Membelah Indonesia


Membelah Indonesia
Oleh Masdar Hilmy

”If you win the battle of minds, you win the battle of politics…”  (Manuel Castells, ”The Power of Identity”, 1997:12)

HARI-hari ini politik di gedung dewan legislatif menjadi sangat reduktif dan distortif. Panggung politik jadi pertarungan saling menegasi dan mengalahkan melalui permainan zero-sum-game di antara dua kubu: Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat.

Seolah tiada kosakata lain di jagat politik dewan legislatif kecuali memenangi pertarungan. Sejak dilantik pada 1 Oktober lalu, hampir tak ada acara signifikan yang bisa melahirkan gagasan besar di kalangan anggota dewan perwakilan rakyat kecuali perebutan bangku kekuasaan. Akibatnya, belum satu pun dari ketiga fungsi pokok anggota DPR—legislasi, pengawasan, dan budgeting—yang tersentuh.

Pada pertamanya yaitu polarisasi atau keterbelahan: keterbelahan realitas politik, keterbelahan pemerintahan, dan keterbelahan peta politik di gedung parlemen. Ironisnya, potret keterbelahan ini sama sekali tidak merepresentasikan keterbelahan di masyarakat. Jika mau jujur, masyarakat sudah melupakan pertarungan pilpres tempo hari. Bahkan, mereka terlihat larut dalam euforia pelantikan Jokowi sebagai presiden. Ini mengirimkan pesan: pertarungan politik di tingkat elite belum tentu kongruen dan ekuivalen dengan kehidupan sehari-hari di akar rumput.

Dramaturgi politik

Dalam derajat tertentu, perhelatan politik di dewan legislatif ialah miniatur dari perhelatan politik di tingkat negara-bangsa. Idealnya, tiap problem yang muncul di tingkat kebangsaan dan kenegaraan dianalisis, diurai, dan diselesaikan di gedung parlemen. Setiap produk politik dewan legislatif kemudian dilaksanakan oleh jajaran direktur di tingkat praksis. Gedung dewan legislatif beserta segala atribut dan acara politiknya, dengan demikian, ialah laboratorium bersama untuk mengulas banyak sekali problem penting menyangkut kehidupan berbangsa-bernegara dalam pengertian luas.

Namun, yang terjadi tidak demikian. Antara gedung dewan legislatif dan kehidupan berbangsa-bernegara seakan tak saling bersahutan. Masing-masing berjalan sesuai skenario yang tidak sama. Persis ibarat panggung drama. Kedua panggung menyediakan skenario atau alur dongeng yang saling berlainan. Meminjam konstruk teoretik Erving Goffman dalam karyanya, Presentation of Self in Everyday Life (1959), panggung tersebut masing-masing tidak saling berhubungan, bahkan terkadang bertolak belakang.

Goffman memakai istilah panggung depan (front-stage) dan panggung belakang (back-stage) untuk menggambarkan dua contoh sikap yang tidak sama. Pada panggung depan, seorang individu cenderung memperagakan sikap yang tidak otentik alias engkauflase, tiruan, dan menipu. Namun, ketiruanan yang ia pertontonkan ditujukan semata-mata untuk memuaskan emosi para penonton. melaluiataubersamaini kata lain, di panggung depan seseorang tidak menjadi dirinya sendiri, tetapi menjadi orang lain.

Begitu kembali ke panggung belakang, ia pun kembali ke asalnya. Dia melepas seluruh tugas dan atribut teatrikal yang sudah dimainkan dan kembali ke identitas kedirian yang otentik. Tidak ada lagi kepura-puraan, tiada lagi permainan peran. Di panggung belakang kehidupan tidak bisa dimanipulasi. Semua berjalan asli, alami, dan tanpa basa-basi. Artinya, seseorang di panggung belakang selalu mengatakan keotentikannya.

