Problem Penegakan Aturan (Pidana) Pornografi Di Kala Global
PROBLEM PENEGAKAN HUKUM (PIDANA) PORNOGRAFI DI ERA GLOBAL
Pengaruh global terhadap penyebaran pornografi sungguh luar biasa. Melalui internet inilah penyebaran pornografi tidak terbendung lagi. Keadaan ini sanggup menjadi materi kajian ulang (reevaluasi) baik dalam aspek aturan pidana materiil maupun aturan pidana formil.
Dari aspek hukum pidana materiil, berdasarkan rumusan Pasal 282 dan Pasal 283 kitab undang-undang hukum pidana jenis perbuatan yang dihentikan antara lain: (1) menyiarkan, mempertontonkan atau menempelkan dengan terang-terangan goresan pena dsb, Menyiarkan misalnya memakai surat kabar, majalah, buku, surat selebaran dan lain-lain. Mempertontonkan artinya diperlihatkan kepada orang banyak, menempelkan artinya ditempelkan di suatu daerah sehingga kelihatan;20 (2) menciptakan, membawa masuk, mengirimkan langsung, membawa keluar atau menyediakan goresan pena dan sebagainya untuk disiarkan, dipertontonkan atau ditempelkan dengan terang-terangan; (3) dengan terang-terangan atau dengan menyiarkan suatu tulisan memperlihatkan dengan tidak diminta atau menunjukkan, bahwa goresan pena dan sebagainya itu boleh didapat.21 Tulisan, gambaran, benda/barang harus melanggar kesusilaan22, contohnya buku yang isinya cabul, gambar atau patung yang bersifat cabul, film yang isinya cabul. Pada Pasal 283 kitab undang-undang hukum pidana tulisan, gambar dan benda tersebut harus ditawarkan kepada anak yang belum genap berumur 17 tahun, atau anak yang belum dewasa.
Rumusan pornografi pada UU Pers23, UU Penyiaran24, Kode Etika Wartawan Indonesia, tidak mempersembahkan klarifikasi apapun. Undang-undang dan kode etik di atas sekedar melarang perbuatan-perbuatan seperti: (a) “perbuatan yang berperihalan dengan kesusilaan masyarakat” (UU Pers): (b) “perbuatan menyiarkan rekaman musik dan lagu dengan lirik mengungkapkan “pornografi” dan “menyiarkan hal-hal yang bersifat pornografi” (UU Penyiaran);
(c) “Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitmah, sadis dan cabul, serta tidak sebut identitas korban kejahatan susila.” (Kode Etik Wartawan Indonesia). Larangan serupa terdapat dalam RUU Antipornografi dan Pornoaksi 2006.
Dalam rumusan RUU Antipornografi dan Pornoaksi tahun 2006 ini, masukana yang dipergunakan untuk membuatkan pornografi disebutkan secara sangat detail dan rinci, mencakup beberapa aspek segala perkembangan masukana yang ada saat ini seperti, telepon, radio, televisi, SMS, Multimedia Messaging Service, surat, pamflet, leaflet, booklet, selebaran, poster, media elektronik yang berbasis komputer seperti internet dan intrguat, film, VCD, DVD, CD, persoanal Com- puter-Compact Disc Reqd Only Memory, kaset, televisi kabel, surat kabar, majalah, tabloid, dan media komunikasi bentuk lainnya. Hal ini tampak dalam rumusan Pasal 1 yang terdiri dari 20 nomor klarifikasi pengertian. Rumusan ini sanggup dinilai sangat progresif dibanding dengan pola rumusan dalam RUU kitab undang-undang hukum pidana baru maupun KUHP eks WvS dan atau peraturan perundang-undangan lainnya. Di samping itu batasan usia anak di anak-anak diputuskan kurang dari 12 tahun (Pasal 1 nomor 16), ini tidak sama dengan RUU kitab undang-undang hukum pidana tahun 2000 (18 tahun) maupun kitab undang-undang hukum pidana eks WvS (16 tahun).
