Dampak Perubahan Uud 1945 Terhadap Pencapaian Tujuan Nasional
DAMPAK PERUBAHAN Undang-Undang Dasar 1945 TERHADAP
PENCAPAIAN TUJUAN NASIONAL
Prof. Dr. Sofian Effendi1
Kombinasi yang Muskil
Dalam artikelnya berjudul „Presidentialism, Multiparties and Democracy“ yang diterbitkan oleh jurnal Comparative Political Studies edisi Juli 1993, Scott Mainwaring2 menyimpulkan sistem multipartai dan bentuk pemerintahan pesidensiil ialah kombinasi yang muskil. Pada 31 negara yang dipandang paling sukses dalam pelaksanaan demokrasi, tak ada satupun yang menerapkan kombinasi tersebut.
Pada 9 November 2001, MPR-RI mengesahkan perubahan ketiga terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 1 ayat (2) menetapkan kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan Undang Undang Dasar. Pasal 6A ayat (1) menetapkan ”Presiden dan Wapres dipilih dalam satu pasangan secara eksklusif oleh rakyat”. Dua pasal tersebut ialah perubahan mendasar terhadap sistem pemerintahan negara serta bentuk kedaulatan negara sebagaimana dicita-citakan dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945. Sistem pemerintahan negara diubah dari ”Sistem Sendiri” menjadi Sistem Presidensial. Seperti prediksi para founding fathers pada Rapat BUPKI tanggal 15 Juli 1945 yang didukung oleh temuan empiris Mainwaring, Presiden SBY dan Wapres MJK ternyata tidak berhasil menyenggarakan pemerintahan negara yang stabil dan efektif alasannya ialah presiden tidak didukung oleh majority rule sehingga harus mempersembahkan konsesi politik baik dalam pembentukan kabinet maupun pada penyusunan dan pelaksanaan jadwal kerja Pemerintah. Pemisahan kekuasaan antara legislatif dan administrator juga tidak berjalan menyerupai diharapkan, sistem multipartai ternyata semakin mempertajam polarisasi ideologis, dan koalisi partai-partai yang mendukung pemerintah ternyata tidak tumbuh menjadi koalisi yang mantap. Koalisi yang ringkih ini mencuat pada Rapimnas Partai Golkar pada bulan November 2006, banyak DPD Partai tersebut menuntut Pimpinan Pusat untuk menarikdanunik proteksi pada Presiden SBY.
Sementara itu ketidakberdayaan Pemerintah dalam menjalankan Program Kerja semakin menjadi perhatian masyarakat. Harian Kompas edisi Senin, 22 Januari 2007, dalam uraian ihwal hasil Jajak Pendapat pembaca koran nasional tersebut bahkan menyimpulkan bahwa tingkat kepuasan masyarakat pada pemerintah dalam bidang ekonomi, hukum, polkam dan kessos sudah mencapai tingkat yang ”sangat mengkhawatirkan”.
Tulisan ini akan menyoroti perubahan-perubahan mendasar yang nterjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara sebagaimana diputuskan dalam Undang-Undang Dasar yang gres serta dampaknya terhadap kemampuan pemerintah dalam mencapai tujuan nasional.
___________________________
1 Rektor Universitas Gadjah Mada dan Guru Besar Kebijakan Publik.
2 S. Mainwaring, “Presidentialism, Multiparties and Democracy: The Dificult Combination”. J of Compartaive Poliitical Studies. 26.2 (July 1993), hh. 198-223.
Uraian ditutup dengan sejumlah rekomendasi untuk meningkatkan kapasitas kerja Pemerintah.
Pemerintahan “Sistem Sendiri”
Sesudah MPR mengesahkan amandemen ketiga dan keempat Undang-Undang Dasar 1945, sistem pemerintahan negara Indonesia bermetamorfosis sistem presidensial. Perubahan tersebut diputuskan dengan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar baru. MPR tidak lagi ialah perwujudan dari rakyat dan bukan locus of power, forum pemegang kedaulatan negara tertinggi. Pasal 6A ayat (1) menetapkan “Presiden dan Wapres dipilih dalam satu pasangan secara eksklusif oleh rakyat”. Dua pasal tersebut mengatakan karakteristik sistem presidensial yang terang tidak sama dengan staats mendasar norm yang tercantum dalam Pembukaan dan diuraikan lebih lanjut dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945.