Paralel dengan analisis Goffman di atas, panggung politik dewan legislatif ialah panggung depan yang tak jarang mengatakan ketiruanan-ketiruanan. Identitas kedirian yang dipertontonkan di panggung depan sering kali tidak mewakili identitas kedirian yang sesungguhnya. Para elite politik di gedung dewan legislatif memang paling sering berbicara mewakili rakyat, tetapi apa yang diperagakan sering kali tidak nyambung dengan realitas kehidupan yang sebenarnya. Sepak terjang para elite politik kita sering kali tidak menyahuti kebutuhan rakyat kebanyakan. Intinya, ada keterputusan tugas antara gedung dewan legislatif dan kehidupan berbangsa-bernegara yang sesungguhnya.

Memenangi pertarungan

sepertiyang banyak digambarkan sejumlah pengamat, kondisi politik kita tengah mengalami keterbelahan. Kondisi keterbelahan ini, konon, berpertama dari pertarungan dua calon presiden pada pilpres tempo hari, yang kesannya dimenangi pasangan Jokowi-JK. Pertarungan dua kubu ini kemudian berlanjut di gedung dewan legislatif antara pendukung Prabowo melalui KMP dan pendukung Jokowi-JK melalui KIH.

Jika melihat nama yang dipakai sebagai identitas kelompok, mestinya tiap koalisi mengatakan adab dan kinerja politik yang selaras dan senapas dengan nama-nama yang diusung. Tetapi, yang terjadi justru sebaliknya: kubu masing-masing bertarung memperebutkan hal- hal yang menggerus nama-nama tersebut. Bahkan, terdapat kecenderungan pelecehan terhadap nama-nama yang disandangnya. Nama-nama tersebut terang terlalu agung untuk dikerdilkan sekadar pertarungan di antara dua kubu untuk memperebutkan bangku jabatan, kekuasaan, dan kepentingan jangka pendek.

melaluiataubersamaini demikian, pertarungan yang berkecamuk di gedung dewan legislatif bukanlah pertarungan melawan kejahatan dan musuh bersama. Bukan pula pertarungan untuk memenangi hati dan pikiran rakyat. Tapi pertarungan picik melawan diri mereka sendiri. Sungguh pertarungan di antara keduanya tidak mempersembahkan manfaat apa pun bagi rakyat, kecuali kerugian demi kerugian.

Para elite politik sepertinya perlu disadarkan bahwa mereka sudah salah memaknai dan mengidentifikasi ”musuh”. Musuh sejati para elite politik di dewan legislatif bukanlah sesama anggota parlemen, tetapi banyak sekali problem yang tengah membelit bangsa ini: korupsi, kemiskinan, kesentidakboleh ekonomi, pengangguran, dan semacamnya. Mestinya tiap-tiap kubu koalisi bertarung di tingkat gagasan untuk melahirkan solusi cerdas biar bangsa ini bisa mengatasi banyak sekali problem dimaksud. Bagaimana kehadiran mereka sanggup membawa Indonesia lebih baik jikalau energi mereka dihabiskan untuk bertarung atas hal-hal kecil?

Jika dalam jangka panjang mereka menghabiskan masa kerjanya spesialuntuk untuk saling memenangi pertarungan, bisa dipastikan mereka akan kehilangan kepercayaan dari masyarakat. Jika mereka tidak mengubah haluan, pada saatnya nanti parpol akan ditinggalkan masyarakat. Sikap dan sikap mereka terang merugikan negeri ini. Keterbelahan politik, dalam tataran ekstrem, sanggup membelah bangsa ini. Keterbelahan politik sudah niscaya menghambat kinerja pemerintah dan jajaran kabinetnya.

Oleh alasannya yaitu itu, keterbelahan politik di dewan legislatif harus segera diakhiri dan disublimasikan ke dalam pertarungan yang elegan, yakni pertarungan di tingkat gagasan untuk memenangi hati dan pikiran rakyat. Jika keterbelahan politik ialah realitas yang harus diterima, tiap kubu harus mempertontonkan jual-beli argumen untuk membuat Indonesia lebih baik. sepertiyang ditegaskan Manuel Castells, ibarat dikutip di pertama goresan pena ini, Anda akan memenangi pertarungan politik jikalau Anda memenangi pertarungan di tingkat gagasan.

Masdar Hilmy
Wakil Direktur Program Pascasarjana UIN Sunan Ampel

0 Response to "Membelah Indonesia"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel