Sejarah Dan Problematika Aturan Pidana Materil Di Indonesia

Sejarah dan Problematika Hukum Pidana Materiel di Indonesia Oleh: Ahmad Bahiej[1]
Abstrak
  Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang masih diberlakukan di Indonesia ketika ini ialah salah satu dari sekian ratus peraturan aturan warisan kolonial Belanda. kitab undang-undang hukum pidana ini mulai diberlakukan secara resmi di Indonesia semenjak tanggal 1 Januari 1918. Namun sebelum kitab undang-undang hukum pidana itu diberlakukan bergotong-royong bangsa Indonesia sudah mengenal aturan aturan pidana dalam kehidupan aturan adatnya. Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) yang pernah menduduki Indonesia pada tahun 1602-1799 dan masa kolonial sebelum 1918 pun pernah memberlakukan aturan pidananya. Perjalanan historis aturan pidana materiel di Indonesia tersebut membawa dinamika dan problematika tersendiri yang diharapkan sanggup dijadiklan pijakan dalam pembaharuan aturan pidana materiel ketika ini.
Kata kunci:      KUHP, sejarah KUHP, problematika aturan pidana
A. Penlampauan
  Sebagai aturan yang bersifat publik, aturan pidana menemukan arti pentingnya dalam wacana aturan di Indonesia. Bagaimana tidak, di dalam aturan pidana itu terkandung aturan-aturan yang menentukan perbuatanperbuatan yang dihentikan dilakukan dengan disertai bahaya berupa pidana (nestapa) dan menentukan syarat-syarat pidana sanggup dijatuhkan.[2] Sifat publik yang dimiliki aturan pidana menjadikan konsekuensi bahwa aturan pidana itu bersifat nasional. melaluiataubersamaini demikian, maka aturan pidana Indonesia diberlakukan ke seluruh wilayah negara Indonesia.
  Di samping itu, mengingat materi aturan pidana yang sarat dengan nilai-nilai kemanusian mengakibatkan aturan pidana seringkali digambarkan sebagai pedang yang bermata dua. Satu sisi aturan pidana bertujuan menegakkan nilai kemanusiaan, namun di sisi yang lain penegakan aturan pidana justru mempersembahkan hukuman kenestapaan bagi insan yang melanggarnya. Oleh lantaran itulah kemudian pembahasan terkena materi aturan pidana dilakukan dengan ekstra hati-hati, yaitu dengan memperhatikan konteks masyarakat di mana aturan pidana itu diberlakukan dan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang beradab.
  Persoalan kesesuaian antara aturan pidana dengan masyarakat di mana aturan pidana tersebut diberlakukan menjadi salah satu prasyarat baik atau tidaknya aturan pidana. Artinya, aturan pidana dianggap baik jikalau memenuhi dan berkesesuaian dengan nilai-nilai yang dimiliki masyarakat. Sebaliknya, aturan pidana dianggap jelek jikalau sudah lama dan tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam masyarakat.
  Untuk menyongsong pembaharuan aturan pidana materiel
Indonesia (RUU KUHP), artikel ini akan menyoroti sejarah perjalanan aturan pidana Indonesia (KUHP) dari masa ke masa. melaluiataubersamaini sorotan historis semacam ini, diharapkan beberapa problematika yang muncul selama berlakunya kitab undang-undang hukum pidana (baca: Wetboek van Strafrecht) sanggup tercover dan menjadi materi pijakan bagi pembaharuan aturan pidana materiel Indonesia.
B. Sejarah Pemberlakuan Hukum Pidana di Indonesia
1.         Masa Sebelum Penjajahan Belanda
Sebelum kehadiran bangsa Belanda yang dimulai oleh Vasco da Gamma pada tahun 1596, orang Indonesia sudah mengenal dan memberlakukan aturan pidana adat. Hukum pidana adat yang secara umum dikuasai tidak tertulis ini bersifat lokal, dalam arti spesialuntuk diberlakukan di wilayah adat tertentu.
Hukum adat tidak mengenal adanya pemisahan yang tajam antara aturan pidana dengan aturan perdata (privaat).[3] Pemisahan yang tegas antara aturan perdata yang bersifat privat dan aturan pidana yang bersifat publik bersumber dari sistem Eropa yang kemudian berkembang di Indonesia.[4] Dalam ketentuannya, kasus dalam kehidupan sehari-hari masyarakat adat ditentukan oleh aturan-aturan yang diwariskan secara bebuyutan dan bercampur menjadi satu. 
Di beberapa wilayah tertentu, aturan adat sangat kental dengan agama yang dijadikan agama resmi atau secara secara umum dikuasai dianut oleh masyarakatnya. Sebagai contoh, aturan pidana adat Aceh, Palembang, dan Ujung Pandang yang sangat kental dengan nilai-nilai aturan Islamnya.
Begitu juga aturan pidana adat Bali yang sangat terpengaruh oleh ajaranajaran Hindu.[5] 
Di samping aturan pidana adat mengalami persentuhan dengan agama yang dipeluk oleh secara umum dikuasai penduduk, karakteristik lainnya ialah bahwa pada umumnya aturan pidana adat tidak berwujud dalam sebuah peraturan yang tertulis. Aturan-aturan terkena aturan pidana ini dijaga secara bebuyutan melalui cerita, perbincangan, dan adakala pelaksanaan aturan pidana di wilayah yang bersangkutan. Namun, di beberapa wilayah adat di Nusantara, aturan adat yang terjaga ini sudah diwujudkan dalam bentuk tulisan, sehingga sanggup dibaca oleh khalayak umum. Sebagai pola dikenal adanya Kitab Kuntara Raja Niti yang meliputi aturan adat Lampung, Simbur Tjahaja yang meliputi aturan pidana adat Sumatera Selatan,[6] dan Kitab Adigama yang meliputi aturan pidana adat
Bali.[7] 
2.         Masa Sesudah Kehadiran Penjajahan Belanda
a. Masa Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) Tahun 1602-
1799
Masa pemberlakuan aturan pidana Barat dimulai sehabis bangsa Belanda hadir ke wilayah Nusantara, yaitu ditandai dengan diberlakukannya beberapa peraturan pidana oleh VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). VOC bergotong-royong ialah kongsi dagang Belanda yang didiberikan “kekuasaaan wilayah” di Nusantara oleh pemerintah Belanda. Hak keistimewaan VOC berbentuk hak octrooi Staten General yang meliputi monopoli pelayaran dan perdagangan, mengumumkan perang, mengadakan perdamaian dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara, dan mencetak uang. Pemdiberian hak demikian mempersembahkan konsekuensi bahwa VOC memperluas dareah jajahannya di kepulauan Nusantara. Dalam usaspesialuntuk untuk memperbesar keuntungan, VOC memaksakan aturanaturan yang dibawanya dari Eropa untuk ditaati orang-orang pribumi.
Setiap peraturan yang dibuat VOC diumumkan dalam bentuk plakaat, tetapi pengumuman itu tidak tidak disimpan dalam arsip. Sesudah diumumkan, plakaat peraturan itu kemudian dilepas tanpa disimpan sehingga tidak sanggup diketahui peraturan mana yang masih berlaku dan yang sudah tidak berlaku lagi. Keadaan demikian mengakibatkan keinginan VOC untuk mengumpulkan kembali peraturan-peraturan itu. Kumpulan peraturan-peraturan itu disebut sebagai Statuten van Batavia (Statuta Betawi) yang dibuat pada tahun 1642.[8]
Pada tahun 1766 Statuta Batavia itu dibuat kembali dan dihasilkan Statuta Batavia Baru. Statuta itu berlaku sebagai aturan positif baik bagi orang pribumi maupun bagi orang asing, dengan mempunyai kekuatan aturan yang sama dengan peraturan-peraturan lain. Walaupun statuta tersebut meliputi kumpulan peraturan-peraturan, namun belum sanggup disebut sebagai kodifikasi aturan lantaran belum tersusun secara sistematis.
Dalam perkembangannya, salah seorang gubernur jenderal VOC, yaitu Pieter Both juga didiberikan kewenangan untuk memutuskan kasus pidana yang terjadi di peradilan-peradilan adat.[9] Alasan VOC mencampuri urusan peradilan pidana adat ini disebabkan beberapa hal, antara lain: i) sistem pemidanaan yang dikenal dalam aturan pidana adat tidak memadai untuk sanggup memaksakan kepada penduduknya semoga mentaati peraturanperaturan; ii) sistem peradilan pidana adat terkadang tidak bisa menuntaskan kasus pidana yang terjadi lantaran permasalahan alat bukti; dan iii) adanya perbedaan pemahaman terkena kejahatan dan pelanggaran antara aturan pidana adat dengan aturan pidana yang dibawa VOC. Sebagai pola ialah suatu perbuatan yang berdasarkan aturan pidana adat bukanlah dianggap sebagai kejahatan, namun berdasarkan pendapat VOC perbuatan tersebut dianggap kejahatan, sehingga perlu dipidana yang setimpal.9
Bentuk campur tangan VOC dalam aturan pidana adat ialah terbentuknya Pepakem Cirebon yang dipakai para hakim dalam peradilan pidana adat. Pepakem Cirebon itu meliputi antara lain terkena sistem pemidanaan ibarat pemukulan, cap bakar, dirantai, dan lain sebagainya. Pada tahun 1750 VOC juga menghimpun dan mengeluarkan Kitab Hukum Muchtaraer yang meliputi himpunan aturan pidana Islam.10
Pada tanggal 31 Desember 1799, Vereenigde Oost Indische Compagnie dibubarkan oleh pemerintah Belanda dan pendudukan wilayah Nusantara digantikan oleh Inggris. Gubernur Jenderal Raflles yang dianggap sebagai gubernur jenderal terbesar dalam sejarah koloni Inggris di Nusantara tidak mengadakan perubahan-perubahan terhadap aturan yang sudah berlaku. Dia bahkan dianggap sangat menghormati aturan adat. b. Masa Besluiten Regering (Tahun 1814-1855)
Sesudah Inggris meninggalkan Nusantara pada tahun 1810, Belanda menduduki kembali wilayah Nusantara. Pada masa ini, peraturan terhadap koloni diserahkan kepada raja sepenuhnya sebagai penguasa mutlak, bukan kepada kongsi dagang sebagaimana terjadi pada masa VOC. melaluiataubersamaini dasar Besluiten Regering, yaitu berdasarkan Pasal 36 Undang-Undang Dasar Negeri Belanda, raja mempunyai kekuasaan mutlak dan tertinggi atas daerahdaerah jajahan. melaluiataubersamaini demikian ngara Belanda pada masa itu memakai sistem pemerintahan monarkhi konstitusional. Raja berkuasa mutlak, namun kekuasaannya diatur dalam sebuah konstitusi.
Untuk mengimplementasikannya, raja kemudian mengangkat komisaris jenderal yang ditugaskan untuk melaksanakan pemerintahan di Netherlands Indie (Hindia Belanda). Mereka ialah Elout, Buyskes, dan Van dr Capellen. Mereka tetap memberlakukan peraturan-peraturan yang yang berlaku pada masa Inggris dan tidak mengadakan perubahan peraturan lantaran menunggu terbentuknya kodifikasi hukum. Dalam usaha untuk mengisi kekosongan kas negara, maka Gubernur Jendral Du bus de Gisignes menerapkan politik agraria dengan cara napi yang sedang menjalani hukuman dipaksakan untuk kerja paksa (dwang arbeid).[10]
melaluiataubersamaini adanya keterangan ini maka mudah masa Besluiten Regering (BR) tidak memberlakukan aturan pidana baru. Namun demikian, beberapa peraturan perundang-undangan di luar aturan pidana diputuskan pada masa ini, ibarat Reglement op de Rechtilijke Organisatie (RO) atau Peraturan Organisasi Pengadilan (POP), Algemen Bepalingen van Wetgeving (AB) atau Ketentuan-ketentuan Umum wacana Perundang-undangan, Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Wetboek van Koopenhandel (WvK) atau Kitab Undang-undang Hukum Dagang, dan Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (RV) atau Peraturan wacana Acara Perdata.
c.          Masa Regering Reglement (1855-1926)
Masa Regering Reglement dimulai lantaran adanya perubahan sistem pemerintahan di negara Belanda, dari monarkhi konstitusional menjadi monarkhi parlementer. Perubahan ini terjadi pada tahun 1848 dengan adanya perubahan dalam Grond Wet (UUD) Belanda. Perubahan ini mengakibatkan terjadinya pengurangan kekuasaan raja, lantaran dewan legislatif (Staten Generaal) mulai campur tangan dalam pemerintahan dan prundangundangan di wilayah jajahan negara Belanda. Perubahan penting ini ialah dicantumkannya Pasal 59 ayat (1), (2), dan (4) yang meliputi bahwa “Raja mempunyai kekuasaan tertinggi atas tempat jajahan dan harta kerajaan di potongan dari dunia. Aturan wacana kebijakan pemerintah diputuskan melalui undang-undang. Sistem keuangan diputuskan melalui undang-undang. Halhal lain yang menyangkut terkena daerah-daerah jajahan dan harta, kalau dibutuhkan akan diatur dengan undang-undang”.[11]
melaluiataubersamaini ketentuan ibarat ini tampak terang bahwa kekuasaan raja Belanda terhadap tempat jajahan di Indonesia berkurang. Peraturanperaturan yang menata tempat jajahan tidak semata-mata diputuskan raja dengan Koninklijk Besluit, namun harus melalui prosedur perundangundangan di tingkat parlemen. Peraturan dasar yang dibuat bersama oleh raja dan dewan legislatif untuk mengatur pemerintahan negara jajahan ialah Regeling Reglement (RR). RR ini berbentuk undang-undang dan diundangkan dengan Staatblad No. 2 Tahun 1855. Selanjutnya RR disebut sebagai Undang-Undang Dasar Pemerintah Jajahan Belanda.
Pada masa berlakunya Regeling Reglement ini, beberapa kodifikasi aturan pidana berhasil diundangkan, yaitu:
1.        Wetboek van Strafrecht voor Europeguan atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana Eropa yang diundangkan dengan Staatblad No. 55 Tahun 1866.
2.        Algemene Politie Strafreglement atau suplemen Kitab Undang-undang Hukum Pidana Eropa.
3.        Wetboek van Strafrecht voor Inlander atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pribumi yang diundangkan denbgan Staatblad No. 85 Tahun 1872.
4.        Politie Strafreglement bagi orang bukan Eropa.
5.        Wetboek van Strafrecht voor Netherlands-Indie atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana Hindia Belanda yang diundangkan dengan Staatblad No. 732 Tahun 1915 dan mulai berlaku 1 Januari 1918.
d. Masa Indische Staatregeling (1926-1942)
Indische Staatregeling (IS) ialah pembaharuan dari Regeling Reglement (RR) yang mulai berlaku semenjak 1 Januari 1926 dengan diundangkan melaui Staatblad Nomor 415 Tahun 1925. Perubahan ini diakibatkan oleh perubahan pemerintahan Hindia Belanda yang berpertama dari perubahan Grond Wet negera Belanda pada tahun 1922. Perubahan Grond Wet tahun 1922 ini mengakibatkan perubahan pada pemerintahan di Hindia Belanda. Berdasarkan Pasal 61 ayat (1) dan (2) IS, susunan negara Hindia Belanda akan ditentukan dengan undang-undang.
Pada masa ini, keberadaan sistem aturan di Indonesia semakin terang khususnya dalam Pasal 131 jo. Pasal 163 IS yang sebut dukungan golongan penduduk Indonesia beserta aturan yang berlaku. melaluiataubersamaini dasar ini maka aturan pidana Belanda (Wetboek van Strafrecht voor NetherlandsIndie) tetap diberlakukan kepada seluruh penduduk Indonesia. Pasal 131 jo. Pasal 163 Indische Staatregeling ini mempertegas pemberlakuan aturan pidana Belanda semenjak diberlakukan 1 Januari 1918. e. Masa Pendudukan Jepang (1942-1945)
Pada masa pendudukan Jepang selama 3,5 tahun, pada hakekatnya aturan pidana yang berlaku di wilayah Indonesia tidak mengalami perubahan yang signifikan. Pemerintahan bala tentara Jepang (Dai Nippon) memberlakukan kembali peraturan jaman Belanda lampau dengan dasar Gun Seirei melalui Osamu Seirei.
Pertama kali, pemerintahan militer Jepang mengeluarkan Osamu Seirei Nomor 1 Tahun 1942. Pasal 3 undang-undang tersebut sebut bahwa tiruana tubuh pemerintahan dan kekuasaannya, aturan dan undang-undang dari pemerintah yang doloe tetap diakui sah untuk sementara waktu, asalkan tidak berperihalan dengan pemerintahan militer. melaluiataubersamaini dasar ini maka sanggup diketahui bahwa aturan yang mengatur pemerintahan dan lain-lain, termasuk aturan pidananya, masih tetap memakai aturan pidana Belanda yang didasarkan pada Pasal 131 jo. Psal 163 Indische Staatregeling. melaluiataubersamaini demikian, aturan pidana yang diberlakukan bagi tiruana golongan penduduk sama yang ditentukan dalam Pasal 131 Indische Staatregeling, dan golongan-golongan penduduk yang ada dalam Pasal 163 Indische Staatregeling.
Untuk melengkapi aturan pidana yang sudah ada sebelumnya, pemerintahan militer Jepang di Indonesia mengeluarkan Gun Seirei nomor istimewa 1942, Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944 dan Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942. Gun Seirei Nomor istimewa Tahun 1942 dan Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944 meliputi wacana aturan pidana umum dan aturan pidana khusus. Sedangkan Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942 mengatur wacana pengadilan di Hindia Belanda.
Pada masa ini, Indonesia sudah mengenal dualisme aturan pidana lantaran wilayah Hindia Belanda dibagi menjadi dua potongan wilayah dengan penguasa militer yang tidak saling membawahi. Wilayah Indonesia timur di bawah kekuasaan Angkatan Laut Jepang yang berkedudukan di Makasar, dan wilayah Indonesia barat di bawah kekuasaan Angkatan Darat Jepang yang berkedudukan di Jakarta. Akibatnya, dalam banyak sekali hal terdapat perbedaan peraturan yang berlaku di masing-masing wilayah.[12]
3.         Masa Sesudah Kemerdekaan
Masa pemberlakukan aturan pidana di Indonesia sehabis proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, dibagi menjadi empat masa sebagaimana dalam sejarah tata aturan Indonesia yang didasarkan pada berlakunya empat konstitusi Indonesia, yaitu pertama masa pasca kemeredekaan dengan konstitusi Undang-Undang Dasar 1945, kedua masa sehabis Indonesia memakai konstitusi negara serikat (Konstitusi Republik Indonesia Serikat), ketiga masa Indonesia memakai konstitusi sementara (UUDS 1950), dan keempat masa Indonesia kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945.  a. Tahun 1945-1949
melaluiataubersamaini diproklamirkannya negara Indonesia sebagai negara yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia menjadi bangsa yang bebas dan berdaulat. Selain itu, proklamasi kemerdekaan dijadikan tonggak pertama mendobrak sistem aturan kolonial menjadi sistem aturan nasional yang sesuai dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia bebas dalam menentukan nasibnya, mengatur negaranya, dan memutuskan tata hukumnya. Konstitusi yang menjadi dasar dalam penyelenggaraan negara kemudian diputuskan pada tanggal 18 Agustus 1945. Konstitusi itu ialah Undang Undang Dasar 1945.
Mewujudkan harapan bahwa proklamasi ialah pertama pendobrakan sistem tata aturan kolonial menjadi sistem tata aturan nasional bukanlah hal yang mudah dan secara cepat sanggup diwujudkan. Ini berarti bahwa membentuk sistem tata aturan nasional perlu pembicaraan yang lebih matang dan membutuhkan waktu yang lebih lama dari pada sekedar memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka. Oleh lantaran itu, untuk mengisi kekosongan aturan (rechts vacuum) lantaran aturan nasional belum sanggup diwujudkan, maka Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan dalam Pasal II Aturan Peralihan semoga segala tubuh negara dan peraturan yang ada masih eksklusif berlaku, selama belum diadakan yang gres berdasarkan Undang Undang Dasar ini.
Ketentuan ini menerangkan bahwa aturan yang dikehendaki untuk mengatur penyelenggaraan negara ialah peraturan-peraturan yang sudah ada dan berlaku semenjak masa Indonesia belum merdeka. Sambil menunggu adanya tata aturan nasional yang baru, segala peraturan aturan yang sudah diterapkan di Indonesia sebelum kemerdekaan diberlakukan sementara.
Hal ini juga berarti funding fathers bangsa Indonesia mengamanatkan kepada generasi penerusnya untuk memperbaharui tata aturan kolonial menjadi tata aturan nasional.[13]
Presiden Sukarno selaku presiden pertama kali mengeluarkan kembali Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 1945 tangal 10 Oktober 1945 yang terdiri dari dua pasal, yaitu:
Pasal 1 : Segala badan-badan negara dan peraturan-peraturan yang ada hingga berdirinya negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, sebelum diadakan yang gres berdasarkan Undang Undang Dasar, masih tetap berlaku asal saja tidak berperihalan dengan dengan Undang Undang Dasar tersebut.
Pasal 2 :           Peraturan ini mulai berlaku tanggal 17 Agustus 1945.
Sekilas ini Penpres ini hampir sama dengan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, namun dalam Penpres ini dengan tegas ditetapkan tanggal pembatasan yaitu 17 Agustus 1945.
Sebagai dasar yuridis pemberlakuan aturan pidana warisan kolonial sebagai aturan pidana positif di Indonesia, keluarlah UU Nomor 1 Tahun 1946 wacana Peraturan Hukum Pidana. Pasal 1 undang-undang tersebut secara tegas menyatakan:
melaluiataubersamaini menyimpang seperlunya dari Peraturan Presiden Republik Indonesia tertanggal 10 Oktober 1945 Nomor 2 memutuskan bahwa peraturan-peraturan aturan pidana yang berlaku kini ialah peraturan-peraturan aturan pidana yang ada pada tanggal 8 Maret 1942.[14]
melaluiataubersamaini titik tonggak waktu penyerahan kekuasaan Belanda kepada Jepang atas wilayah Indonesia ini berarti tiruana peraturan aturan pidana yang dikeluarkan oleh pemerintahan militer Jepang dan yang dikeluarkan oleh panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda (NICA) sehabis tanggal 8 Maret 1942 dengan sendirinya tidak berlaku. Pasal 2 undangundang tersebut juga ditetapkan bahwa tiruana peraturan aturan pidana yang dikeluarkan panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda dicabut. Pasal 2 ini dibutuhkan lantaran sebelum tanggal 8 Maret 1942 panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda mengeluarkan Verordeningen van het militer gezag.
Secara lengkap suara Pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1946 ialah sebagai diberikut.
Semua peraturan aturan pidana yang dikeluarkan panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda doloe (Verordeningen van het militer gezag) dicabut.[15]
