Pengertian Justice Collaborator, Dan Perbedaannya Dengan Whistle Blower
Pengertian JUSTICE COLLABORATOR - Pengertian Justice Collaborator secara yuridis sanggup ditemukan pada Surat Edaran MA (SEMA) No 4 Tahun 2011 ihwal Perlakuan bagi Whistleblower dan Justice Collaborator. Pada SEMA tersebut, Justice Collaborator dimaknai sebagai seorang pelaku tindak pidana tertentu, tetapi bukan pelaku utama, yang mengakui perbuatannya dan bersedia menjadi saksi dalam proses peradilan.
Dalam Surat Keputusan Bersama antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, KPK dan Mahkamah Agung, Justice Collaborator ialah seorang saksi, yang juga ialah pelaku, namun mau berhubungan dengan penegak aturan dalam rangka membongkar suatu kasus bahkan mengembalikan aset hasil kejahatan korupsi apabila aset itu ada pada dirinya.
Untuk memilih seseorang sebagai Justice Collaborator, sesuai SEMA No. 4 Tahun 2011, ada beberapa pedoman, yaitu :
- Yang bersangkutan ialah salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalamSEMA ini, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta mempersembahkan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.
- Jaksa penuntut umum dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan sudah mempersembahkan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik dan atau penuntut umum sanggup mengungkap tindak pidana yang dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang mempunyai tugas lebih besar dan/atau mengembalikan asset-aset/hasil suatu tindak pidana.
- Atas menolongannya tersebut, maka terhadap saksi pelaku yang bekerja sama sebagaimana dimaksud di atas, hakim dalam memilih pidana yang akan dijatuhkan sanggup mempertimbangkan hal-hal penjatuhan pidana sebagai diberikut :
- Menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus, dan/atau
- Menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling enteng diantara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam kasus dimaksud
Dalam pemdiberian perlakuan khusus dalam bentuk keentengan pidana hakim tetap wajib mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.
- Perbedaan Istilah Whistle Blower dan Justice collaboratore
Istilah whistle blower dan justice collaborator kini kerap muncul dalam penanganan masalah korupsi di KPK. Istilah keduanya dikutip dari Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 ihwal Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.
Dalam SEMA disebutkan, whistle blower adalah pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan ialah cuilan dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya. Sedangkan justice collaborator ialah salah satu pelaku tindak pidana tertentu, mengakui yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta mempersembahkan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.
Tindak pidana tertentu yang dimaksud SEMA ialah tindak pidana korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pembersihan uang, perdagangan orang, maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisir. Sehingga, tindak pidana tersebut sudah menjadikan duduk kasus dan bahaya fokus bagi stabilitas dan keamanan masyarakat.
Dalam SEMA dijelaskan bahwa keberadaan dua istilah ini bertujuan untuk menumbuhkan partisipasi publik dalam mengungkap suatu tindak pidana tertentu tersebut. Salah satu contoh SEMA ialah Pasal 37 Ayat (2) dan Ayat (3) Konvensi PBB Anti Korupsi (United Nations Convention Against Corruption) tahun 2003. Ayat (2) pasal tersebut berbunyi, setiap negara akseptor wajib mempertimbangkan, mempersembahkan kemungkinan dalam kasus-kasus tertentu mengurangi eksekusi dari seorang pelaku yang mempersembahkan kerjasama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu kejahatan yang diterapkan dalam konvensi ini.
Sedangkan Ayat (3) pasal tersebut adalah, setiap negara akseptor wajib mempertimbangkan kemungkinan sesuai prinsip-prinsip dasar aturan nasionalnya untuk mempersembahkan kekebalan dari penuntutan bagi orang yang mempersembahkan kerjasama substansial dalam penyelidikan atau penuntutan (justice collaborator) suatu tindak pidana yang diputuskan menurut konvensi ini.
Ketentuan serupa juga terdapat pada Pasal 26 Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional yang Terorganisir (United Nation Convention Against Transnational Organized Crimes). Indonesia sendiri sudah meratifikasi Konvensi PBB Anti Korupsi menjadi UU No. 7 Tahun 2006 dan meratifikasi Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional menjadi UU No. 5 Tahun 2009.
Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana mengatakan, menjadi whistle blower maupunjustice collaborator memiliki sumbangan tidak sama satu sama lain. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 10 UU No. 13 Tahun 2006 perihal Perlindungan Saksi dan Korban.
Pasal itu sebut, whistle blower atau saksi pelapor tidak sanggup dituntut secara aturan baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang atau yang sudah didiberikan. Sedangkan justice collaborator atau saksi sekaligus tersangka dalam masalah yang sama tidak sanggup dibebaskan dari tuntutan pidana apabila terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah. Namun, kesaksiannya sanggup dijadikan pertimbangan hakim dalam meentengkan pidananya.
Untuk menyamakan visi dan misi terkena whistle blower dan justice collaborator, dibuatlah Peraturan Bersama yang ditanhadirani oleh Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kapolri, KPK dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Peraturan Bersama tersebut mengatur ihwal Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama.
Menurut Denny, terdapat empat hak dan sumbangan yang diatur dalam peraturan bersama ini. Pertama, sumbangan fisik dan psikis bagi whistle blower dan justice collaborator. Kedua, sumbangan hukum. Ketiga penanganan secara khusus dan terakhir memperoleh penghargaan.
Untuk penanganan secara khusus, terdapat beberapa hak yang sanggup diperoleh whistle bloweratau justice collaborator tersebut. Yakni, dipisahnya daerah penahanan dari tersangka atau terdakwa lain dari kejahatan yang diungkap, pemberkasan kasus dilakukan secara terpisah dengan tersangka atau terdakwa lain dalam kasus yang dilaporkan.
Kemudian, sanggup memperoleh penundaan penuntutan atas dirinya, memperoleh penundaan proses aturan menyerupai penyidikan dan penuntutan yang mungkin timbul sebab informasi, laporan dan atau kesaksian yang didiberikannya. Serta sanggup mempersembahkan kesaksian di depan persidangan tanpa menunjukkan wajahnya atau menunjukkan identitasnya.
Selain penanganan secara khusus, saksi sekaligus pelaku tindak pidana tersebut sanggup memperoleh penghargaan berupa keentengan tuntutan hukuman, termasuk tuntutan eksekusi percobaan. Serta memperoleh pemdiberian remisi dan hak-hak narapidana lain sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku apabila saksi pelaku yang berhubungan ialah seorang narapidana. Semua hak ini sanggup diperoleh oleh whistle blower atau justice collaborator dengan persetujuan penegak hukum.
Dalam masalah korupsi yang ditangani di KPK, setidaknya ada dua orang yang sudah disebut sebagaijustice collaborator. Pertama, mantan Anggota dewan perwakilan rakyat dari Fraksi PDIP Agus Tjondro Prayitno yang divonis bersalah mendapatkan suap terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS BI) tahun 2004. Agus sendiri sudah memperoleh pembebasan bersyarat semenjak simpulan Oktober tahun lalu.
Selain itu, Agus, mantan Direktur Marketing PT Anak Negeri Mindo Rosalina Manulang juga memperoleh label justice collaborator. Rosa sendiri sudah divonis bersalah sebab menyuap Sesmenpora Wafid Muharram dalam proyek pembangunan wisma atlet di Palembang. Kini, Rosa tengah menunggu pembebasan bersyarat. Sebelumnya, LPSK bersama KPK mengajukan undangan semoga Rosa didiberikan pengurangan eksekusi (remisi) yang diperlukan sanggup berujung ke pembebasan bersyarat.
0 Response to "Pengertian Justice Collaborator, Dan Perbedaannya Dengan Whistle Blower"
Posting Komentar