Sementara itu, larangan perbuatan di bidang pornografi dalam RUU Antipornografi dan Pornoaksi tahun 2006, terdapat dalam Pasal 4 hingga dengan Pasal 23.25 Pasal-pasal ini dapat dipilah berdasarkan kelompok perbuatan yang dilarang. Pertama, Pasal 4 hingga dengan Pasal 12, memuat larangan membuat tuisan, bunyi atau rekaman suara, filim atau yang sanggup disamakan dengan film, syair lagu, puisi, foto, dan/atau lukisan yang mengeksploitasi daya tarik belahan badan tertentu yang sensual (Pasal 4), ketelantidakboleh (Pasal 5), tubuh atau bagian-bagian tubuh orang yang menari erotis atau bergoyang erotis (Pasal 6), aktivitas orang yang berciuman bibir (Pasal 7), aktivitas orang yang melaksanakan masturbasi atau onani (Pasal 8), orang dalam korelasi seks atau melaksanakan acara yang mengarah pada korelasi seks dengan pasangan berlawanan jenis (Pasal 9 ayat (1)), acara orang dalam bekerjasama seks atau melakukan aktivitas yang mengarah pada hubungan seks dengan pasangan sejenis (Pasal 9 ayat (2)), aktivitas oran gdalam berhubungan seks atau aktivitas yang mengarah pada hubungan seks dengan orang yang sudahmeninggal dunia (Pasal 9 ayat (3)), acara orang dalam bekerjasama seks atau melaksanakan aktivitas yang mengarah pada hubungan seks dengan hewan (Pasal 9 ayat (4)), orang bekerjasama seks dalam dalam acara pesta seks (Pasal 10 ayat (1)), acara orang dalam pertunjukan seks (Pasal 10 ayat (2)), anak-anak yang melaksanakan masturbasi, onani dan atau korelasi seks (Pasal 11 ayat (1)), aktivitas orang yang melakukan hubungan seks atau aktivitas yang mengarah pada korelasi seks dengan anak-anak (Pasal 11 ayat (2)), belahan badan tertentu yang sensual dari orang remaja melalui media cetak, media massa elek-tronik dan atau alat komunikasi mdeia Pasal 12).
Kedua, Pasal 13 sampai dengan Pasal 19 memuat larangan menyiarkan, memperdengarkan, mempertontonkan, atau menempelkan tulisan, bunyi atau rekaman suara, film atau yang dapat disamakan dengan film, syair lagu, puisi, gambar, foto dan/atau lukisan yang mengeksploitasi daya tarik ketelantidakboleh tubuh melalui media massa cetak, media massa elektronik dan/atau alat komunikasi media (Pasal 13), badan atau bagian-bagian badan oran gyang menari erotis atau bergoyang erotis melalui media massa cetak, media massa elektronik dan/atau alat komunikasi media (Pasal 14), acara orang yang berciuman bibir melalui media massa cetak, media massa elektronik dan/atau alat komunikasi media (Pasal 15), aktivitas orang yang melakukan masturbasi atau onani melalui media massa cetak, media massa elektronik dan/atau alat komunikasi media (Pasal 16), acara orang dalam korelasi seks atau melakukan acara yang mengarah pada korelasi seks dengan pasangan berlawanan jenis melalui media massa cetak, media massa elektronik dan atau alat komunikasi media (Pasal 17 ayat (1), aktivitas orang dalam hubungan seks ataumelakukan aktivitas yang mengarah pada hubungan seks dengan pasangan sejenis melalui media massa cetak, media massa elektronik dan/atau komunikasi media (Pasal 17 ayat (2)), acara orang dalam dalam korelasi seks atau melaksanakan acara yang mengarah pada korelasi seks dengan cara sadis, kejam, pemukulan, sodomi, perkosaan, dan cara-cara kekerasan lainnya melalui media massa cetak, media massa elektronik dan/atau alat komunikasi media (Pasal 17 ayat (3)), acara orang dalam korelasi seks atau melaksanakan aktivitas yang mengarah pada korelasi seks dengan orang yang sudah meninggal dunia melalui media massa cetak, media massa elektronik dan/atau alat komunikasi media (Pasal 17 ayat (4)), acara orang dalam korelasi seks atau melaksanakan acara yang mengarah pada korelasi seks dengan binatang melalui media massa cetak, media massa elektronik dan/atau alat komunikasi media (Pasal 17 ayat (5)), aktivitas orang berhubungan seks dalam acara pesta seks (Pasal 18 ayat (1)), acara orang dalam pertunjukan seks (Pasal 18 ayat (2)), anak–anak yang melaksanakan masturbasi, onani, dan atau hubungan seks (Pasal 19 ayat (3)), aktivitas orang yang melakukan hubungan seks dengan anak-anak (Pasal 19 ayat (4)), acara orang dalam korelasi seks atau melaksanakan acara yang mengarah pada korelasi seks dengan anak-anak dengan cara sadis, kejam, pemukulan, sodomi, perkosaan, dan cara- cara kekerasan lainnya melalui media massa cetak, media massa elektronik dan/atau alat komunikasi media (Pasal 19 ayat (5)).
