: CV Toha Putra, 1987.
[12][8] Sayyid Quthub, Tafsir fi Zhilalil Qur’an (dibawah Naungan Al Qur’an), Penj. As’ad Yasin dkk., Jakarta: Gema Insani, 2000, hal. 158-159.
[13][9] Ibid.
[14][10] M. Quraish Shihab, Wawasasn Al Qur’an, Bandung: Penerbit Mizan, 1996, hal. 326.
[15][11] Ibid., hal. 319.
[16][12] Ali Nurdin, Quranic Societi: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam Al Qur’an, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006, hal. 10-11.
[17][13].Ibid., hal. 104-106.
[18][14] M. Quraish Shihab, Wawasasn Al Qur’an, Bandung: Penerbit Mizan, 1996, hal. 328.
[19][15] Ali Nurdin, Quranic Societi: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam Al Qur’an, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006, hal. 108.

0 Response to "Makalah Masyarakat Ummatan Wasathan Dalam Perspektif Alquran"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel