Pengertian Waris Mawali/ Waris Pengganti
a. Latarbelakang
Realitas aturan di Indonesia, termasuk aturan waris berada dalam potongan ”pluralisme hukum”[1]. Hukum intinya yaitu masukana untuk menemukan dan mempersembahkan rasa keadilan kepada masyarakat. Masyarakat didiberikan kebebasan untuk memilih dan mempertimbangkan keadilan yang menurutnya bisa untuk mengubah kepribadian dalam masyarakat itu sendiri.
Memang secara normatif, aturan yang mengatur tentang pola hidup bermasyarakat sudah tersusun rapi dalam al-Qur’an maupun Al-Hadits. Akan tetapi, tiruana itu sebagian besar spesialuntuk terobsesi di kalangan budaya Arab ketika itu, sehingga tidak menutup kemungkinan akan terjadi perbedaan-perbedaan pendapat dalam mengaplikasikannya. Seperti halnya di Indonesia yang mempunyai kemajemukan atau yang kita kenal sebagai negara pluralis yang mana di dalamnya banyak sekali macam norma-norma budpekerti yang sudah dilaksanakan cukup lama, sehingga mengakibatkan sedikit tabrakan dalam Islam. Salah satunya yaitu kasus kewarisan yang memang sudah diatur secara sistematis. Hanya dalam permasalahnnya, apakah hal itu menjadi relevan dan memenuhi rasa keadilan ketika diterapkan di Indonesia? mungkin ini yang menjadi pertanyaan fundamental dalam penyusunan makalah ini.
b. Rumusan Masalah
1. Apa analisis fiqh tentang mahir waris pengganti?
2. Bagaimana KHI mengatur mahir waris pengganti dalam kewarisan?
3. Apa saja problematika yang terjadi pada mahir waris pengganti dalam praktik di pengadilan dan praktik di masyarakat?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Analisis Fiqh tentang Ahli Waris Pengganti
Al-Quran dan Al-Hadits ialah sumber referensi dalam duduk kasus fiqh. Termasuk kewarisan ialah potongan yang tidak lepas di dalamnya. Hukum kewarisan sering diartikan dengan pemdiberian harta warisan kepada sanak keluarga yang berhak mendapatkan warisan sebagaimana yang sudah diatur atau sesuai ketentuan aturan syara’[2]. Bagian-bagian aturan kewarisan mencakup pewaris, mahir waris, harta warisan dan prosedur pertolongannya kepada mahir waris berdasarkan ketentuan Al-Qur’an maupun Al-Hadits.
Sebagian fuqaha’ terutama para fuqaha’ mazhab, memahami aturan kewarisan ialah aturan yang sudah final, rigid dan pasti. Sehingga tidak memungkinkan lagi dalam penafsiran dan pentakwilannya, selain yang sudah tertulis secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits[3]. Pandangan ini menjadi dalil di masyarakat muslim bahwa aturan kewarisan yang sudah dijelaskan dalam Al-Quran yaitu qath’iy. Sehingga tidak mendapatkan adanya pergantian daerah mahir waris, apalagi perubahan dan penafsiran lain. Apalagi kitab-kitab fiqh klasik yang kita kenal dengan sebutan kitab kuning tidak mempersembahkan ruangan dalam klarifikasi problem ini.
Paradigma para fuqaha’ klasik tentang fiqh waris yang tekstual ini secara real berbanding terbalik dengan masyarakat muslim di zaman ini, terutama bagi mereka yang sangat kental dengan aturan adat. Bila diteliti lebih jauh, banyak duduk kasus yang terjadi di masyarakat yang memang membutuhkan tafsiran gres dan ijtihad, sehingga aturan kewarisan sanggup memenuhi kebutuhan aturan masyarakat. Hadirnya para pemikir-pemikir muslim menyerupai Ibnu Katsir, Imam Thabraniy, Imam Qurtubi, Muhammad Abduh, Sayyid Sabiq, Fazlur Rahman, Yusuf Al-Qaradhawiy dan pemikir-pemikir lainnya sudah mempersembahkan bantuan yang menyegarkan khususnya buat masyarakat dalam duduk kasus aturan kewarisan.[4]
Para pemikir-pemikir ini mempersembahkan tafsiran gres tentang kewarisan diantaranya terkena “pergantian daerah mahir waris”. Para pemikir kontemporer ini cenderung mempersembahkan hak waris kepada cucu walaupun ayahnya sudah meninggal dunia. Persoalan ini yaitu duduk kasus ijtihadiyah, dan ternyata fiqh kewarisan yang dibangun oleh ulama klasik juga menyimpan problem yang harus diselesaikan dalam konteks kekinian. Rujukan utama dalam hal ini terdapat dalam al-Qur’an Surah An-Nisa’ ayat 11, yang berbunyi:
ÞOä3Ϲqã ª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ( Ìx.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$#
Artinya : Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pertolongan pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu : potongan seorang anak lelaki sama dengan potongan dua orang anak perempuan.
Ayat ini yang menjadi landasan bahwa cucu memperoleh harata warisan dari kakek. Imam Qurtuby memaknai kata “awlad” bukan spesialuntuk untuk anak laki-laki, akan tetapi untuk makna keturunan selanjutnya[5]. Lebih jauh lagi, ia memaknainya bukan saja anak laki-laki, tetapi juga termasuk anak perempuan. Beliau memaknai surat An-Nisa’ ayat 11 “Allah mewajibkan engkau tentang awlad (anak-anak engkau), buat seorang anak pria (adalah) menyerupai bahagian dua anak perempuan. Pandangan ia ini bersumber dari Ibnu Abbas terhadap makna “awlad” di dalam surat An-Nisa’ ayat 11.[6]
Al-Maraghy, Sayyid Sabiq dan Yusuf Al-Qaradhawy juga tidak menolak dengan diadakannya forum pergantian daerah mahir waris. Mereka sependapat dengan Imam Qurtuby dalam menafsirkan ayat diatas.[7] Para ulama ini memandang bahwa pergantian mahir waris ialah suatu ijtihad yang sesuai dengan keadaan zaman kini ini, sehingga memungkinkan kepada cucu untuk menggantikan bapaknya yang sudah meninggal terlebih lampau dan mendapatkan warisan dan kakeknya. Apalagi jikalau posisi cucu tersebut dalam keadaan miskin sehingga mestinya mendapatkan hak waris alasannya yaitu ini yaitu salah satu bentuk keadilan dalam kewarisan islam.[8]
Di Indonesia, ajaran tentang konsep ini dibicarakan oleh Hazairin. Landasannya yaitu surat An-Nisa’ ayat 33 yang berbunyi:
9e@à6Ï9ur $oYù=yèy_ uÍ<ºuqtB $£JÏB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# cqç/tø%F{$#ur 4 tûïÏ%©!$#ur ôNys)tã öNà6ãZ»yJ÷r& öNèdqè?$t«sù öNåkz:ÅÁtR 4 ¨bÎ) ©!$# tb%2 4n?tã Èe@à2 &äóÓx« #´Îgx© ÇÌÌÈ
Artinya: Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang engkau sudah bersumpah setia dengan mereka, Maka diberilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.
Hazairin menunjukan bahwa kandungan ayat ini yaitu bahwa Allah mengadakan mpertamai untuk si fulan dari harta peninggalan orang bau tanah dan keluarga bersahabat serta pihak alladzina ‘aqodat aymaanukum, dan diberikanlah kepada mpertamai itu (hak yang menjadi) bagiannya. Fulan dianggap sebagai mahir waris alasannya yaitu diiringi kata walidain dan aqrobun yang menjadi pewaris. Jika yang menjadi pewaris yaitu orang bau tanah (ayah-ibu), maka mahir waris yaitu anak dan atau mpertamai anak. Jika anak itu masih hidup tentulah mereka yang mengambil warisan tersebut sesuai ayat 11 surat An-Nisa’. Sebaliknya jikalau anak tidak ada lagi, maka cucu ialah mpertamai dari kakek, sehingga ia sanggup menempatkan posisi ayah untuk mendapatkan harta warisan dari kakeknya yang meninggal dunia[9].
B. Ahli waris pengganti berdasarkan KHI
Pada dasarnya kitab-kitab klasik yang menunjukan tentang fiqh kewarisan tidak menunjukan secara eksplisit tentang konsep mahir waris pengganti. Akan tetapi fiqh sudah lampau menunjukan bahwa ketika pewaris meninggal dunia, maka anak dan keturunan yang berhak mendapatkan warisan. Namun istilah yang dipakai bukan “ahli waris pengganti” akan tetapi istilah “tanzil”. Meskipun istilah ini mengandung hakikat makna mahir waris pengganti akan tetapi makna tersebut tidak tepat alasannya yaitu yang berhak sebagai mahir waris pengganti spesialuntuklah keturunan laki-laki, yang meninggal lebih lampau dari pewaris. melaluiataubersamaini kata lain, spesialuntuk cucu pria dan cucu wanita dari anak pria (ibnu ibnin dan bintu bintin) yang sanggup mendapatkan warisan dari kakeknya, dan itupun potongan yang sudah ditentukan secara pasti, baik ashabul furudh maupun ashabah. Maka dengan konsep menyerupai ini, Kompilasi Hukum Islam mengakomodasi adanya institusi pergantian daerah mahir waris dengan beberapa perubahan dan pembaruan. Dalam pasal 185 Kompilasi Hukum Islam yang lengkapnya adalah:
a. Ahli waris yang meninggal dunia terlebih lampau daripada si pewaris, maka kedudukannya sanggup digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173
b. Bagian mahir waris dihentikan melebihi dari potongan mahir waris yang sederajat dengan yang diganti[10].
Ketentuan pasal 185 KHI, dipertagas lagi dalam buku Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama tentang asas mahir waris pribadi dan asas mahir waris pengganti adalah:
a. Ahli waris pribadi (eigen hoofed) yaitu mahir waris yang disebut dalam Pasal 174 KHI
b. Ahli waris pengganti (plaatservulling) yaitu mahir waris yang diatur berdasarkan Pasal 185 KHI, yaitu mahir waris pengganti/keturunan dari mahir waris yang disebutkan dalam pasal 147 KHI. Diantara keturunan dari anak laki-laki/perempuan, keturunan dari paman, keturunan dari kakek dan nenek, yaitu bibi dan keturunannya. (paman walaupun keturunan dari kakek dan nenek bukan mahir waris pengganti, alasannya yaitu paman sebagai mahir waris pribadi yang disebut dalam pasal 174 KHI).
Ketentuan dari pasal 185 (1) sanggup kita pahami bahwa yang menjadi mahir waris yaitu keturunan dari anak pria dan keturunan anak perempuan. Hal ini bertolakbelakang dengan konsep fiqh waris klasik yang tidak membenarkan keturunan wanita menjadi mahir waris pengganti (konsep tanzil), bahkan cucu pria tidak mendapatkan warisan yang ketika itu terdapat anak pria sehingga statusnya terhijab. Problem inilah yang menjadi landasan pikiran para perumus KHI terutama pasal 185.
Di dalam buku “Kedudukan Wanita dalam Hukum Kewarisan” karya M. Yahya Harahap dijelaskan bahwa:
“Barangkali dasar ajaran yang dijadikan pertimbangan bagi perumus KHI dalam merumuskan pasal 185 yaitu bertitik tolak pada alasan sosial ekonomi. Pada satu sisi, pasal ini mengaitkan dengan alasan monopolistik atas harta warisan serta alasan kepatutan dan alasan kemanusiaan pada sisi lain. Bukankah pada umumnya, anak yatim lebih sengsara dibandingkan dengan saudara ayah atau saudara ibunya. Pada ketika kakek atau nenek meninggal dunia, saudara ayah atau saudara ibu lebih mapan ekonominya, sedangkan mereka sebagai anak yatim, hidup terlantar. Pantaskah dan manusiawikah, menyingkirkan mereka untuk mewarisi harta kakek/nenek sebagai pengganti ayah atau ibunya. Bukankah dalam hal ini saudara-saudara mendiang ayah/ibunya memonopoli harta warisan kakek/nenek, meskipun keadaan sosial ekonomi mereka sudah mapan”.[11]
Adapun dalam Pasal 185 (2), disini menyimpan problematika porsi mahir waris pengganti, alasannya yaitu kalau ditinjau dalam pertolongannya berdasarkan ketentuan nash, maka yang terjadi yaitu potongan mahir waris pengganti (cucu) lebih besar daripada pewaris yang masih hidup. Maka hal ini akan mengakibatkan mahir waris mendapatkan potongan lebih sedikit dibanding mahir waris pengganti. Oleh alasannya yaitu itu dalam pasal 185 ini dijelaskan bahwa potongan spesialis waris pengganti itu dihentikan melebihi mahir waris yang sederajat.[12]
Problematika diatas yang dipakai untuk menguji ketentuan pasal 185 KHI dalam terapan di Pengadilan Agama. Olehnya seorang hakim harus bisa melaksanakan sebuah langkah gres dalam menerapkan pasal 185 KHI, sehingga melahirkan kesetaraan dan keadilan. Alur pikiran KHI, terutama dalam pergantian mahir waris adalah; harta benda dalam keluarga memang disedikan sebagai dasar material keluarga dan keturunannya yang masih hidup, dan anak-anaknya sanggup menggantikan kedudukan bapaknya sebagai mahir waris terhadap benda kakeknya.[13]
C. Problematika Ahli waris pengganti dalam Praktik Pengadilan dan Masyarakat
a. Praktik Pengadilan
Pergantian mahir waris (plaatsvervulling) di Indonesia berakar dari aturan adat, dan kemudian diperkuat dengan Hukum Perdata Belanda (BW) dan dipraktikkan oleh sejumlah pengadilan Hindia Belanda. Dalam realitas ini memperkuat secara formal dan non formal adanya forum pergantian mahir waris.[14]
Di lingkurangan Peradilan Agama, penerapan pergantian mahir waris gres dimulai semenjak lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) tahun 1991. Sebelumnya penerapan ini tidak ada, alasannya yaitu yang dipakai yaitu merujuk pada kitab-kitab fiqh klasik yang mana tidak mempersembahkan ruang gerak pada konsep mahir waris pengganti. KHI mempersembahkan bantuan yang sangat besar dalam pergantian daerah mahir waris ini. Namun kenyataannya dalam praktik pengadilan Agama masih banyak ditemukan kendala-kendala penafsiran Pasal 185 KHI, menyerupai teladan putusan Pengadilan Agama di Selong Kab. Lombok Timur No. 111/pdt/G/1997/PA.SEL, tanggal 26 Agustus 1997 M, bertepatan dengan 22 Rabiul Akhir 1418 H.[15]
Putusan tingkat pertama ini menetapkan mahir waris pengganti yang terdiri: cucu wanita dari anak wanita (1/18 bagian) dan cucu pria dari anak wanita (1/18 bagian). Putusan PA Selong ini dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Agama Mataram dengan nomor putusan No. 04/Pdt-G/1998/PTA.MTR, tanggal 28 Maret 1998 bertepatan dengan tanggal 29 Zulqo’dah 1418 H. PTA Mataram beralasan bahwa mahir waris pengganti yang diputuskan oleh PA Selong termasuk dalam kategori dzawil arham, sehingga tidak berhak menerima warisan melalui mahir waris pengganti.[16]
Keputusan PTA Mataram risikonya juga dibatalkan oleh Mahkamar Agung RI No. 354.K/AG/1998, tanggal 28 Oktober 1999. Dalam putusannya itu bahwa putusan judex factie PTA sudah salah menerapkan hukum, sehingga Mahkamah Agung pribadi mengambil alih kasus tersebut. MA menetapkan mahir waris pengganti menyerupai keputusan putusan PA Selong. Kaidah aturan yang sanggup dipetik adalah: (1) khusus harta warisan yang terjadi pada tahun 1998, sanggup diterapkan KHI, alasannya yaitu gugutan kasus harta warisan tersebut diajukan ke pengadilan Agama pada tahun 1997, setelah berlakunya KHI; (2) berdasarkan KHI pasal 185, mahir waris yang meninggal dunia terlebih lampau dari pewaris sanggup digantikan oleh anaknya yang disebut mahir waris pengganti, yang bagiannya dihentikan melebihi dari potongan mahir waris yang sederajat yang diganti dalam kasus ini.[17]
Dari citra diatas nyatalah bahwa dalam penerapan Pasal 185 KHI harus memerlukan kefokusan hakim dalam mempertimbangkan putusannya. Sehingga dari itu sanggup mewujudkan rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat. Hal yang sama juga dipastikan terjadi pada lingkungan PA di seluruh Indonesia.
b. Praktik Masyarakat
Masyarakat kita dalam permasalahan mahir waris pengganti masih terdapat perbedaan konseptual, khususnya di Aceh yang realitas kehidupannya masih kental dengan esensi aturan islam.[18] Secara konseptual, ulama Aceh menolak dengan adanya mahir waris pengganti alasannya yaitu ketentuannya tidak ditemukan dalam Al-Quran dan Al-Hadits. Kendati demikian ulama Aceh tidak pernah menutup pintu terhadap penafsiran gres terhadap aturan islam. Maka atas dasar ini dalam praktik masyarakat Aceh masih banyak ditemukan mahir waris yang mempersembahkan sedikit atau sebagian harta mereka untuk anak yatim yang ditinggalkan orang tuanya.
Dalam aturan budpekerti Aceh dikenal istilah patah titi atau putoh tutu dalam aturan kewarisan[19]. Maksudnya yaitu jikalau seorang ayah meninggal lampau, maka cucu tidak mendapatkan warisan dari kakeknya bila kakek meninggal dunia. Maka hak waris seorang cucu akan terhijab oleh saudara pria atau perempuan si anak yang meninggal dunia. Pandangan ini dikenal dengan patah titi atau putoh tutu. Dalam konsep ini, sang ayah berlaku sebagai titi atau jembatan penghubung antara kakek dan cucu. Ketika sang ayah meninggal dunia maka terputuslah relasi penyebab kewarisan antara kakek dan cucu.
Selain itu dalam aturan budpekerti aceh, sang Ulama yang menjadi saksi dalam pertolongan harta warisan tersebut akan mendapatkan sedikit potongan yang dikenal dengan istilah hak reheung (hak menanti dan menyaksikan). Namun pemdiberian yang didiberikan kepada anak yatim (cucu) dan ulama ini, bukanlah disebut warisan, akan tetapi hibah. Umumnya jumlahnya dihentikan melebihi sepertiga dari harta warisan.[20]
Praktik aturan kewarisan ini terang terdapat pandangan tidak sama dalam konsep hukumnya. Olehnya, diperlukan penjernihan dalam hal ini. Sehingga tidak mengakibatkan “penyembunyian hukum” dan pemdiberian hak waris kepada mereka yang tidak diatur dalam hukum. Akibat dari dominasi pandangan ulama ini yang menganut paham patah titi atau putoh tutu, maka sedikit sekali persengketaan yang menyangkut kasus mahir waris pengganti di Pengadilan Agama, alasannya yaitu kebanyakan kasus tersebut diselesaikan dengan jalur aturan budpekerti dan agama dengan mengumpulkan orang tua, ulama dan karib kerabat.
Memang, penyelesaian sengketa kewarisan melalui jalur budpekerti dan agama jauh lebih baik, namun harus ada kepastian bahwa cucu mendapatkan hak dan jaminan santunan dari aturan dari harta warisan kakeknya. Olehnya hal ini seharusnya menerima ratifikasi yang mengikat dari aturan tertulis di Pengadilan Agama. Sehingga menumbuhkan kesadaran bahwa aturan kewarisan islam itu membawa keadilan, jaminan dan santunan serta pemastian keberlangsungan hidup di generasi menhadir.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari paparan klarifikasi diatas sanggup disimpulkan bahwa:
1. Pada pertamanya masyarakat muslim memahami bahwa aturan kewarisan yang dijelaskan dalam al-Qur’an yaitu qhat’iy. Sehingga tidak mendapatkan adanya pergantian daerah mahir waris, apalagi perubahan dan penafsiran lain.
2. Para pemikir-pemikir muslim menyerupai Ibnu Katsir, Imam Thabraniy, Imam Qurtubi, Muhammad Abduh, Sayyid Sabiq, Fazlur Rahman, Yusuf Al-Qaradhawiy dan pemikir-pemikir lainnya sudah mempersembahkan bantuan yang menyegarkan khususnya buat masyarakat dalam duduk kasus aturan kewarisan, yaitu adanya penafsiran gres dengan diadakannya “ahli waris pengganti”.
3. Berdasarkan paradigma diatas pula, KHI mengakomodasi adanya institusi pergantian daerah mahir waris dengan beberapa perubahan dan pembaruan, sehingga terbentuklah Pasal 185 KHI.
4. Pengadilan Agama Dalam menerapkan Pasal 185 KHI harus memerlukan kefokusan hakim dalam mempertimbangkan putusannya. Sehingga dari itu sanggup mewujudkan rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat.
5. Diskusi dan sosialisasi terhadap konsep pergantian daerah mahir waris harus terus menerus dilakukan kepada masyarakat semoga menumbuhkan kesadaran bahwa aturan kewarisan islam itu membawa keadilan, jaminan dan santunan serta pemastian keberlangsungan hidup di generasi menhadir.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Syahrizal. Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia, Lhokseumawe: Nadya Foundation, 2003.
Harahap, M. Yahya. Kedudukan Wanita Dalam Hukum Kewarisan, Majalah Mimbar Hukum No. 10, Tahun 1996.
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral, Jakarta: Tinta Mas, 1961.
Hoballah, Hisyam. Understanding Islamic Law; From Classical Contemporary, Oxfor UK: Altamira Press, 2006.
Ihromi. Pluralisme System Hukum, Jakarta: UI Press, 1987.
Kompilasi Hukum Islam, Yayasan Al-Hikmah Dan Ditbinbapera, 1998.
Maraghy, Imam Al-. Tafsir Al-Maraghy, Cairo: Maktabah Al-Islamiyah, 1982.
Musa, Muhammad Yusuf. Ahkam At-Tirkah Fil Islam, Kairo: Dar Al-Ma’rifat, 1978.
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2012.
Qaradhawy, Yusuf Al, Kumpulan Ijtihad Kontemporer, Jakarta: Firdaus, 1990.
Qurtuby, Imam. Tafsir al-Qurtuby, Beirut: Dar Al-Fikr Al-‘Araby, 2006.
Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah, Beirut: Dar Al-Fikr, 2006.
Shobuny, Muhammad Ali Ash-. Hukum Waris Dalam Syariat Islam, (terj.), Bandung: Diponegoro, 1988.
Soepomo,. System Hukum Di Indoenesia, Pradnya Paramita, 1972.
Tosa, A. Halim. Praktik Hukum Kewarisan dalam Masyarakat Gayo, Banda Aceh: Puslit IAIN Ar-Raniry, 1996.
[1] Ihromi, Pluralisme System Hukum, (Jakarta: UI Press, 1987), hal. 16.; Soepomo, System Hukum Di Indoenesia , (Pradnya Paramita, 1972), hal. 23.
[2] Muhammad Yusuf Musa, Ahkam At-Tirkah Fil Islam, (Kairo: Dar Al-Ma’rifat, 1978), hlm. 12.
[3] Muhammad Ali Ash-Shobuny, Hukum Waris Dalam Syariat Islam, (terj.), (Bandung: Diponegoro,, 1988), hlm. 17.
[4] Hisyam Hoballah, Understanding Islamic Law; From Classical Contemporary, (Oxfor UK: Altamira Press, 2006), hlm. 56.
[5] Imam Qurtuby, Tafsir al-Qurtuby, (Beirut: Dar Al-Fikr Al-‘Araby, 2006), hlm. 412
[6] Ibid., hlm. 421-422
[7] Imam Al-Maraghy, Tafsir Al-Maraghy, (Cairo: Maktabah Al-Islamiyah, 1982), hlm. 367; Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Beirut: Dar Al-Fikr, 2006), hlm. 599; Yusuf Al-Qaradhawy, Kumpulan Ijtihad Kontemporer, (Jakarta: Firdaus, 1990), hlm. 213
[8] Yusuf Al-Qaradhawy, Kumpulan IJtihad Kontemporer, hal. 214
[9] Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral, (Jakarta: Tinta Mas, 1961), hlm. 28
[10] Kompilasi Hukum Islam, (Yayasan Al-Hikmah Dan Ditbinbapera, 1998), hlm. 65
[11] M. Yahya Harahap, Kedudukan Wanita Dalam Hukum Kewarisan, Majalah Mimbar Hukum No. 10, Tahun 1996, hlm. 24.
[12] Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2012), hlm. 251-254.
[13] Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, hlm. 43.
[14] Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia, hlm. 255.
[15] Ibid, hlm. 257
[16] Ibid, hlm. 258
[17] Ibid,.
[18] Syahrizal Abbas, Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia, (Lhokseumawe: Nadya Foundation, 2003), hlm. 78.
[19] A. Halim Tosa, Praktik Hukum Kewarisan dalam Masyarakat Gayo, (Banda Aceh: Puslit IAIN Ar-Raniry, 1996), hlm. 25
[20] Syahrizal Abbas, Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia, hlm. 119.
0 Response to "Pengertian Waris Mawali/ Waris Pengganti"
Posting Komentar