Ketiga, larangan perbuatan menjadikan diri sendiri dan atau orang lain sebagai model atau objek pembuatan tulisan, bunyi atau rekaman film atau yang sanggup disamakan film, syair lagu, puisi, gambara, foro dan/atau lukisan yang mengeksploitasi daya tarik bagian tubuh tertentu yang sensual dari orang dewasa, ketelantidakboleh badan dan/atau daya tarik badan atau bagian-bagian tubuh orang yang menari erotis atau bergoyang erotis, aktivitas orang berciuman bibir, aktivitas orang yang melaksanakan masturbasi atau onani, orang yang bekerjasama seks atau melaksanakan acara yang mengarah pada korelasi seks dengan pasangan berlawanan jenis, pasangan sejenis, orang yang sudah meninggal dunia dan/atau dengan binatang (Pasal 20). Setiap orang dihentikan menyuruh atau memaksa anak-anak menjadi model atau objek pembuatan tulisan, bunyi atau rekaman suara, film, atau yang sanggup disamakan dengan film, syair lagu, puisi, gambar, foto, dan/atau lukisan yang mengeksploitasi acara anak-anak untuk melaksanakan masturbasi, onani, dan/atau korelasi seks (Pasal 21).
Keempat, setiap orang dilarang menciptakan, menyebarluaskan, dan menggunakan karya seni yang mengandung sifat pornografi di media massa cetak, media massa elektronik, atau alat komunikasi media, dan yang berada di tempat-tempat umum yang bukan dimaksudkan sebagai tempat pertunjukan karya seni (Pasal 22). Setiap orang dihentikan membeli barang pornografi dan/ atau jasa pornografi tanpa alasan yang dibenarkan berdasarkan Undang-Undang ini (Pasal 23). Setiap orang dilarang menyediakan dana bagi orang lain untuk melakukan kegiatan dan/atu pameran pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 hingga dengan Pasal 23 (Pasal 24 ayat (1)). Setiap orang dihentikan menyediakan tempat bagi orang lain untuk melakukan kegiatan pornografi dan/ atau pameran pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 23 (Pasal 24 ayat (2)). Setiap orang dilarang menyediakan peralatan dan/ atau perlengkapan bagi orang lain untuk melaksanakan kegiatan pornografi dan/ atau pameran pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 23 (Pasal 24 ayat (3)).
Dalam RUU kitab undang-undang hukum pidana tahun 1999/2000,26 pola perumusan dan substansi tindak pidana pornografi mengalami perubahan, dibandingkan dengan rumusan tindak pidana pornografi dalam kitab undang-undang hukum pidana eks WvS. Dalam RUU kitab undang-undang hukum pidana tahun 1999/2000, tindak pidana pornografi diatur dalam Pasal 412 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 413 bagian a dan b dan Pasal 415.
Pasal 412 ayat (1) KUHP 1999/2000 memuat jenis-jenis perbuatan tertentu, seperti, menyiarkan, mempertunjukkan, tulisan, gambar atau benda yang melanggar kesusilaan. Jenis perbuatan yang dihentikan ini hampir sama dengan Pasal 282 KUHP, nbamun disertai penambahan yakni ditambah “memper- dengarkan rekaman”. Sementara itu, ayat (2) hampir sama dengan ayat (2) Pasal 282 kitab undang-undang hukum pidana yakni menjadikan mata pencaharian atau kebiasaan. Mengenai sanksinya terdapat perbedaan dalam RUU KUHP baru, yakni dalam RUU KUHP baru memuat ancaman pidana paling usang 2 (dua) tahun atau denda Kategori III sebesar RP. 3.000.000,- (tiga juta rupiah,s edangkan Pasal 282 KUHP usang ancaman pidananya maksimum 2 (dua) tahun delapan bulan atau denda paling banyak lima ribu rupiah. Selanjutnya, Pasal 413 RUU KUHP 1999/2000 ialah rumusan baru, alasannya di dalam kitab undang-undang hukum pidana usang tidak ada. Unsur-unsur Pasal 413 RUU KUHP disebutkan, di muka umum, (a) menyanyikan lagu-lagu, (b) mengucapkan pidato, membuat goresan pena atau gambar yang terlihat dari jalan umum yang ketiruananya melanggar kesusilaan. Ancaman pidananya adalah pidana denda Kategori I sebesar Rp. 150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah).
Sementara itu, Pasal 414 RUU kitab undang-undang hukum pidana memuat dua kategori perbuatan, yakni (a) rumusannya hampir sama dengan Pasal 283 (1) dan (2) KUHP lama, namun disertai penambahan kata “rekaman”; (b) ialah hal baru, mengingat pada Pasal 283 KUHP lama tidak diatur. Perbuatan tersebut seperti, membacakan tulisan, memperdengarkan rekaman atau memperlihatkan gambar yang patut diduga menyinggung kesusilaan. Perbedaan yang cukup mencolok adalah adanya batasan usia dalam rumusan Pasal 414 RUU KUHP, yakni perbuatan tersebut dilakukan di depan anak yang belum berumur 18 tahun. Hal ini tidak sama dengan kitab undang-undang hukum pidana eks WvS yang sebut “seseorang yang belum cukup umur” tanpa mempersembahkan batasan umur secara kongkrit. Mengenai ancaman pidana, Pasal 414 RUU kitab undang-undang hukum pidana memuat ancaman pidana penjara paling usang 1 (satu) tahun atau denda Kategori III (sebesar Rp. 3.000.000,-).
Pasal 415 RUU KUHP ialah rumusan baru, mengingat KUHP lama tidak memuat rumusan menyerupai ini. Perbuatan yang dihentikan dalam Pasal 415 RUU KUHP memuat unsur-unsur: (a) di lalu lintas umum, mempertunjukkan, menempelkan, tulisan dengan judul, sampul, atau isi atau menempelkan gambar atau benda, (b) memperdengarkan isi tulisan, (c) menyiarkan, menawarkan, mempertunjukkan tulisan, gambar atau barang, (d) menawarkan, mempersembahkan untuk sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan gambar atau benda. Ketiruana perbuatan tersebut yang mampu membangkitkan nafsu birahi bagi orang yang belum genap berumur 18 tahun atau belum kawin.
Dalam RUU KUHP 1999/2000 pola perumusan dan substansinya hampir sama dengan Pasal 282, Pasal 283 dan Pasal 533 KUHP. Pasal 412 (Pasal 282 (1) KUHP), Pasal 414 (Pasal 283 KUHP), dan Pasal 415 (Pasal 533 KUHP). Namun terdapat perbedaan terkena ancaman hukuman pidananya Pasal 282 dipidana penjara maksimum satu tahun atau denda katagori III dan apabila sebagai mata pencaharian menjadi maksimum dua tahun atau denda katagori III sedangkan Pasal 283 pidana penjara maksimum satu tahun atau denda katagori III dan Pasal 533 dengan pidana denda katagori III.27
Pola perumusan beberapa peraturan tersebut di atas pada umumnya hampir sama dengan yang terdapat dalam KUHP. Sebenarnya KUHP dapat pula diterapkan terhadap tindak pidana pornografi yang mempergunakan internet28 sebagai masukana melakukan kejahatan. Namun menurut hemat penulis dengan penerapan masukana ini, sifat berbahaya perbuatan menjadi lebih fokus.
Di samping itu, berdasarkan Barda Nawawi Arief, kebijakan kriminalisasi cyber crime terutama dalam pornografi sudah dimuat dalam RUU-PTI (Rancangan Undang-Undang Pemanfaatan Teknologi Informasi), tertuang dalam Bab XIV yang berjudul “Ketentuan Pidana” pada Pasal 40 ayat (1) memuat ketentuan terkena perbuatan “menciptakan, menyediakan, mengirimkan, mendistribusikan data/tulisan/rekaman yang isinya melangar kesusilaan dengan menggunakan komputer/media elektronik lainnya”, ayat (2) apabila objeknya adalah anak, dan ayat (3). Merumuskan menggunakan komputer/media elektronika untuk melakukan tindak pidana kesusilaan terhadap anak.29 Rumusan RUU-PTI tersebut ialah materi yang diadopsi dari Konvensi Cyber Crime Dewan Eropa (Council of Europe Cyber Crime Convention). Betapapun sudah dibentuk pola rumusan tersebut, ternyata hampir sama dengan rumusan delik kesusilaan lainnya yakni tetap mengacu pada pengertian “kesusilaan” (seperti dalam KUHP), objeknya anak di anak-anak (seperti kebanyakan pasal-pasal kesusilaan KUHP), yang gres ialah media dalam melaksanakan kejahatan yakni “komputer”. Oleh lantaran itu, tidaklah menghe- rankan Barda Nawawi Arief mengomentari kebijakan ini bersifat limitatif.30 Oleh lantaran sekedar larangan tersebut terbatas pada objek anak-anak (sperti dalam KUHP) dan berdasarkan ekonomis penulis tidak ada kemajuan yang berarti dalam soal objek tindak pidananya.
Unsur tindak pidana, seperti kata “barangsiapa” yakni pelaku sebagaimana dalam rumusan pasal-pasal hukum pidana materiil di atas barangkali sudah cukup jelas, artinya klasifikasi siapa saja yang berperan sebagai pelaku (dader), yang turut serta (mededader). Pengguna atau mereka yang mengakses pornografi dapat dikatagorikan sebagai pelaku murni (dader), menurut hemat penulis oleh karena ia hadir dan mempergunakan internet guna mewujudkan niat batinnya untuk mengakses pornografi tanpa sepengetahuan pemilik warnet. Sementara itu, untuk Provider yang mempersembahkan layanan sanggup dikatagorikan apa? Menurut hemat penulis agak susah mengingat akses internet tergantung pada sikap batin pelaku, sedangkan penyedia jasa tidak dapat dikatagorikan “kerjasama” dalam arti mewujudkan unsur niat jahat tersebut. Sebab internet sanggup dipandang sebagai “barang” atau instrumen yang netral, di samping itu program (menunya) meliputi berbagai informasi, tidak semata-mata pornografi, sehingga pemakailah yang sanggup mengeksploitasi apapun tergantung pada niat atau perilaku batin pengguna (pelaku). Oleh lantaran itu ia tidak sanggup dikatagorikan sebagai penyebarluaskan pornografi. Sementara itu, pemasok yang mempunyai home page dapat dikatagorikan sebagai aktor intelektual (uitloker).
Uraian di atas, mengisyaratkan pula bahwa penegakkan aturan akan mengalami kesusahan terutama dalam menindak para pelaku dan aktor intelektual. Oleh lantaran abdnegara penegak aturan tidak mungkin menyelidiki orang-orang yang sedang mengakses internet satu persatu. Bahkan terdapat referensi akhir-akhir ini, dimana polisi melaksanakan razia terhadap anakdidik-anakdidik di sekolah SLTA bahkan mahasiswa, dengan membuka hand phone (HP) masing- masing siswa untuk dilihat apakah ada tayangan pornografinya atau tidak. Namun hambatannya apakah setiap polisi bisa mengoperasikan HP yang semakin cangih tersebut? Barangkali ini lebih pada keterbatasan SDM polisi dalam soal penguasaan teknologi, dan ini penting untuk masa ke depan! Dapat pula dilakukan dengan razia di warnet-warnet. Kendalanya jumlah warung internet (warnet) sangat banyak, tentunya membutuhkan jumlah aparat penegak hukum yang banyak pula. Kondisi seperti ini dilihat dari aspek cost and benefit dalam kriminalisasi jelas tidak proporsional.
Perbuatan memasok sebagai bintang film intelektual dari luar negeri (pemilik home page pornografi susah dijangkau oleh lantaran terbentur pada asas berlakunya hukum pidana. Asas teritorial (Pasal 2 KUHP dan yang diperluas Pasal 5 ayat 1 ke 1 dan ke 2 KUHP) tidak mungkin menjangkau. Kesusahannya ialah mengindetifikasikan pelaku pemasok home page (terlebih yang dari luar negeri), dilakukan oleh siapa? dan berasal dari (negara) mana? karena dalam situs web terkadang alamat pelaku disamarkan. melaluiataubersamaini demikian susah rasanya melacak pelaku ini. Terkecuali yang mempunyai home page pornografi tersebut secara terang-terangan sebut identitas dan asal negaranya, sepeti Playboy. Namun biasanya home page pornografi seperti Playboy dan Penthouse bersifat komersial dan bisnis, di samping itu terkendala di negara dimana pemilik home page berasal, perbuatan tersebut bukan ialah pelanggaran aturan sepanjang tidak diakses oleh anak-anak di bawah umur. melaluiataubersamaini demikian penerapan ekspansi asas Teritorial pada Pasal 5 ayat 1 ke 2 kitab undang-undang hukum pidana menjadi tidak bisa. Hal inipun diakui oleh Masaki Hamano dalam tulisannya “Com- parative Study in The Approach to Jurisdiction in Cyberspace” bahwa sistem hukum dan jurisdiksi nasional/teritorial memang memiliki keterbatasan lantaran tidaklah praktis menjangkau pelaku tindak pidana di ruang cyber yang tidak terbatas itu, namun tidak berarti aktivitas di ruang cyber dibiarkan bebas tanpa hukum.31
Barangkali aparat penegak hukum baru dapat bertindak apabila pornografi yang diakses dari internet tersebut di print out atau disebarkan dalam bentuk yang lain seperti ditranfer ke dalam HP (Handphone) sehingga tersebar luas ke masya- rakat. Dalam kondisi seperti ini aparat penegak hukum lebih gampang menangkap dan membuktikan. Terdapat cara yang dapat dipergunakan guna menanggulangi penjelajahan (surfing) situs pornografi ini, antara lain dengan kesepakatan bersama antara pelanggan dan provider bahwa terhadap anak-anak di bawah umur dilarang untuk mengakses situs pornografi ini. Teknik lainnya dengan menggunakan pass- word dengan kode-kode tertentu sebagai kunci pengaman agar tidak sembarang anggota keluarga atau orang dapat membuka situs web pornografi ini.
