Sejarah Lengkap Masuknya Islam Ke Aceh Dan Teorinya
DOWNLOAD GRATIS EBOOK/BUKU (Klik Disini)
CARA MENDAPATKAN UANG DI INTERNET (Klik Disini)
KUMPULAN SKRIPSI H.PERDATA (Klik Disini) , H.TATA NEGARA (Klik Disini)
PROSES MASUKNYA ISLAM KE ACEH
CARA MENDAPATKAN UANG DI INTERNET (Klik Disini)
KUMPULAN SKRIPSI H.PERDATA (Klik Disini) , H.TATA NEGARA (Klik Disini)

Baca Juga
PROSES MASUKNYA ISLAM KE ACEH
Islam sudah masuk ke Aceh semenjak era pertama Hijriah (ke-7 atau 8 M), menyerupai dikemukakan oleh Hamka, namun ia menjadi sebuah agama populis pada era kesembilan menyerupai pendapat Ali Hasjmy atau menjadi sebuah kekuasaan pada era ke-13 M menyerupai pendapat para orientalis, Snouck Hourgronje, misalnya.
Akan tetapi sebelum penetrasi Islam ke wilayah ini, agama Hindu atau lainnya sudah eksis, bahkan situs peninggalannya masih sanggup kita temui. Gavin W. Jones menyatakan bahwa menjelang era kedelapan Masehi, Hinduisme dan Budhisme sudah ada di pulau Sumatera dan Jawa. Bahkan pernah ada kerajaan besar di Sumatera, yaitu kerajaan Sriwijaya di Palembang.
Aceh Pra Islam
Sejauh ini literatur yang berbicara wacana Aceh, pada umumnya memuat informasi wacana Islam, terutama menekankan pada setting sosial dan islamisasinya. Lalu bagaimana kondisi sosio-kultur masyarakat Aceh sebelum Islam? Agama apa yang dianut oleh masyarakat Aceh pra Islam? Berbagai kesusahan membentang untuk menjawaban pertanyaan ini. Di antaranya disebabkan oleh langkanya rujukan yang sanggup ditemukan.
Bahwa sebagian besar catatan sejarah wacana Aceh sebelum tahun 400 M tidak diketahui secara jelas. Bahkan, catatan J. Kreemer sebagaimana dikutip oleh Aboe bakar Atjeh sebut bahwa sebelum tahun 1500 sejarah Aceh masih belum diketahui orang.
Snouck Hurgronye menunjukkan sedikit citra yang mengindikasikan adanya dampak Hindu di Aceh, dengan memperhatikan cara berpakaian para perempuan Aceh yang dikatakannya bersanggul miring menyerupai dengan cara para perempuan Hindu. Menurutnya pula, eksklusif atau tidak langsung, Hinduisme pada suatu waktu mengalir ke dalam peradaban dan bahasa Aceh walaupun hal ini sangat susah diteliti dalam riwayat dan adat. Julius Jacobseorang ahli kesehatan yang pernah bertugas di Aceh tahun 1878 menyatakan bahwapengaruh Hindu atas penduduk setidak-tidaknya sanggup ditemukan dengan kenyataanperihal pemakaian nama-nama tempat dalam bahasa Hindu istilahnya terdapat dalambahasa Aceh.Dalam ranah kesusastraan, sastra Aceh juga mempunyai keterpengaruhan Hindu, menyerupai adanya Hikayat Sri Rama dalam bahasa Melayu, dikenal sebagai saduran dari Kakawin Ramayana karya Walmiki. Baik versi Aceh maupun Melayu dari Hikayat Sri Rama maupun Rahwana sudah mengakibatkan dugaan bahwa hikayat itu mencerminkan sejarah Aceh dan Raja Rahwana yang dimaksud di dalamnya ialah Raja yang pernah bertahta di Indrapuri (Aceh Besar). Nama-nama gampong bau tanah dari bahasa Sangsekerta menyerupai Indrapuri atau Indraparwa, juga sudah dikaitkan oleh sementara penduduk sebagai suatu nama kota- kota kerajaan Hindu yang pernah tumbuh di Aceh, meski demikian hal itu samasekali tidak sanggup dijadikan pegangan untuk menyampaikan bahwa sudah berdiri kerajaan Hindu di Aceh, lantaran masih memerlukan pembuktian- pembuktian yang sanggup diandalkan terkena hal ini. Pada masa itu, budaya yang hidup dalam masyarakat Aceh diserap dari nilai-nilaiagama Hindu. Menurut Van Langen, intinya orang Aceh berasal dari bangsa Hindu. Migrasi Hindu bertapak di Pantai Utara Aceh dan dari sini menuju ke pedalaman. Dari Gigieng dan Pidie, mungkin juga dari daerah Pase, migrasi Hindu menuju ke daerah 22 Mukim di Aceh Besar.
Meskipun pendapat ini dibantah oleh C. Snouck Hurgronje, akan tetapi bila diperhatikan dari intensitas pergaulan, terutama dalam bidang perdaganganantara Aceh dan India pada masa itu, maka sanggup dikatakan bahwa agama Hindu ialah anutan sebagian masyarakat Aceh sebelum kehadiran Islam. Selain Hindu, diperkirakan agama Budha juga menjadi anutan bagi sebagian masyarakat Aceh yang lain,yang diduga dibawa oleh orang-orang Cina.
melaluiataubersamaini demikian terdapat kecenderungan bahwa budaya yang berkembang dalam masyarakat Aceh pra Islam bersumber dari anutan Hindu tetapi tidak ditemukan catatan sejarah yang menceritakan seberapa besar dampak Hindu di Aceh pada masa pra Islam.
Masuknya Islam ke Aceh
Dalam naskah tua Izhar al-Haqq yang dirujuk oleh A.Hasjmy, diinformasikan bahwa pada 173 H (789 M), terdapat sebuah kapal abnormal yang hadir dari Teluk Kambay (Gujarat) India singgah berlabuh di Bandar Perlak. Kapal ini di antaranya membawa para saudagar muslim dari Arab, Persia dan India di bawah pimpinan seorang nahkoda utusan khalifah Bani Abbas, sehingga ia disebut Nahkoda Khalifah.
Pada masa itu, dunia Islam berada dalam kekuasaan Khalifah Harun ar-Rasyid (785-809 M) yang berpusat di Baghdad. Bila ini benar, maka sangat masuk akal kalau khalifah memdiberi perintah untuk mengembangkan Islam ke banyak sekali penjuru dunia, termasuk ke wilayah timur yaitu di tempat Nusantara. Apalagi pada masa Harun ar-Rasyid, dunia Islam mengalami masa kemajuan di banyak sekali bidang kehidupan, menyerupai digambarkan dalam cerita-cerita seribu satu malam.
Kehadiran rombongan Nahkoda Khalifah di Perlak mengakibatkan terjalinnya kekerabatan dan kontak budaya antarbangsa di wilayah ini. Di samping menjalankan misi dagang, rombongan Nahkoda Khalifah ini juga membawa misi dakwah syiar Islam. Meraka mengajarkan persaudaraan, persamaan, kasih akung, tolong menolong, bagaimana berniaga, bertani, bermasyarakat dan cara diberibadat kepada Allah, sehingga raja dan rakyat Perlak tertarik dan memeluk Islam. Sebelum Islam hadir, di Perlak sudah berdiri kerajaan yang diperintah oleh raja-raja yang bergelar Meurah, berasal dari keturunan raja- raja Syahir Nuwi dari Negeri Syam.Sayid Ali dari suku Qurasisy, salah seorang di antara rombongan Nahkoda Khalifah, kawin dengan Makdhum Tansyuri, adik dari Syahir Nuwi Meurah Perlak. Dari perkawinan inilah, lahir Sayid Abdul Aziz, yang kemudian setelah cukup umur dilantik menjadi Sultan Perlak Pertama (225-249 H/840-864 M) Untuk mengingat jasa nahkoda Khalifah, maka ibukota Kerajaan Islam Perlak diubah namanya menjadi Bandar Khalifah.
Kerajaan Islam Perlak berkembang dan eksis hingga era ke-13 M, sebelum karenanya bergabung dengan Kerajaan Samudera Pasai. Bahkan dalam mengendalikan pemerintahan di Kerajaan Islam Perlak ini, para sultan dipengaruhi oleh paham keagamaan yang dibawa oleh rombongan Nahkoda Khalifah, yaitu Syi’ah dan Sunni. Oleh karenanya ketika kedua paham keagamaan ini sama-sama berpengaruh, maka Perlak pernah dibagi menjadi dua kekuasaan, di wilayah pesisir diserahkan kepada kelompok Syi’ah dan wilayah pedalaman diperintah oleh kelompok Sunni.
melaluiataubersamaini demikian sanggup dikatakan di antara para penhadir asal Arab, India dan Persia yang sengaja hadir dalam rangka berniaga dan mengemban misi dakwah ke Perlak ialah ulama, seperti Sayid Ali Quraisy danQaid al- Mujahidin Maulana Naina al-Malaba’i.
Dalam perkembangannya, ada di antara keturtunan mereka yang tampil sebagai sultan. Karena mereka tidak menganut satu paham keagamaan, tetapi ada yang Syi’ah dan ada yang Sunni, maka hal ini juga besar lengan berkuasa terhadap tipe kepemimpinannya.
Pada tahun 986 M, Kerajaan Sriwijaya menyerang dan sanggup menguasai Perlak hingga beberapa tahun, tetapi kemudian direbut kembali oleh Sultan Makhdum Malik Mansur Syah (1012-1059). Dampak positif ketika menerima serangan dan diinvasi oleh Kerajaan Sriwijaya ialah semakin meluasnya dampak Islam ke daerah di sekitarnya yangdibawa oleh para “pelarian/muhajirin”
dari Perlak. Di antara mereka kemudian mendirikan kerajaan, menyerupai kerajaan Beunua di Tamiang.
Dari literatur yang di tulis oleh Edwin M. Loeb, Thomas Arnold dan Hoesein Djajadiningrat
sama-sama menandakan pada tahun 1291 Marco Polo melawat ke Aceh di mana dikala itu dirinya bekerja untuk Kubalai Khan di Cina. Marco Polo singgah di wilayah Perlak. Di wilayah ini, Marco Polo menemukan jejak atau bekas- bekas peninggalan, setidaknya ada atau pernah ada lima kerajaan kecil di Aceh, yaitu Ferlec (Perlak), Basma (Pasai), Samara (Samudra), Dagroian (Indagiri) dan Lambri (Lamuri).
Ketika itu, Marco Polo berada di suatu tempat yang berjulukan Samara di sebelah utara Perlak, selama lima bulan untuk menunggu hadirnya angin baik untuk berlayar. Di akrab Samara terdapat tempat yang berjulukan Basma (Pasai) yang dipisahkan oleh sebuah aliran sungai, kemudian tempat ini dikenal dengan Samudera Pasai. Marco Polo menyaksikan bahwa penduduk Samudra Pasai dikala itu sudah menganut Islam dan diperintah oleh seorang yang alim. Kenyataan yang disaksikan oleh Marco Polo, dikuatkan oleh bukti bahwa di daerah Samudera Pasai pernah berdiri sebuah kerajaan Islam, yaitu Samudera Pasai.
Menurut Hikayat Raja-raja Pasai dan Sejarah Melayu yang dikutip oleh Yusni Saby, keberadaan Kerajaan Samudra Pasai berpertama dari 1042, dikala hadirnya Meurah Khair (Meurah Giri) keturunanan dari sultan Perlak, yang kemudian mendirikan Kerajaan Samudera Pasai dan menjadi raja pertama dengan gelar Maharaja Mahmud Syah berkuasa hingga tahun 1078. Kerajaan ini kemudian mengalami perkembangan yang lebih signifikan pada masa Sultan Malik Salih atau Malikussaleh (1261-1289), yang mulanya bernama Meurah Silu, tetapi setelah hadirnya ulama Syaikh Isma’il dari Mekkah sekitar tahun 1270-1275, Meurah Silu berganti gelar menjadi Sultan Malik Salih (The Pious King).
Pada saat Kaisar Yung Lo berkuasa di China pada Tahun 1368, pernah mengirim ekspedisi ke Aceh di bawah pimpinan Laksamana Muhammad Cheng Ho, maka antara China dan Aceh terjalin kekerabatan yang baik. Saat itu Aceh diperintah oleh Sultan Zainuddin Malik Zahir Berdaulat (1350-1394). Salah satu hadiah dari Kerajan China untuk Kerajaan Samudera Pasai ialah sebuah lonceng raksasa, Cakra Donya yang hingga kini masih sanggup disaksikan di Banda Aceh. Selain Syaikh Isma’il dari Mekah, Kerajaan Samudera Pasai juga dikunjungi oleh ulama-ulama lain dari Timur Tengah, Persia dan India. Dari India, misalnya, Faqir Ma’abri(Mengir) hadir ke Pasai dalam rangka syiar Islam. Sejak ini, Pasai bermetamorfosis Kerajaan Islam yang populer di tempat Asia Tenggara. Bahkan dalam bidang identitas keislaman, pernah terjalin kekerabatan yang baik antara Kerajaan Pasai, Malaka, Demak dan Blambangan Jawa Timur. Penguasa Malaka, Sultan Mansur Syah pernah meminta kepada ulama Pasai Makhdum Pematakan untuk menandakan isi kitab Durr Manzum, yangd idiberikan kepadanya oleh Maulana Abu Bakr yang hadir ke Malaka. Kemudian sultan juga mengirimMaulana Ishaq, salah seorang ulama Pasai juga dikirim ke Blambangan, Jawa Timur untuk mengembangkan agama Islam. Bahkan ketika Pasai diinvasi oleh Majapahit pertengahan era ke-14, dakwah Islam ke wilayah Nusantara lainnya tidak terhenti karenanya.
Samudra Pasai juga mengirim para dai untuk menyebarluaskan agama Islam ke banyak sekali wilayah di Nusantara dan wilayah Melayu lainnya. Sidi Abdul Aziz diutus ke Malaka,s ehingga Raja Malaka, Parameswara (dari Kerajaan Sriwijaya) memeluk Islam seraya mengganti namanya dengan Megat Iskandar syah dan anaknya dikawinkan dengan putri Sultan Zainal Abidin (1383-1400) dari Samudera Pasai. Para dai Pasai juga hingga di Kedah, sehingga Raja Pra Ang Madan angsa memeluk Islam dan merubah namanyamenjadi Muzlafaz Syah. Sementara untuk wilayah Patani (Thailand), Islam dibawa oleh ulama Pasai yang beranama Syekh Said, dan bukti sejarah yang kini masih sanggup disaksikan ialah adanya Makam Tok Pasai di Patani. Penyebaran Islam ke Brunei dan Filipina Selatan dilakukan oleh ulama Pasai lainnya, masing-masing bernama Syaikh Syarif Kasimdan Syaikh Abubakar.
Fatahillah yang dikenal luas dengan Faletehan atau Sunan Gunung Jati juga ulama kelahiran Pasai sekitar tahun 1490. Sesudah berguru di Tanah Suci, Fatahillah kembali Nusantara dan menuju Banten. Selama di Banten,Fatahillah memmenolong Kerajaan Demak mengalahkan Sunda Kelapa (Kini Tanjung Priok) dan berhasil mendirikan kota Jayakarta (kini Jakarta). Sejak ini, Islam kemudian menjadi lebih berkembang di Jawa. Penyebaran Islam juga hingga di Cirebon yang dilakukan oleh Maulana Ishak, di Gresik oleh Maulana Malik Ibrahim dan di Jawa Timur oleh Sunan Ampel. (Tawarikh Sultan- sultan Kerajaan Aceh. Penulis; M. Yunus Jamil)
Era diberikutnya ialah Kerajaan Aceh Darussalam, yang eksis sekitar lima abad. Catatan sejarah dalam Tawarikh Raja-raja Kerajaan Aceh menginformasikan bahwa, jauhs ebelum adanya dampak Islam di ujung Aceh, sudah berdiri Kerajaan Hindu Indra Purba dengan Lamuri (wilayah yang kini termasuk Aceh Besar) sebagai pusatnya. Sesudah menduduki Kerajaan Indra Jaya antara tahun 1059- 1069, tentara Tiongkok menyerang Kerajaan Indra Purba yang ketika itu diperintah oleh Maharaja Indra Sakti. Kemudian, tentara Tiongkok dikalahkan oleh sekitar 300 orang di bawah pimpinan Syaikh Abdullah Kan’an, yang bergelar syiah Hudan, seorang keturunan Arab Kan’an dari Kerajaan Islam Pureulak.
Atas keberhasilan ini, kemudian Maharaja Indra Sakti dan rakyat Indra Purba menganut Islam, bahkan ia mengawinkan putrinya Blieng Keusuma dengan Muerah Johan yang turut mengusir tentara Tiongkok. Sesudah Maharaja Indra sakti Meninggal, diangkatlah Meurah Johan sebagai Raja Indra Purba dengan gelar Sultan Alaiddin Johan Syah dan nama Kerajaan diubah menjadi Darussalam yang berpusat di Bandar Darussalam, pada hari Jum’at, Bulan Ramadhan 601 H (1205 M).
Teori Islamisasi Aceh
Catatan sejarah yang sebut secara niscaya tahun masuknya Islam ke Aceh memang tidak ditemukan, tetapi petunjuk yang ada sanggup ditelusuri dalam Hikayat Raja-raja Pasai yang ditulis setelah tahun 1350- menyatakan bahwa ada nakhoda Arab bernama Syaikh Ismail sudah berlayar dari Mekah menuju Sumatera sengaja dilakukan dengan maksud untuk menyiarkan Islam. Menurut catatan Mohammad Said misi ini berhasil mengislamkan Meurah Silu, yang kemudian berubah gelar menjadi Sultan Malik as-Salih, Raja Pasai pertama. Sebelum datang di Pasai, rombongan terlebih lampau singgah di Barus, Lamuri dan Perlak untuk mengislamkan penduduk di sana. Di samping itu, salah satu historiografi Aceh menyatakan bahwa nenek moyang para sultan Aceh bernama Syaikh Jamal al-Alam, seorang Arab yang diutus oleh Khalifah Utsman (Khalifah ketiga Khulafaa-ur-Raasyidiin) untuk mengislamkan masyarakat Aceh. Riwayat lain sebut bahwa Islam dibawa ke Aceh sekitar tahun 1111 M oleh seorang Arab bernama Abdullah Arif.
Akan tetapi jauh sebelum itu, para pedagang Arab sudah menjalin kekerabatan perdagangan yang luas dengan bangsa-bangsa di Asia Timur dan Selatan. Sejak era ke-10 hingga ke-15 M, para pedagang Arab menguasai perdagangan di tempat Asia Tenggara dan Asia Timur. Padahal sebelum itu, yaitu pada masa pra Islam atau sebelum kehadiran bangsa Arab ke Asia, perdagangan di tempat Asia Tengah, Selatan dan Tenggara didominasi oleh Cina. Sebelum bangsa Portugis menemukan jalur ke Tanjung Harapan dan Terusan Suez pun belum dibuka, Cina mengeskpor komoditi dagang dari tempat Asia ke Timur Tengah, terutama Mesir sebagai pasar andalan Eropa. Implikasinya ialah bergesernya monopoli imperium Islam di Timur Tengah terhadap pasar Eropa. Hal ini diperparah lagi oleh serbuan dan pendudukan Mesir oleh pasukan Katolik Eropa. Situasi demikian mendorong pedagang muslim Timur Tengah melaksanakan perluasan ke tempat Asia. Mereka kemudian menaklukkan India dan menyerang Cina.
Sesudah Islam masuk India pada selesai era ke- 7 H, sebuah kekuasaan, kerajaan Mughal didirikan di sana. Hubungan dan jalur perdagangan yang sudah dibangun India dengan kerajaan- kerajaan Nusantara tetap dilanjutkan oleh rezim penakluk demi keberlangsungan ekonomi kerajaan. Hal ini berarti bahwa semenjak India ditaklukan, Nusantara sudah bersentuhan eksklusif dan diberinteraksi dengan Islam. Saat itu, salah satu kerajaan yang terpenting dalam perkembangan Islam di Nusantara ialah Kerajaan Lamuri di Aceh. Orang Arab menyebutnya rami, ramni, sedangkan orang Cina menyebutnya lan-li, lan-wu-li, nan-wu-li dan nan-poli. Orang Aceh menyebutnya lammuri, sementara Marco Polo menyebutnya lambri. Kerajaan ini terletak di tempat Sibreh, Aceh Besar (sekarang). Dari sinilah upaya islamisasi Lamuri dilakukan oleh bangsa Arab yang berasal dari Timur Tengah.
Sebelum Lamuri, Kerajaan Perlak yang kini ialah kepingan dari wilayah Aceh Timur, semenjak tahun 1075 M sudah lebih doloe mendapatkan Islam. Bahkan, Bandar Perlak sudah menjadi sebuah pelabuhan yang ramai disinggahi kapal- kapal dagang dari Arab pada era ke-8 M. Sebagian pedagang ini kawin dengan penduduk setempat, sehingga agama Islam yang mereka anut ikut pula tersebar kepada keluarga, kerabat dan masyarakat setempat. Lambat laun, penduduk muslim kian bertambah sehingga pada 1 Muharram 225 H (840 M) Kerajaan Perlak pun berganti nama menjadi Bandar Khalifah, sebagai salah satu upaya masyarakat setempat untuk menghormati dan mengenang jasa rombongan Nakhoda Khalifah yang sudah membuatkan Islam di sana.
Kerajaan- kerajaan Islam di Aceh
1. Kerajaan Perlak
Kerajaan Perlak ialah kerajan pertama di Nusantara atau bahkan Asia Tenggara. Kerajaan ini diproklamirkan berdiri pada hari Selasa, tanggal 1 Muharram tahun 225 H(840 M). Untuk mengenang jasa penyebar Islam pertama di Perlak yaitu seorang Nahkoda Khalifah maka Bandar Perlak diganti namanya menjadi Bandar Khalifah. Raja pertama yang memerintah kerajaan ini ialah Said Maulana Alaiddin Abdul Aziz Syah dan memerintah selama 24 tahun: dari tahun 225-249 H (840- 864 M). Ibukota kerajaan ini ialah Bandar Khalifah (Bandar Perlak).
Masa pemerintahan Islam Perlak berlangsung selama 467 tahun dari tahun 225 H hingga dengan tahun 692 H dengan 13 orang sultan. Kerajaan Islam Perlak lahir bertepatan dengan masa pemerintahan Al- Muktashim Billah, khalifah Abbasiyah terakhir yang memerintah tahun 218-227 H (833-842 M). Sampai pertama era ke-10 tercatat empat orang raja yang memerintah Kerajaan Islam Perlak, yaitu:
1. Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah (225-249 H /840-864 M)
2. Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdurrahim Syah (249-285 H/ 864-888 H)
3. Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abbas Syah (285-300 H / 888-913 H)
4. Sultan Alaiddin Sayid Maulana Ali Mughaiyat Syah (302-305 H/ 915-918 M)
Penobatan Sultan yang keempat tertunda selama tiga tahun lantaran terjadi perperihalan politik antara aliran Syiah dan Ahlussunnah wal Jama’ah (sunni). Para saudagar yang dipimpin Nahkoda Khalifah terdiri atas pemimpin- pemimpin kaum Syiah yang tersingkir oleh penguasa dari dinasti Abbasiyah di Tanah Arab, Persia dan India. Perperihalan politik antara kedua mazhab ini dalam kerajaan Islam dikala itu hingga meluas ke Perlak. Akhirnya, kelompok Ahlussunnah wal Jama’ah berhasil menumbangkan kerajaan Islam Syiah dan menggantikannya dengan kerajaan Ahlussunnah Perlak. Dinasti Makhdum ialah pelanjut dari sultan-sultan dinasti Sayid Maulana yang berjumlah dua belas orang, yaitu:
1. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir Syah Johan Berdaulat, (306- 310 H/ 918- 922M)
2. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Syah Johan Berdaulat (310- 334 H/922-946 M)
3. Sultan Makhdum Alaiddin Abdulmalik Syah Johan Berdaulat (334-361 H(946-973 M)
4. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mansur Syah Johan Berdaulat (402-450 H /1012-1059 M)
5. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mansur Syah Johan Berdaulat (450-470H /1059-1078 M)
6. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdullah Syah Johan Berdaulat (470-501 H (1078-1108 M)
7. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ahmad Syah Johan Berdaulat(501-527 H /1108-1134 M)
8. Sultan Makhdum Alaiddin Mahmud Syah Johan Berdaulat,(527-552 H /1134-1158 M)
9. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Usman Syah JohanBerdaulat, (552-565 H /1158-1170 M)
10. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad SyahJohan Berdaulat (565-592 H /1170-1196 M)
11. Sultan Makhdum Alaiddin Malik AbduljalilSyah Johan Berdaulat (592-622 H /1196-1225 M)
12. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat (622-662 H/1225-1263 M
Dalam masa pemerintahan Sultan Abdul Malik Syah, kaum Syiah kembali melaksanakan perlawanan terhadap sultan dan terjadilah perang saudara selama empat tahun. Akhirnya, perang saudara ini sanggup diakhiri dengan janji damai, yaitu kerajaan Islam Perlak dibagi menjadi dua. Perlak pesisir untuk golongan Syiah dengan ibukota Bandar Perlak. Perlak pedalaman untuk golongan Ahlussunnah (sunni) dengan ibukota Bandar Khalifah. Pembagian wilayah kekuasaan ini mengakhiri perang saudara yang terjadi diantara dua idiologi politik yang saling menghipnotis peta politik dunia Islam. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Syah IItidak mempunyai putera mahkota, namun dibalik itu terjadi insiden penting dari sisi politis yaitu dilangsungkannya perkawinan dua orang puterinya dengan dua orang raja. Puteri Ratna Kemala dikawinkan dengan Parameswara, salah seorang Raja Malaka, yang menggantikan namanya dengan Iskandarsyah sesudah memeluk Islam. melaluiataubersamaini menolongan iparnya Malik Abdul Azis Syah (putera mahkota Malik Muhammad Amin Syah II), sultan berjihad mengembangkan Ajaran Islam ke seluruh daratan Semenanjung Tanah Melayu. SementaraPuteri Ganggang Sari dinikahkan dengan Sultan Malikussalih yang memerintah kerajaan Islam Samudera Pasai dari tahun 659- 688 H (1261-1289 M). Faktor perkawinan ini mengakibatkan lancarnya penyatuan Kerajaan Islam Perlak ke dalam Kerajaan Islam Samudera Pasai.
2. Kerajaan Samudera Pasai
Kerajaan Islam Samudera Pasai ialah Kerajaan Islam terbesar dan termegah di AsiaTenggara pada era ke-13. Kerajaan ini terletak di daerah Aceh Utara, di pesisir timur maritim Aceh. Kemunculannya sebagai kerajaan Islam diperkirakan mulai pertama atau pertengahan era ke 13 M, sebagai hasil dari proses islamisasi daerah- daerah pantai yang pernah disinggahi pedagang-pedagang muslim semenjak era ke-7, ke-8 M, dan seterusnya.
Sebelumberdirinya Kerajaan Islam Samudera Pasai, di daerah ini sudah berdiri kerajaan-kerajaan kecil yang dipimpin oleh raja- raja yang bergelar ”Meurah”. Gelar Meurah Cut Intan misalnya, ialah hero Aceh dari negeri- negeri kecil menyerupai Jeumpa, Samudera, Tanoh Data, dan lain-lain.
Bukti berdirinya kerajaan Samudera Pasai pada era ke-13 M itu didukung oleh adanya nisan kuburan terbuat dari granit asal Samudera Pasai. Dari nisan itu sanggup diketahui bahwa raja pertama kerajaan itu meninggal pada bulan Ramadhan tahun 696 H, yang diperkirakan bertepatan dengan tahun 1297 M. Pembentukan kerajaan Islam Samudera Pasai dipertamai dengan kehadiran seorang pembaharu Islam ke wilayah itu pada tahun 433 H (1042 M). Meurah Khair hadir ketanoh Data (di sekitar Cot Girek sekarang) untuk memperkenalkan sistem pemerintahan Islam ke raja Samudera. Meurah Khair, sang pembaharu, berasal dari keluarga Sultan Mahmud Perlak. Ia hadir dengan dua tujuan sekaligus yaitu untuk mendakwah Islam dan membangun Kerajaan Islam Samudera Pasai. Akhirnya tujuan in tercapai dan ia menjadi raja pertama yang bergelar Maharaja Mahmud Syah, ia juga didiberi gelar lokal yaitu, Meurah Giri. Masa pemerintahannya dumulai dari tahun 433 H hingga dengan tahun 470 H (1042-1078 M)
Berikut ialah daftar raja-raja kerajaan Samudera Pasai:
1. Maharaja MahmudSyah (Meurah Giri), 433-470 H (1042-1078 M)
2. Maharaja Mansur Syah, 470-527 H (1078-1113 M)
3. Maharaja Khiyassyudin Syah, 527-550 H (1113-1155 M)
4. Maharaja Nurdin Sultan al-Kamil, 550-607 H (1155-1210 M)
5. Sultan Malikussalih, 659-688 H (659-688 H(1261-1289 M)
6. Sultan Muhammad Malikul Dhahir, 688-725 H (1289-1326 M)
7. Sultan Ahmad Malikul Dhahir, 725-750 H (1326-1350 M)
8. Sultan Zainuddin Malikul Az-Zahir,750-796 H (1350-1394 M)
9. Sultan Zainal Abidin, 1383-1400 H
10. Malikah Nihrasiyah Rawangsa Khadiyu, 801-831 H (1400-1427 M)
Sementara berdasarkan legalisasi sarjana-sarjana Barat, Malik as-Saleh ialah pendiri kerajaan tersebut. Hal itu diketahui melalui tradisi Hikayat Raja-raja Pasai, Hikayat Melayu dan juga hasil penelitian atas beberapa sumber yang dilakukan sarjana-sarjana Barat, khususnya para sarjana Belanda, menyerupai Snouck Hurgronye, J.P. Molquette,J.L. Moens, J. Hushoff Poll, G.P. Rouffacr, H.KJ. Cowan, dan lain-lain.
Dari segi politik, munculnya kerajaan Samudera Pasai era ke-13 M itu sejalan dengan suramnya peranan maritim kerajaan Sriwijaya, yang sebelumnya memegang peranan penting di tempat Sumatera dan sekelilingnya. Dalam Hikayat Raja-raja Pasai disebutkan, gelar Malik al- Saleh sebelum menjadi raja ialah berjulukan Meurah Silu atau Merah Silu. Ia masuk Islam berkat pertemuannya dengan Syekh Ismail, seorang utusan Syarif Mekah, yang kemudian memdiberinya gelar Sultan Malik al-Saleh. Nisan kuburan itu didapatkan diGampong Samudera bekas kerajaan Samudera Pasai tersebut. Meurah Selu ialah puteraMerah Gajah. Nama Merah ialah gelar darah biru yang lazim di Sumatera Utara. Selu kemungkinan berasal dari kata sungkala yang aslinya berasal dari Sanskrit Chula (wilayah Thailand).
Dari hikayat itu terdapat petunjuk bahwa tempat pertama sebagai sentra kerajaan Samudera Pasai adalahMuara Sungai Peusangan, sebuah sungai yang cukup panjang dan lebar di sepanjang jalur pantai yang megampangkan parahu- bahtera dan kapal-kapal mengayuhkan dayungnya ke pedalaman dan sebaliknya. Ada dua kota yang terletak berseberangan di muara sungai peusangan yaitu, Pasai dan Samudera. Kota Samudera terletak agak lebih ke pedalaman, sedangkan kota Pasai terletak lebih ke muara. Di tempat yang terakhir inilah terletak beberapa makam raja-raja. Pendapat bahwa Islam sudah berkembang di sana semenjak pertama era ke-13 M, didukung oleh diberita Cina dan pendapat Ibn Batutah, seorang pengembara populer asal Maroko, yang pada pertengahan era ke-14 M (tahun 746H/1345 M) mengunjungi Samudera Pasai dalam perjalanannya dari Delhi ke Cina. Ketika itu Samudera Pasai diperintah oleh Sultan Malik al-Zahir, putera Sultan Malik al-Saleh. Menurut sumber-sumber Cina, pada pertama tahun1282 M kerajaan kecil Sa-mu-ta-la (Samudera) mengirimkan duta- dutanya ke kerajaan Cina dengan nama- nama muslim yakni Husein dan Sulaiman.
Ibnu Batutah juga menyatakan bahwa Islam sudah hampir seabad lamanya disiarkan di Samudera Pasai. Ia meriwayatkan kesalehan, kerendahan hati dan semangat keagamaan rajanya yang menyerupai rakyat nya mengikuti mazhab Imam Syafi’i.
Berdasarkan diberitanya pula, kerajaan Samudera Pasai ketika itu ialah sentra studi agama Islam dan tempat berkumpulnya para ulama dari banyak sekali negeri Islam untuk berdiskusi banyak sekali duduk perkara keagamaan dan keduniaan. Dalam kehidupan perekonomiannya, kerajaan maritim ini, tidak mempunyai basis agraris. Basis perekonomiannya ialah perdagangan dan pelayaran. Pengawasan terhadap perdagangan dan pelayaran itu ialah sendi-sendi kekuasaan yang memungkinkankerajaan memperoleh penghasilan dan pajak yang besar. Tome Pires menceritakan, di Pasai ada mata uang dirham. Dikatakannya pula bahwa setiap kapal yang membawa barang- barang dari Barat dikenakan pajak 6%.
Mata uang dirham dari Samudera Pasai tersebut pernah diteliti oleh H.K.J Cowanuntuk menunjukkan bukti- bukti sejarah raja- raja Pasai. Mata uang tersebut memakai nama- nama Sultan Alauddin, Sultan Manshur Malik al-Zahir, Sultan Abu Zaid dan Abdullah, pada tahun 1973 M, ditemukan lagi 11 mata uang dirham di antaranya bertuliskan nama Sultan Muhammad Malik al-Zahir, Sultan Ahmad, Sultan Abdullah,tiruananya ialah raja-raja Samudera Pasai pada era ke-14 M dan 15 M.
Atas dasar mata uang emas yang ditemukan itu, sanggup diketahui nama-nama raja dan urutan pemerintahannya sebagai diberikut:
1. Sultan Malik al-Saleh yang memerintah hingga pada tahun 1207M,
2. Muhammad Malik al-Zahir (1297-1326 M)
3. Mahmud Malik al-zahir (1326-1345M)
4. Manshur Malik al-Zahir (1345-1346 M)
5. Ahmad Malik alZahir (1346-1383 M)
6. Zainal-Abidin Malik al-Zahir (1383-1405 M)
7. Nahrasiyah (1402- ? )
8. Abu Zaid Malik al-Zahir(7-1455 M)
9. Mahmud Malikal Zahir (1455-1477 M)
10. Zain al-Abidin (1477-1500 M)
11. Abdullah Malik al-Zahir (1501-1513 M)
12. Sultan yang terakhir ialah Zain al-Abidin (1513-1524 M).
Kerajaan Samudera Pasai berlangsung hingga tahun 1524 M. Pada tahun 1521 M, kerajaan ini ditaklukan oleh portugis yang mendudukinya selama tiga tahun, kemudian tahun 1524 M diambil alih oleh raja Aceh, Ali Mughayat Shah. Selanjutnya, kerajaan Samudera Pasai berada di bawah dampak kesultanan Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam.
Dalam masa pemerintahan Sultan Muhammad Malikul Dhahir (688-725 H)dibentuklah suatu konfederasi kerajaan- kerajaan Islam yang terdiri atas Kerajaan Islam Perlak, Kerajaan Islam Beunua (Tamiang) dan kerajaan Islam Samudera Pasai. Ibnu Batutah pernah berkunjung ke kerajaan Pasai dan menuliskan catatan bahwa Kerajaan Samudera Pasai diperintah oleh seorang raja yang sangat alim dan salih. Kerajaan ini ramai dikunjungi oleh pera pedagang dari banyak sekali penjuru dunia dikala itu untuk keperluan berdagang dan menuntut ilmu agama Islam.
3. Kerajaan Islam Tamiang
Kerajaan Islam Tamiang pada asalnya berjulukan Negeri Beunua/ Benua. Asal permintaan Negeri Benua ialah Pulau Kampai di Pangkalansusu (Langkat- Sumatera Utara). Di tahun 580 H (1184 M) satu rombongan masyarakat yang berasal dari negeri Peunaroon (Tanah Alas) yang dipimpin oleh Panglima Pucook Sulooh membuka daerah gres yang didiberi nama ”Batu Karang”. Para Penhadir ini berasal dari Tanah Alas. Mereka penganut Islam yang sudah lama menetap di Perlak. Pucook Sulooh meninggal dunia pada tahun 609 H (1212 M).Anaknya yang bernama Raja Sepala mewariskan Kerajaan negeri Tamiang. Kemudian diwariskan kepadaRaja Pahdiwangsa dan selanjutnya oleh Raja Dinok. Sesudah Raja Dinok mangkat, negeri Tamiang diwariskan kepada puteranya yang bernama Raja Malas.
Selanjutnya Tamiang diperintah oleh Raja Kelabu Tunggal. Sesudah raja ini mangkat, dilanjutkan oleh Raja Peundekar. Kemudian raja ini mengangkat menantunya yang bernama Proom Syah menjadi raja. Dari keturunan raja ini Tamiang diperintah secara terus menerus hingga ia digantikan oleh Raja Muhammad yang digelar Raja Silang. Selanjutnya negeri ini diperintah oleh Raja Muda Seudia Putera dari seorang panglimayang berjulukan Makhdum Sa’ad. Dari keturunan raja Muda Seudia ini yang memerintah Tamiang secara turun temurun hingga ke masa terakhir pemerintahan kerajaan ini diperintah oleh Tengku Raja Sulong bin Raja Habsyah bin Raja Ma’an.
Kerajaan Tamiang ialah kerajaan Islam terbesar ketiga di Aceh, wilayah kekuasaannya mencakup beberapa aspek sebagian wilayah timur kerajaan Deli. Selanjutnya kerajaan Islam Tamiang masuk ke dalam Kerajaan Aceh Darussalam yang ialah konfederasi dari kerajaan Islam Aceh lainnya.
Daftar Pustaka
#Aboebakar Atjeh, ”Tentang Nama Aceh” dalam Ismail Suny (Ed.), Bunga Rampai Tentang Aceh, Bharata Karya Aksara,Jakarta, 1980.
#Al-Chaidar, Gerakan Aceh Merdeka: Jihad Rakyat Aceh Mewujudkan Negara Islam,Madani Press, Jakarta, 1999.
#Ali Hasjmy, 50 Tahun Aceh Membangun, Majelis Ulama Indonesia Daerah spesial Aceh berhubungan denganPemerintah Daerah spesial Aceh, Banda Aceh, 1995.
#Ali Hasjmy, Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah, Penerbit Beuna, Jakarta, 1983.
#Ali Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Al-Ma’arif, Bandung, 1981.
#Azyumardi Azra, Jaenteng Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara XVI: dan XVIII,
Mizan, Bandung, 1994.
#C.S. Hurgronje, Islam di Hindia Belanda, Bharatara, Jakarta, 1973, h. 17.
#Djoko Suryo, dkk., Agama dan Peribahan Sosial,LKPSM, Yogyakarta, 2001.
#Edwin M. Loeb, Sumatra: Its History and People, Oxpord University Press, New York, 1972.
#Gavin W. Jones, “Agama-agama di Indonesia: Sejarah dan Perkembangannya”, dalam seri Prisma II, Agama danTantangan Zaman, LP3ES, Jakarta, 1985.
#H.J.De Graaf, ”Islam di Asia Tenggara hingga Abad ke 18” dalam Azyumardi Azra (Ed.)
Perspektif Islam di AsiaTenggara, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1989.
#Hamzah Yunus, “Bandingan terhadap Sejarah Pemerintahan selama Berdiri Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh” dalam Sinar Darussalam No. 94-95. YPD Unsyiah IAIN Ar-Raniry 1978.
#M. Hasbi Amiruddin (Ed.), Aceh Serambi Mekkah,Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh 2008
#HM. Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara, Pustaka Iskandar Muda, Medan.
#Mahyuddin Hj. Yahya dan A.J. Halimi, Sejarah Islam, Fajar Bakti Sdn. Bhd, Kuala Lumpur, tt.
#Marwati Djoened Poeponegoro dan Noegroho Nosusanto (Ed). Sejarah Nasional Indonesia II
,Balai Pustaka, Jakarta,1984.
#Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Waspada; Medan, 1981.Muhammad brahim dan Rusdi Sufi, ”Proses Islamisasi dan Munculnya Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh, dalam A.Hasjmy (peny.)Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Al-Ma’arif, Bandung, 1989.
#Muhammad Junus Djamil, Gerak Kebangkitan Aceh, ttp., 2005.Muhammad Syamsu As, Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya, Lentera Basritama, Jakarta, 1999.
#Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Grafiti Pres, Jakarta, 2005.
#Raden Hoesein Djajadiningrat, alih bahasa Teuku Hamid, Kesultanan Aceh, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Pengembangan Permeseuman Daerah Istimewa, Banda Aceh 1982/1983.
#Sir Richard Winstedt, A. History of Classical Malay Literature, Oxford University Press, London, 1969.
#Sri Suyanta, Pola Hubungan ulama dan Umara: Pasang Surut Peran Ulama Aceh, Disertasi UIN Syarif Hidayatullah,Jakarta, 2005.
#Taufik Abdullah (Ed.), Sejarah Umat Islam Indonesia, MUI, Jakarta, 1991.
#Thomas Arnold, The Spread of Islam in The World: A. History of Peaceful Preaching, Goodword Books, India, 2001.
#Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1992.
#Tuanku Abdul Jalil, ”Kerajaan Islam Perlak Poros Aceh-Demak-Ternate” dalam A. Hasjmy (peny.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Al-Ma’arif, Bandung, 1993.
#Tuanku Abdul Jalil, Adat Meukuta Alam, Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, Banda Aceh 1991.
#Uka Tjandrasasmita, ”Proses Kehadiran Islam dan Munculnya Kerajaan-kerajaan Islam do Aceh” dalam A. Hasjmy(peny.) Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Al-Ma’arif, Bandung, 1993.
#Uka Tjandrasasmita (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia III, PN Balai Pustaka, Jakarta, 1984.
#V.I. Braginsky, Sejarah Sastra Melayu Dalam ’Abad 7-19(Terjemahan), Henri Setiawan, INIS, Jakarta, 1998.
#Wan Hussein Azmi, ”Islam di Aceh, Masuk dan Berkembangnya Hingga Abad XVI” dalam A. Hasjmy (peny.), Sejarahdan Berkembangnya Islam di Indonesia Al-ma’arif, Bandung, 1993.
#Yusny Saby, ”The Ulama in Aceh: A Brief Historical Survey” dalam Studia Islamika: Indonesia Journal For IslamicStudies, Vol. 8 Number 1, Jakarta, 2001.
#Zakaria Ahmad, Sekitar Keradjaan Atjeh dalam TH 1520-1675 Monora, Medan, 1972.
#http://www.facebook.com/notes/nazarullah/kerajaan-islam-tamiang-kerajaan-islam-terbesar-ketiga-di-aceh-walaupun-sedikit-s/120376608067966
0 Response to "Sejarah Lengkap Masuknya Islam Ke Aceh Dan Teorinya"
Posting Komentar