Sistem presidensial tidak mengenal adanya forum pemegang supremasi tertinggi. Kedaulatan negara dipisahkan (separation of power) ke 3 cabang yakni legislatif, administrator dan yudikatif, yang secara ideal diformulasikan sebagai trias politica oleh Montesquieu. Presiden dan wakil presiden dipilih eksklusif oleh rakyat untuk masa kerja yang lamanya ditentukan oleh konstitusi. Konsentrasi kekuasaan berada pada Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Dalam sistem presidensial para menteri ialah pemmenolong-pemmenolong presiden yang diangkat dan bertanggungjawaban kepada Presiden.
Arsip AG-AK-P yang selama hampir 56 tahun hilang baru-baru ini diungkapkan kembali oleh R.M. Ananda B. Kusuma, dosen Sejarah Ketatguagaraan Fakultas Hukum U.I., dalam sebuah monograf berjudul “Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945” terbitan Fakultas Hukum U.I. (2004). Kumpulan notulen otentik tersebut mempersembahkan citra bagaimana sesungguhnya sistem pemerintahan demokratis yang dicita-citakan para perancang Konstitusi Indonesia.
Notulen rapat-rapat BPUPKI dan PPKI mulai pertengahan Mei hingga Juli 1945 mempersembahkan citra betapa mendalam dan tinggi mutu diskusi para Bapak Bangsa ihwal sistem pemerintahan. Pada sidang-sidang tersebut, Prof. Soepomo, Mr. Maramis, Bung Karno dan Bung Hatta mengajukan pertimbangan-pertimbangan filosofis dan hasil kajian empiris untuk mendukung keyakinan mereka bahwa Trias Politica a la Montesqieue bukanlah sistem pertolongan kekuasaan yang paling cocok untuk melaksanakan kedaulatan rakyat. Bahkan, Supomo-Iin dan Sukarno-Iin, Iin artinya Anggota yang Terhormat, menganggap trias politica sudah kolot dan tidak dipraktekkan lagi di negara Eropah Barat.
Pada rapat Panitia Hukum Dasar, bentukan BPUPKI, tanggal 11 Juli 1945 dicapai komitmen bahwa Republik Indonesia tidak akan memakai sistem parlementer menyerupai di Inggris alasannya ialah ialah penerapan dari pandangan individualisme. Sistem tersebut dipandang tidak mengenal pemisahan kekuasaan secara tegas. Antara cabang legisltatif dan administrator terdapat fusion of power alasannya ialah kekuasaan administrator gotong royong ialah „bagian“ dari kekuasaan legislatif. Perdana Menteri dan para menteri sebagai kabinet yang kolektif ialah anggota parlemen.
Sebaliknya, sistem Presidensial dipandang tidak cocok untuk Indonesia yang gres merdeka alasannya ialah sistem tersebut mempunyai tiga kelemahan. Pertama, sistem presidensial mengandung resiko konflik berkepantidakboleh antara legislatif – eksekutif. Kedua, sangat kaku alasannya ialah presiden tidak sanggup diturunkan sebelum masa jabatannya berahir. Ketiga, cara pemilihan “winner takes all” menyerupai dipraktekkan di Amerika Serikat berperihalan dengan semangat dbemokrasi.
Indonesia yang gres merdeka akan memakai „Sistem Sendiri“ sesuai tawaran Dr. Soekiman, anggota BPUPKI dari Yogyakarta dan Prof. Soepomo, Ketua Panitia Kecil BPUPKI. Para jago Indonesia memakai terminologi yang tidak sama untuk menamakan sistem khas Indonesia tersebut. Ismail Suny menyebutnya Sistem Quasi-presidensial, Padmo Wahono menamakannya Sistem Mandataris, dan Azhary menamakannya Sistem MPR. Dalam pembagian terstruktur mengenai Verney, sistem yang mengandung karakteristik sistem presidensial dan parlementer disebut sistem semi-presidensial.
Sistim pemerintahan demokratis yang dirumuskan oleh para perancang Undang-Undang Dasar 1945 mengandung beberapa ciri sistem presidensial dan sistem parlementer. “Sistem Sendiri” tersebut mengenal adanya pertolongan kekuasaan (division of power) antara legislatif dan eksekutif, alasannya ialah masing-masing dihentikan saling menjatuhkan, Presiden ialah administrator tunggal yang memegang jabatan selama lima tahun dan sanggup diperpanjang kembali, serta para menteri ialah pemmenolong yang diangkat dan bertanggungjawaban kepada Presiden. Ini ialah ciri sistem presidensial. Sistem pemerintahan khas Indonesia juga mengandung karakteristik sistem parlementer. MPR diputuskan sebagai locus of power yang memegang supremasi kedaulatan negara tertinggi, menyerupai halnya Parlemen dalam sistem parlementer. Kedaulatan negara ada pada rakyat dan dilaksanakan oleh MPR sebagai perwujudan seluruh rakyat. Pada masa-masa pertama negara Indonesia, para perancang memandang pemilihan Presiden dan Wapres secara eksklusif masih belum sanggup dilakukan mengingat tingkat pendidikan masih rendah serta infrastruktur pemerintahan belum tersedia. Karena itu diputuskan Presiden dan Wapres dipilih secara tidak eksklusif oleh forum perwujudan seluruh rakyat yaitu MPR
Presiden yang menjalankan kekuasaan administrator ialah mandataris MPR, sedangkan dewan perwakilan rakyat ialah unsur dari MPR yang menjalankan kekuasaan legislatif (legislative councils). Presiden tidak sanggup menjatuhkan DPR, sebaliknya dewan perwakilan rakyat tidak sanggup menjatuhkan Presiden. Bersama-sama Presiden dan dewan perwakilan rakyat menyusun undang-undang. .
Pada notulen rapat tanggal 11-15 Juli BPUPKI dan rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945 sanggup kita ikuti perkembangan ajaran ihwal kedaulatan rakyat yang dilaksanakan oleh Majelis Permusyawartan Rakyat sebagai penjelmaaan dari seluruh rakyat Indonesia yang mempunyai konfigurasi sosial, ekonomi dan geografis yang amat kompleks. Karena itu MPR harus mencakup beberapa aspek wakil-wakil rakyat yang dipilih, DPR, wakil-wakil daerah, serta utusan-utusan golongan dalam masyarakat. melaluiataubersamaini kata lain, MPR harus ialah wadah multi-unsur, bukan forum bi-kameral.
Bentuk MPR sebagai majelis permusyawaratan-perwakilan dipandang lebih sesuai dengan corak hidup kekeluargaan bangsa Indonesia dan lebih menjamin pelaksanaan demokrasi politik dan ekonomi untuk terciptanya keadilan sosial, Bung Hatta menyebutnya sebagai ciri demokrasi Indonesia. Dalam struktur pemerintahan negara, MPR berkedudukan sebagai supreme power dan penyelenggara negara yang tertinggi. dewan perwakilan rakyat ialah bab dari MPR yang berfungsi sebagai legislative councils atau assembly. Presiden ialah yang menjalankan kiprah MPR sebagai kekuasaan eksekutif tertinggi, sebagai mandataris MPR.
Konfigurasi MPR sebagai pemegang kekuasaan tertinggi tersebut dipandang para Bapak Bangsa sebagai ciri khas Indonesia dan dirumuskan setelah mempelajari keunggulan dan kelemahan dari sistem-sistem yang ada. Sistem majelis yang tidak bi-kameral dipilih alasannya ialah dipandang lebih sesuai dengan budaya bangsa dan lebih mewadahi fungsinya sebaga lwmbaga permusyawaratan perwakilan.
Karena Arsip AG-AK-P yang ialah sumber otentik ihwal sistem pemerintahan negara gres saja terungkap, mungkin saja Panja MPR saat mengadakan amandemen Undang-Undang Dasar 1945, tidak mempunyai acuan yang terang ihwal sistem pemerintahan sebagaimana diputuskan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Kalau ajaran para perancang konstitusi ihwal kaidah dasar dan sistem pemerintahan negara sebagaimana tercatat pada notulen otentik tersebut dijadikan referensi, saya yakin bangsa Indonesia tidak akan melaksanakan penyimpangan konstitusional untuk ketiga kalinya. Susunan pemerintahan negara yang mewujudkan kedaulatan rakyat pada suatu Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam pandangan Bung Karno ialah satu-satunya sistem yang sanggup menjamin terlaksananya politiek economische democratie yang bisa menhadirkan kesejahteraan sosial.
Sebagai penjelmaan rakyat dan ialah pemegaang supremasi kedaulatan, MPR ialah penyelenggara pemerintahan negara tertinggi, “pemegang” kekuasaan administrator dan legislatif. dewan perwakilan rakyat ialah bab dari MPR yang menjalankan kekuasaan legislatif sedangkan Presiden ialah mandataris yang bertugas menjalankan kekuasaan eksekutif. Bersama-sama, dewan perwakilan rakyat dan Presiden menyusun undang-undang. dewan perwakilan rakyat dan Presiden tidak sanggup saling menjatuhkan menyerupai pada sistem parlementer maupun presidensial. Sistem semi-presidensial tersebut yang mengandung keunggulan sistem parlementer dan sistem presidensial dipandang bisa membuat pemerintahan negara berasaskan kekeluargaan dengan stabilitas dan efektifitas yang tinggi.
Berbeda dengan ajaran BPUPKI dan PPKI sebagai perancang konstitusi, para perumus amandemen Undang-Undang Dasar 1945, alasannya ialah tidak memakai sumber-sumber otentik, serta merta menetapkan pemerintahan negara Indonesia ialah sistem presidensial. Padahal pilihan para founding fathers tidak dilakukan secara gegabah, tetapi didukung secara empiris oleh penelitian Riggs di 76 negara Dunia Ketiga, yang menyimpulkan bahwa pelaksanaan sistem presidensial sering gagal alasannya ialah konflik administrator – legislatif kemudian berkembang menjadi constitutional deadlock. Karenanya sistem presidensial kurang dianjurkan untuk negara baru. Notulen otentik rapat BPUPKI dan PPKI mengatakan betapa teliti pertimbangan para Pendiri Negara dalam menetapkan sistem pemerintahan negara. Pemahaman mereka terhadap aneka macam sistem pemerintahan ternyata sangat mendalam dan didukung oleh acuan yang luas, mencakup beberapa aspek sebagian besar negara-negara di dunia.
Para perancang konstitusi menyerupai Prof. Soepomo sudah mengingatkan kita tiruana, untuk memahami konsitusi tidak cukup spesialuntuk dibaca dari yang tertulis pada pasal-pasalnya, tapi harus diselami dan difahami jalan fikiran para perancangnya serta konteks sejarah yang melingkunginya. Sejalan dengan itu Edwin Meese III mengingatkan, satu-satunya cara yang legitimate untuk menafsirkan konstitusi ialah dengan memahami.
keinginan yang sesungguhnya dari mereka yang merancang dan mengesahkan aturan dasar tersebut. Nampaknya peringatan-peringatan tersebut diabaikan saat amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan.
Mencari Pilihan Sistem Pemerintahan Negara
Sekarang semakin terang kejituan prediksi para Pendiri Negara, sistem presidensial yang diterapkan pada lingkungan politik multipartai akan menjadikan korelasi yang tidak serasi antara legislatif dan administrator sehingga sanggup menganggu kelancaran penyelenggaraan pemerintahan negara. Karena itu bangsa Indonesia harus mencari sistem pemerintahan negara yang paling sesuai dengan corak budaya bangsa, sistem politik kepartaian sehingga tercipta stabilitas dalam penyelenggaraan negara.
Proses pencarian ini pernah dialami oleh hampir tiruana bangsa. Amerika Serikat, yang dikenal sebagai negara yang mempunyai sistem presidensial yang paling mantap, sudah mengalami dan menjalani proses pencarian tersebut sekitar 100 tahun setelah sistem presidensial diterapkan di Amerika Serikat yang saat itu mempunyai 7 partai. Dari tulisan-tulisan Woodrow Wilson (1879 dan 1884), Alexander Hamilton (1787) dan James Madison (1787) yang dikenal sebagai The Federalist Papers sanggup diikuti diskursus nasional ihwal sistem pemerintahan negara. Wilson dalam beberapa tulisannya bahkan berusaha menyakinkan bangsanya untuk menerapkan Sistem Pemerntahan Kabinet atau Sistem Parlementer yang dipandang lebih bisa membuat stabilitas pemerintahan. Usulan Wilson tersebut kurang direspons positif oleh para politisi Amerika Serikat masa itu. Sebagai bangsa besar yang amat menghargai jasa dan ajaran founding fathers, rakyat Amerika menentukan untuk tetap mempertahankan The Constitution of 1787 dan berusaha menyesuaikan Konstitusi dengan perkembangan kondisi bangsa dan negara secara sedikit demi sedikit melalui amandemen yang prosesnya tidak gampang. Selama 230 tahun Amerika Serikat sudah mengadakan 27 kali amandemen, atau rata-rata 9 tahun setiap amandemen, sebagai addendum atas Konstitusi yang asli.
Bagaimana Indonesia sanggup keluar dari political gridlock yang terjadi alasannya ialah Eksekutif spesialuntuk didukung oleh koalisi partai yang rapuh, sementara Legislatif dikuasai oleh 7 partai politik yang mempunyai kegiatan poltik sendiri? Nampaknya ada dua taktik besar yang perlu ditempuh oleh bangsa ini. Strategi pertama, membuat lingkungan yang lebih sanggup menjamin sistem presidensial sanggup berfungsi dengan efektif melalui penataan partai-partai politik semoga tercipta mayority rule. Seperti dibuktikan oleh penelitian Mainwaring, sistem presidensial spesialuntuk efektif jika ada partai pemenang yang mempunyai posisi secara umum dikuasai pada tubuh legislatif. Kondisi tersebut spesialuntuk sanggup tercapai jika jumlah partai terbatas, sehingga ada partai yang menguasai lebih dari setengah dingklik di forum legislatif.
Strategi kedua ialah menyesuaikan sistem pemerintahan negara dengan lingkungan politik, biasanya dengan membentuk pemerintahan koalisi. Untuk mengelola sistem politik yang terfragmentasi, kepala pemerintahan sanggup menentukan salah satu dari bentuk sistem pemerintahan kolektif, diantaranya Sistem Parlementer menyerupai yang diuraikan oleh Wilson dalam tulisannya ”Cabinet Government in the United States” (1979) atau Sistem ’Cohabitation’ ala Prancis.
Dalam lingkungan politik Indonesia yang amat terfragmentasi, Presiden Susilo Bambang Yudoyono yang didukung oleh partai minoritas, walaupun menerima proteksi dari 62 persen pemilih pada Pemilu 1999, menyiasati perilaku ”kurang berteman dekat” dari dewan perwakilan rakyat yang mempunyai kekuasaan politik yang besar dengan mempersembahkan konsesi politik kepada partai-partai mayoritas di dewan perwakilan rakyat dalam pembentukan Kabinet Indnesia Bersatu. Langkah tersebut dilakukan untuk mengamankan kegiatan Kabinet Indonesia Bersatu semoga berjalan tanpa banyak hambatan. Kedekatan korelasi ideologis antara para menteri yang menduduki posisi strategis dalam KIB dengan partai induknya di dewan perwakilan rakyat diperlukan akan bisa memperlancar pelaksanaan aneka macam kegiatan kerja Pemerintah. Sistem pemerintahan menyerupai tersebut dinamakan Sistem Kabinet oleh Woodrow Wilson, satu-satunya profesor ilmu politik yang pernah menduduki jabatan politik tertinggi di negarinya, Presiden Amerika Serikat ke 28 Amerika Serikat selama 2 periode berturut-turut (1913 – 1917 dan 1917 – 1921).
Pilihan kedua, yang sanggup ditempuh dalam Sistem Presidential ialah menerapakan Sistem Pemerintahan Cohabitation atau Sistem Pemerintahan Koalisi menyerupai diterapkan di Prancis, dan pada era 21 ini oleh beberapa negara Eropa Timur menyerupai Lithuania dan Azerbaijan. Dalam Sistem Cohabitation ini Presiden sebagai Kepala Negara dipilih eksklusif oleh rakyat. Dalam sistem pemerintahan cohabitation, jabatan Wapres ditiadakan. Kepala Pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri yang dipilih oleh Parlemen, biasanya pimpinan partai mayoritas di forum tersebut. Sistem ini diterapkan di Prancis oleh Presiden De Gaulle dan Mitterand yang tidak mempunyai cukup proteksi di Parlemen. Pada Pemerintahan Presiden Chirac sistem tersebut dalam praktek ”berubah” menjadi sistem semi-presidensial alasannya ialah Presiden dan Perdana Menteri yang ditunjuk oleh Parlemen berasal dari satu partai.
Forum Rektor Indonesia yang ialah organisasi 2680 PT di seluruh Indonesia pada Konvensi Kampus ke III di Yogyakarta pada 11-12 Juni 2006 mengusulkan semoga dilakukan kaji ulang terhadap Undang-Undang Dasar hasil amandemen setelah mengindentifkasi pelaksanaan Undang-Undang Dasar hasil amandemen sudah menghasilkan suatu pemerintahan negara yang llemah sehingga tidak bisa mengatasi aneka macam krisis sosial, ekonomi dan politik yang dihadapi oleh bangsa. Usul ini nampaknya menerima sambutan yang cukup luas baik dari Pemerintah, DPD, MPR serta dari aneka macam kelompok masyarakat.
Melihat realitas tersebut, nampaknya bangsa ini harus bekerja keras untuk menemukan sistem pemerintahan negara yang lebih bisa merealisasikan impian para pendiri bangsa yaitu suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian infinit dan keadilan sosial.
0 Response to "Dampak Perubahan Uud 1945 Terhadap Pencapaian Tujuan Nasional"
Posting Komentar