Upaya preventif semacam password ini dianggap belum memadai, perjanjian dengan provider sebelum sambungan internet dilakukan, menurut ekonomis penulis bersifat sementara dan tiruan. Mabadunga persaingan dalam mencari pelanggan sebagai akhir semakin menjamurnya warnet (warung internet), maka tidak mustahil persyaratan semacam perjanjian antara provinder dan pengguna akan diabaikan. Terlebih konsumen memang menghendaki menu pornografi ini. Hal inilah yang menegaskan bahwa persoalan teknologi informasi dengan segala segi positif dan negatifnya lebih ialah dilema bisnis. Oleh lantaran itu, mempersembahkan batasan yang terlalu ketat seakan menghambat segi bisnisnya itu sendiri. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Mardjono Reksodiputro bahwa penambahan atau perubahan undang-undang aturan pidana (dalam rangka kejahatan komputer ini) tidakboleh hingga menjadikan “unwarranted legal or social–economic effect” 32
Memang menjadi susah dalam rangka penanggulangan kejahatan pornografi di era global ini. Melakukan penambahan pasal akan berdampak “over criminalization” mengingat peraturan yang sudah ada cukup banyak mengatur bidang pornografi ini. Sementara itu, dari peraturan yang sudah adapun menemui banyak hambatan dalam penerapannya. INI situasi problematis yang berujung pada ketidak berdayaan aturan pidana dalam menjangkau kejahatan di dunia mayantara (Cyber space) ini.
>>>Baca juga Kumpulan Judul Skripsi Perdata
_________________
20 R. Soesilo, 1988, KUHP Serta Komentar-Komentarnya Pasal Demi Pasal, Bogor: Politeia, hal 134.
21 Ibid, hal 206.
22 Melanggar kesusilaan (zeeden) diartikan perasaan malu yang berhubungan dengan nafsu kelabuin contohnya bersetubuh, meraba buah dada seorang wanita, meraba daerah kemaluan wanita, memperlihatkan anggota kemaluan wanita atau pria, mencium dsb. Lihat: R. Soesilo, ibid, hal 204.
23 Undang-Undang RI No 40 Tahun 1999 Tentang Pers, Bagian Proyek Peningkatan Publikasi Pemerintah, Direktorat Publikasi, Ditjen PPG, Deppen RI.
24 Undang-Undang RI No 24 Tahun 1997 Tentang Penyiaran, Bagian Proyek Peningkatan Publikasi Pemerintah, Direktorat Publikasi, Ditjen PPG, Deppen RI.
25 RUU Pornografi dan Pornoaksi – Status RUU-APP-Ruuaprri@11.25 am. (www.yahoo.com).
26 Departemen Hukum dan Perundang-undangan, Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan, Direktorat Perundang-undangan, Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 1999/2000.
27 Pidana denda katagori III maksimum 3 (tiga) juta rupiah. Ibid,
28 Jenis-jenis kejahatan komputer antara lain: - komputer sebagai intrumen untuk melaksanakan kejahatan tradisional seperti, pencurian, penipuan, pengpetangan, pemalsuan; - komputer dan perangkatnya sebagai objek penyalahgunakan, menyerupai computer sabotage; - Penyalahagunakan yang berkaitan dengan data komputer. Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Alumni, hal 29-30.
29 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, op cit, hal 258.
30 Ibid,
31 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, op cit, hal 250
32 Mardjono Reksodiputro, 1994, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan,, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Lembaga Kriminologi UI, hal. 13.
0 Response to "Problem Penegakan Aturan (Pidana) Pornografi Di Kala Global"
Posting Komentar