Demokrasi Liberal Dan Anti Substansialisme
DEMOKRASI LIBERAL DAN ANTI SUBSTANSIALISME
Oleh: Dr. Donny Gahral Adian
(Pengajar Filsafat Politik dan Hukum Universitas Indonesia)
Liberalisme sebagai gagasan terdiri atas dua tingkat yang saling berhubungan. Pada tingkat pertama, liberalisme yakni sekumpulan prinsip filosofis yang mengatur soal kesetaraan, kebebasan, individualitas dan rasionalitas. Liberalisme mengatur bahwa seseorang tidak secara kodrati lebih rendah dibanding orang lain. Setiap orang, bagi liberalisme, mempunyai peluang yang sama untuk mengaksentuasi talenta dan kecakapannya. Di sini liberalisme tidak menginginkan kesamaan hasil melainkan peluang. Dua orang didiberi peluang sama berdagang di pasar. Kesuksesan keduanya tergantung pada jerih payah dan kerja keras masing-masing, bukan status sosial yang disandang. Liberalisme menegaskan betapa setiap orang yakni otonom dalam artian mempunyai kapasitas untuk menimbang dan memutuskan secara independen. Oleh lantaran itu, setiap orang dihentikan dijadikan alat bagi tujuan orang atau kelompok lain, tiruanlia apa pun tujuan tersebut. Individu menlampaui komunitas. Komunitas tak lain yakni agregat individu dengan berguaka kepentingan dan keinginan. Terakhir, liberalisme menetapkan bahwa setiap klaim yang diajukan di ruang publik wajib diperiksa secara kritis dan imparsial. Sikap individu terhadap asuransi sosial harus sanggup diperdebatkan secara terbuka apabila perilaku tersebut ingin dilegalisir menjadi undang-undang.
Di atas tingkat filsafat, liberalisme menghuni tingkatan yang lebih mudah berjulukan politik. Pada tingkat politik, liberalisme sanggup dipahami dalam tiga prinsip utama. Pertama, pemisahan negara dan masyarakat sipil. Pemisahan ini bertujuan menjaga negara untuk tidak campur tangan terlalu jauh pada urusan masyarakatnya. Negara spesialuntuk berfungsi meregulasi dan memfasilitasi interaksi sosial. Itu dilakukan dengan, misalnya, menyediakan masukana telekomunikasi. Negara, namun demikian, tidak sanggup memilih isi pembicaraan antar wargguagaranya. Kedua, supremasi hukum. Supremasi aturan didesain untuk memastikan bahwa setiap tindak tanduk negara tidak semena-mena dengan senantiasa berkoridorkan aturan yang tak berpihak. Keputusan negara mengambil alih lahan masyarakatnya bukan perampasan lantaran sesuai dengan aturan yang mengatur “apropriasi milik eksklusif untuk kepentingan umum”. Ketiga, parlementarianisme. Parlementarianisme singkatnya yakni pemerintahan dengan dan melalui diskusi Esensi parlementarianisme yakni konfrontasi antara gagasan dan opini untuk mendapat kebijakan yang imparsial. Parlemen yakni ruang daerah aneka macam gagasan dan opini bertemu dan diperdebatkan. Semua itu dimaksudkan untuk mencegah satu gagasan dari kelompok mayoritas serta-merta menjadi kebijakan.
Pada tiga tingkatan di atas, demokrasi dan liberalisme bertemu dan bersenyawa. Namun, tidak tiruana filsuf politik baiklah dengan persenyawaan antara demokrasi dan liberalisme. Carl Schmitt, misalnya, menerangkan betapa demokrasi dengan liberalisme bersama-sama tak sanggup dipertemukan. Schmitt mulai dengan gagasan wacana kesetaraan. Kesetaran liberal yakni kesetaran formal. Kesetaran formal memperlakukan tiruana orang secara sama dengan tolok ukur kemanusiaan universal. Semua orang, selama disebut manusia, mempunyai peluang yang sama untuk mengembangkan talenta dan kecakapannya. Status seseorang tidak didiberikan saat lahir melainkan dicapai dengan kerja keras pribadinya. Demokrasi, sebaliknya, tidak menganut kesetaran formal melainkan substantif. Kesetaran substantif memutar ulang konsep keadilan usang dari Aristoteles: “yang sama diperlakukan sama, yang tidak sama diperlakukan lain”. Demos yakni konsep yang berpagar. Kesetaran spesialuntuk berlaku pada demos sebagai yang terbatas. Demos diukur berdasarkan partisipasinya terhadap substansi politik yang sama. Mereka yang tidak menyebarkan substansi politik yang sama yakni non-demos sehingga boleh diperlakukan tidak sama. Demokrasi berkerja dengan gagasan homogenitas, bukan heterogenitas. Bagi Schmitt, prinsip homogenitas ditemukan dalam filsafat kontrak Rousseau. Dalam filsafat Rousseau, heterogenitas kepentingan dan harapan tidak akan menghasilkan kontrak apa pun jikalau tidak ada gagasan wacana kebaikan umum alias homogenitas.
Tiga prinsip demokrasi liberal (non intervensi, supremasi aturan dan parlementarianisme) bertolak belakang dengan dua fenomena historis yakni: demokrasi massa dan ekonomi industrial. Kombinasi politik antara demokrasi massa dan ekonomi industrial sudah menyendera negara. Negara disandera oleh aneka macam kepentingan mulai dari sosial, budaya hingga ekonomi. melaluiataubersamaini demikian, negara pun tidak sanggup menjadi sekadar regulator bagi aneka macam urusan publik. Negara dipaksa untuk mengambil tugas lebih besar dalam manajemen sosial mulai dari soal investasi, infrastruktur, kesejahteraan sosial dan pendidikan. Lebih dari itu, tersanderanya negara oleh kekuatan sipil juga merusak prinsip supremasi hukum. Negara tidak lagi mengambil kebijakan berdasarkan norma universal melainkan tekanan kelompok sosial. Negara, misalnya, tidak memperjuangkan asuransi sosial bagi tiruana wargguagara berdasarkan tekanan perusahaan asuransi swasta. Negara juga mengeluarkan surat keputusan bersama yang melarang aktivitas organisasi keagamaan tertentu atas seruan kelompok mayoritas.
Demokrasi massa dan ekonomi industrial yakni anatema bagi liberalisme. Demokrasi massa sudah menggantikan debat rasional di ruang publik dengan kehendak umum yang homogen. Dalam kasus pelanggaran hak berkeyakinan, debat rasional sudah digantikan oleh kehendak umum alias bunyi mayoritas. Di sisi lain, kompleksitas masyarakat industrial sudah melumpuhkan fundamen bagi kehendak umum. Diferensiasi fungsional dalam masyarakat industrial sudah mendorong lahirnya pluralisme kognitif dan moral. Individu tidak saja menghendaki barang yang sangat bervariasi dan konfliktual. Mereka juga sering mengadopsi jenis rasionalitas yang tidak sama dari satu konteks ke konteks lainnya. Perusahaan penambang bekerja dengan budi akumulasi modal, sementara masyarakat setempat berpikir wacana lingkungan yang berkelanjutan. Artinya, dalam situasi demikian tidak ada distributor kolektif berjulukan rakyat yang mempunyai kehendak umum dan bulat. Apa yang terjadi yakni sebaliknya. Negara dikendalikan oleh kelompok elit dan diam-diam yang bekerja membentuk kehendak umum melalui propaganda, pendidikan dan manipulasi yang terorganisir. Parlemen bukan daerah mendiskusikan aneka macam urusan publik. Melainkan, itu sekadar kepantidakboleh tangan dari keputusan-keputusan yang dibentuk di sekretariat koalisi. Semua itu menandakan betapa ideal-ideal demokrasi liberal (supremasi hukum, non intervensi dan parlementarisme) dihancurkan dari dalam demokrasi itu sendiri.
Carl Schmitt juga menuduh demokrasi liberal tidak mempunyai kosakata untuk membicarakan “politikal”. Politik dalam konsep Schmitt “politikal” bukan diskusi melainkan keputusan. Keputusan politik bukan sesuatu yang disandarkan pada aturan yang tak berpihak melainkan situasi eksistensial kasatmata wacana siapa musuh dan bagaimana menghadapinya. Politik, singkatnya, bersandar pada budi lawan/kawan. Logika ini menempatkan pada domain yang tidak sama dengan ekonomi (mitra dagang/lawan dagang), etika (baik/jahat) dan estetika (indah/buruk). Liberalisme, berdasarkan Schmitt, sudah mencampuradukan budi politik dengan budi ekonomi. Konfrontasi eksistensial pun berganti menjadi perundingan untuk mencapai titik kesepakatan. ***
Makalah dibawakan pada Diskusi “Demokrasi Liberal dan Anti Substansialisme” yang diadakan oleh Jimly School of Law & Government dan Institut Peradaban di Gedung 1 Lt. 3 Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Jakarta, Rabu 27 Juli 2011
0 Response to "Demokrasi Liberal Dan Anti Substansialisme"
Posting Komentar