Pemberlakuan aturan pidana Indonesia dengan diputuskannya UU Nomor 1 Tahun 1946 wacana Peraturan Hukum Pidana ternyata belum menjawaban persoalan. Kenyataan ini disebabkan lantaran usaha fisik bangsa Indonesia atas penjahahan Belanda belum selesai. Secara de jure memang Indonesia sudah memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka, namun secara de facto penjajahan Belanda atas Indonesia masih saja berkelanjutan. Melalui agresi teror yang dilancarkan oleh NICA Belanda maupun negara-negara boneka yang berhasil dibentuknya, Belanda bergotong-royong belum selesai atas agresi kolonialismenya di Indonesia. Bahkan pada tanggal 22 September 1945, Belanda mengeluarkan kembali aturan pidana yang berjudul Tijdelijke Biutengewonge Bepalingen van Strafrecht (Ketentuan-ketentuan Sementara yang Luar Biasa Mengenai Hukum Pidana) dengan Staatblad Nomor 135 Tahun 1945 yang mulai berlaku tanggal 7 Oktober 1945. Ketentuan ini antara lain mengatur wacana diperberatnya bahaya pidana untuk tindak pidana yang menyangkut ketatguagaraan, keamanan dan ketertiban, ekspansi tempat berlakunya pasal-pasal tertentu dalam KUHP, serta dibekukannya Pasal 1 kitab undang-undang hukum pidana semoga peraturan ini sanggup berlaku surut. Nampak terang bahwa maksud ketentuan ini untuk memerangi pejuang kemerdekaan.
melaluiataubersamaini adanya dua peraturan aturan pidana yang diberlakukan di Indonesia oleh dua “penguasa” yang bermusuhan ini, maka munculah dua aturan pidana yang diberlakukan tolong-menolong di Indonesia. Oleh para andal aturan pidana, adanya dua aturan pidana ini disebut masa dualisme
KUHP.[16]
b.        Tahun 1949-1950
Tahun 1949-1950 negara Indonesia menjadi negara serikat, sebagai konsekuensi atas syarat legalisasi kemerdekaan dari negara Belanda. melaluiataubersamaini perubahan bentuk negara ini, maka Undang-Undang Dasar 1945 tidak berlaku lagi dan diganti dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Sebagai aturan peralihannya, Pasal 192 Konstitusi RIS sebut:
Peraturan-peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada ketika Konstitusi ini mulai berlaku, tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketntuan Republik Indonesia Serikat sendiri, selama dan sekadar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh undang-undang dan ketentuanketentuan tata usaha atas kuasa Konstitusi ini.[17]
melaluiataubersamaini adanya ketentuan ini maka mudah aturan pidana yang berlaku pun masih tetap sama dengan lampau, yaitu Wetboek van Strafrecht yang berdasarkan Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1946 sanggup disebut sebagai Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Namun demikian, permasalahan dualisme kitab undang-undang hukum pidana yang muncul sehabis Belanda hadir kembali ke Indonesia sehabis kemerdekaan masih tetap berlangsung pada masa ini.
c.         Tahun 1950-1959
Sesudah negara Indonesia menjadi negara yang berbentuk negara serikat selama 7 bulan 16 hari, sebagai trik politik semoga Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, maka pada tanggal 17 Agustus 1950 Indonesia kembali menjadi negara republik-kesatuan. melaluiataubersamaini perubahan ini, maka konstitusi yang berlaku pun berubah yakni diganti dengan Undang-Undang Dasar Sementara.
Sebagai peraturan peralihan yang tetap memberlakukan aturan pidana masa sebelumnya pada masa Undang-Undang Dasar Sementara ini, Pasal 142 Undang-Undang Dasar Sementara sebut:
Peraturan-peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada tanggal 17 Agustus 1050, tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuanketntuan Republik Indonesia sendiri, selama dan sekedar peraturanperaturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa Undang Undang Dasar ini.[18]
melaluiataubersamaini adanya ketentuan Pasal 142 Undang-Undang Dasar Sementara ini maka aturan pidana yang berlaku pun masih tetap sama dengan masa-masa sebelumnya, yaitu Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Namun demikian, permasalahan dualime kitab undang-undang hukum pidana yang muncul pada tahun 1945 hingga simpulan masa berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara ini diselesaikan dengan dikeluarkannya UU Nomor 73 Tahun 1958 wacana Menyatakan Berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1946 wacana Peraturan
Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Undang-undang Hukum Pidana. Dalam klarifikasi undang-undang tersebut ditetapkan:
“Adalah dirasakan sangat ganjil bahwa hingga kini di Indonesia masih berlaku dua jenis Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yakni Kitab Undang-undang Hukum Pidana berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1946 dan Wetboek Strafrecht voor Indonesia (Staatblad 1915 Nomor 732 ibarat beberapa kali diubah), yang sama sekali tidak beralasan. melaluiataubersamaini adanya undang-undang ini maka kecacatan itu ditiadakan. Dalam Pasal 1 ditentukan bahwa UU Nomor 1 Tahun 1946
ditetapkan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.”
melaluiataubersamaini demikian, permasalahan dualisme kitab undang-undang hukum pidana yang diberlakukan di Indonesia dianggap sudah selesai dengan ketetapan bahwa UU Nomor 1 Tahun 1946 wacana Peraturan Hukum Pidana ditetapkan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.


d. Tahun 1959-sekarang
Sesudah keluarnya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, yang salah satunya meliputi terkena berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945, maka semenjak itu Indonesia menjadi negara kesatuan yang berbentuk republik dengan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusinya. Oleh lantaran itu, Pasal II Aturan Peralihan yang memberlakukan kembali aturan lama berlaku kembali, termasuk di sini aturan pidananya. Pemberlakuan aturan pidana Indonesia dengan dasar UU Nomor 1 Tahun 1946 pun kemudian berlanjut hingga sekarang.
melaluiataubersamaini demikian sanggup disimpulkan bahwa walaupun Indonesia sudah mengalami empat pergantian terkena bentuk negara dan konstitusi, ternyata sumber utama aturan pidana tidak mengalami perubahan, yaitu tetap pada Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) walaupun pemberlakuannya tetap mendasarkan diri pada ketentuan peralihan pada masing-masing konstitusi. 
C. Sejarah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia
(Wetboek van Strafrecht)
Induk peraturan aturan pidana Indonesia ialah Kitab Undangundang Hukum Pidana (KUHP). kitab undang-undang hukum pidana ini mempunyai nama orisinil
Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) yang diberlakukan di Indonesia pertama kali dengan Koninklijk Besluit (Titah Raja) Nomor 33 15 Oktober 1915 dan mulai diberlakukan semenjak tanggal 1 Januari 1918. WvSNI ialah turunan dari WvS negeri Belanda yang dibuat pada tahun 1881 dan diberlakukan di negara Belanda pada tahun 1886.[19] Walaupun WvSNI notabene turunan (copy) dari WvS Belanda, namun pemerintah kolonial pada ketika itu menerapkan asas konkordansi (penyesuaian) bagi pemberlakuan WvS di negara jajahannya. Beberapa pasal dihapuskan dan diubahsuaikan dengan kondisi dan misi kolonialisme Belanda atas wilayah Indonesia.
Jika diruntut lebih ke belakang, pertama kali negara Belanda membuat perundang-undangan aturan pidana semenjak tahun 1795 dan disahkan pada tahun 1809 pada ketika pemerintahan Lodewijk Napoleon. Kodifikasi aturan pidana nasional pertama ini disebut dengan Crimineel Wetboek voor Het Koninkrijk Holland. Namun gres dua tahun berlaku, pada tahun 1811 Perancis menjajah Belanda dan memberlakukan Code Penal (kodifikasi aturan pidana) yang dibuat tahun 1810 ketika Napoleon Bonaparte menjadi penguasa Perancis. Pada tahun 1813, Perancis meninggalkan negara Belanda. Namun demikian negara Belanda masih mempertahankan Code Penal itu hingga tahun 1886.[20] 
Sesudah perginya Perancis pada tahun 1813, Belanda melaksanakan usaha pembaharuan aturan pidananya (Code Penal) selama kurang lebih 68 tahun (sampai tahun 1881). Selama usaha pembaharuan aturan pidana itu, Code Penal mengalami bebarapa perubahan, terutama pada bahaya pidananya. Pidana penyiksaan dan pidana cap bakar yang ada dalam Code Penal ditiadakan dan diganti dengan pidana yang lebih lunak. Pada tahun 1881, Belanda mengesahkan aturan pidananya yang gres dengan nama Wetboek van Strafrecht sebagai pengganti Code Penal Napoleon dan mulai diberlakukan lima tahun kemudian, yaitu pada tahun 1886.
Sebelum negara Belanda mengesahkan Wetboek van Strafrecht sebagai pengganti Code Penal Napoleon pada tahun 1886, di wilayah HindiaBelanda sendiri ternyata pernah diberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Europeguan (Kitab Undang-undang Hukum Pidana Eropa) dengan Staatblad Tahun 1866 Nomor 55 dan ditetapkan berlaku semenjak 1 Januari 1867. Bagi masyarakat bukan Eropa diberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Inlander (Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pribumi) dengan
Staatblad Tahun 1872 Nomor 85 dan ditetapkan berlaku semenjak 1 Januari
73.[21]
melaluiataubersamaini demikian, sanggup ditetapkan bahwa pada masa itu terdapat juga dualisme aturan pidana, yaitu aturan pidana bagi golongan Eropa dan aturan pidana bagi golongan non-Eropa. Kenyataan ini dirasakan Idenburg (Minister van Kolonien) sebagai permasalahan yang harus dihapuskan. Oleh lantaran itu, sehabis dua tahun berusaha pada tahun 1915 keluarlah Koninklijk Besluit (Titah Raja) Nomor 33 15 Oktober 1915 yang mengesahkan Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie dan berlaku tiga tahun kemudian yaitu mulai 1 Januari 1918.
melaluiataubersamaini citra sejarah demikian, runtutan sejarah terbentuknya Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia sanggup dilustrasikan dalam skema diberikut.


Tahun
Peristiwa
Selisih Waktu

1810
Code Penal diberlakukan di Perancis
1 tahun


1811
Code Penal diberlakukan di Belanda
56 tahun


1867
Wetboek van Strafrecht voor Europeguan berlaku di Hindia-Belanda
6 tahun


1873
Wetboek        van      Strafrecht         voor           Inlander diberlakukan di Hindia-Belanda
8 tahun


1881
Wetboek van Strafrecht disahkan di Belanda
5 tahun


1886
Wetboek van Strafrecht diberlakukan di Belanda
29 tahun


1915
Wetboek        van      Strafrecht           Netherlands-Indie disahkan untuk Hindia-Belanda
3 tahun


1918
Wetboek        van      Strafrecht           Netherlands-Indie diberlakukan di Hindia-Belanda
28 tahun


1946
Wetboek van Strafrecht Netherlands-Indie disebut sebagai kitab undang-undang hukum pidana Indonesia





Total
selisih


waktu 136 tahun


D. Problematika Penerapan Kitab Undang-undang Hukum
Pidana Indonesia (Wetboek van Strafrecht)
Seperti yang sudah dipaparkan di atas bahwa aturan pidana Indonesia ialah warisan aturan kolonial ketika Belanda melaksanakan penjajahan atas Indonesia. Jika Indonesia menyatakan dirinya sebagai bangsa yang merdeka semenjak 17 Agustus 1945, maka selayaknya aturan pidana Indonesia ialah produk dari bangsa Indonesia sendiri. Namun idealisme ini ternyata tidak sesuai dengan realitasnya. Hukum pidana Indonesia hingga kini masih mempergunakan aturan pidana warisan Belanda. Secara politis dan sosiologis, pemberlakuan aturan pidana kolonial ini terang mengakibatkan problem tersendiri bagi bangsa Indonesia. Problematika tersebut antara lain sebagai diberikut.
1.        Kemerdekaan Indonesia yang sudah diproklamirkan semenjak 59 tahun kemudian ialah pertama pendobrakan aturan kolonial menjadi aturan yang bersifat nasional. Namun pada realitasnya, aturan pidana positif (KUHP) Indonesia ialah warisan kolonial Belanda. Secara politis ini mengakibatkan kasus bagi bangsa yang merdeka.[22] melaluiataubersamaini kata lain, walaupun Indonesia ialah negara merdeka, namun aturan pidana Indonesia belum bisa melepaskan diri dari penjajahan.
2.        Wetboek van Strafrecht atau bisa disebut Kitab Undang-undang Hukum Pidana sudah diberlakukan di Indonesia semenjak tahun 1918. Ini berarti kitab undang-undang hukum pidana sudah berumur lebih dari 87 tahun. Jika umur kitab undang-undang hukum pidana dihitung semenjak dibuat pertama kali di Belanda (tahun 1881), maka kitab undang-undang hukum pidana sudah berumur lebih dari 124 tahun. Oleh lantaran itu, kitab undang-undang hukum pidana sanggup dianggap sudah lama dan sangat tua, walaupun Indonesia sendiri sudah beberapa kali merubah materi kitab undang-undang hukum pidana ini. Namun demikian, perubahan ini tidak hingga kepada kasus substansial dari kitab undang-undang hukum pidana tersebut. kitab undang-undang hukum pidana Belanda sendiri pada ketika ini sudah banyak mengalami perkembangan.[23]
3.        Wujud orisinil aturan pidana Indonesia ialah Wetboek van Strafrecht yang berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1946 bisa disebut dengan KUHP. Hal ini menunjukan bahwa wujud orisinil kitab undang-undang hukum pidana ialah berbahasa Belanda.[24] kitab undang-undang hukum pidana yang beredar di pamasukan ialah kitab undang-undang hukum pidana yang diterjemahkan dari bahasa Belanda oleh beberapa pakar aturan pidana, ibarat terjemahan Mulyatno, Andi Hamzah, Sunarto Surodibroto, R. Susilo, dan Badan Pembinaan Hukum Nasional. Tidak ada teks resmi terjemahan Wetboek van Strafrecht yang dikeluarkan oleh negara Indonesia. Oleh lantaran itu, sangat mungkin dalam setiap terjemahan mempunyai redaksi yang tidak sama-beda.[25]
4.        KUHP warisan kolonial Belanda memang mempunyai jiwa yang tidak sama dengan jiwa bangsa Indonesia. kitab undang-undang hukum pidana warisan zaman Hindia Belanda ini berasal dari sistem aturan kontinental (Civil Law System) atau berdasarkan Rene David disebut dengan the Romano-Germanic Family. The Romano Germanic family ini dipengaruhi oleh pedoman yang menonjolkan aliran individualisme dan liberalisme (individualism, liberalism, and individual right)[26]. Hal ini sangat tidak sama dengan kultur bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai sosial. Jika kemudian kitab undang-undang hukum pidana ini dipaksakan untuk tetap berlaku, benturan nilai dan kepentingan yang muncul tidak tidak mungkin justru akan mengakibatkan kejahatan-kejahatan baru.
5.        Jika kitab undang-undang hukum pidana dilihat dari tiga sisi kasus dasar[27] dalam aturan pidana, yaitu pidana, tindak pidana, dan pertanggungjawabanan pidana, maka masalah-masalah dalam kitab undang-undang hukum pidana antara lain:
a.         Pidana
  kitab undang-undang hukum pidana tidak sebut tujuan dan pedoman pemidanaan bagi hakim atau penegak aturan yang lain, sehingga arah pemidanaan tidak tertuju kepada tujuan dan pola yang sama. Pidana dalam kitab undang-undang hukum pidana juga bersifat kaku dalam arti tidak dimungkinkannya modifikasi pidana yang didasarkan pada perubahan atau perkembangan diri pelaku. Sistem pemidanaan dalam kitab undang-undang hukum pidana juga lebih kaku sehingga tidak memdiberi keleluasaan bagi hakim untuk menentukan pidana yang sempurna untuk pelaku tindak pidana. Sebagai pola terkena jenis-jenis pidana, pelaksanaan pidana pidana mati,29 pidana denda,[28] pidana penjara,[29] dan pidana bagi anak. 
b.        Tindak pidana
  Dalam memutuskan dasar patut dipidananya perbuatan, kitab undang-undang hukum pidana
bersifat positifis dalam arti harus dicantumkan dengan undangundang (asas legalitas formil). melaluiataubersamaini demikian, kitab undang-undang hukum pidana tidak mempersembahkan tempat bagi aturan yang hidup di tengah-tengah masyarakat yang tidak tertulis dalam perundang-undangan.[30] Di
pemidanaan. Lihat Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), p. 87.
29 Di aturan pidana beberapa negara, ibarat Venezuela, Columbia, Rumania, Brazilia, Costarica, Uruguay, Chili, Denmark, dan Belanda sendiri, pidana mati sudah dihapuskan lantaran dianggap tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan berupa pelatihan kepada pelaku kejahatan. Dalam kitab undang-undang hukum pidana Indonesia, pidana mati dianggap masih dibutuhkan namun pelaksanaannya belum manusiawi lantaran tetap dianggap sebagai sebuah "harga mati" walaupun terpidana sudah menanti hukuman selama puluhan tahun. Lihat Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia: dari Retribusi ke Reformasi, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1986), p. 26-27. Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), Djoko Prakoso dan Nurwachid, Studi wacana Pendapat-pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984).
samping itu, kitab undang-undang hukum pidana menganut pada Daadstrafrecht yaitu aturan pidana yang berorientasi pada perbuatan. Aliran ini pada kini sudah banyak ditinggalkan, lantaran spesialuntuk melihat dari aspek perbuatan (Daad) dan menafikan aspek pembuat (Dader).33 kitab undang-undang hukum pidana masih menganut pada pembedaan kejahatan dan pelanggaran yang kini sudah ditinggalkan. Tindak pidanatindak pidana yang muncul di abad modern ini, ibarat money laundering, cyber criminal, lingkungan hidup, dan beberapa perbuatan yang berdasarkan aturan adat dianggap sebagai tindak pidana belum tercover di dalam KUHP. Oleh lantaran itu, secara sosiologis kitab undang-undang hukum pidana sudah ketinggalan zaman dan sering tidak sesuai dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat.
c.         Pertanggungjawabanan pidana
  Beberapa kasus yang muncul dalam aspek pertanggungjawabanan pidana ini antara lain terkena asas kesalahan (culpabilitas) yang tidak dicantumkan secara tegas dalam KUHP, namun spesialuntuk disebutkan dalam Memorie van Toelichting (MvT) sebagai klarifikasi WvS.34 Asas culpabilitas ialah penyeimbang dari asas legalitas yang dicantumkan dalam Pasal 1 ayat (1), yang berarti bahwa seseorang sanggup dipidana lantaran secara obyektif memang sudah melaksanakan tindak pidana (memenuhi rumusan asas legalitas) dan secara subyektif terdapat unsur kesalahan dalam diri pelaku (memenuhi rumusan asas culpabilitas). Masalah lainnya ialah kasus yang terkait dengan pertanggungjawabanan pidana anak. Anak di dalam kitab undang-undang hukum pidana (Pasal 45-47) ialah mereka yang berumur di bawah 16 tahun. Pasal-pasal tersebut tidak mengatur secara rinci wacana aturan pemidanaan bagi anak. Pasal 45 spesialuntuk sebut beberapa alternatif yang sanggup diambil oleh hakim jikalau terdakwanya ialah anak di belum dewasa 16 tahun.35 Selain itu, kitab undang-undang hukum pidana tidak
                                                          
undangan ibarat UU Drt Nomor 1 Tahun 1951 dan UU Nomor 14 Tahun 1970 wacana Kekuasaan Kehakiman. Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan..., p. 109.
33 Selanjutnya, sanggup dilihat dalam Muladi, "Perbandingan Sistem Pidana dan Kemungkinan Aplikasinya di Indonesia", dalam Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1997), p. 152.
34 Sudarto, Hukum Pidana I, p. 85.
35 Terkait dengan komitmen internasional yang diselenggarakan oleh United Nations di Beijing tahun 1985 wacana Standard Minimum Rules for The Administration of Juvenile Justice (Beijing Rules) yang salah satu materinya mengatur wacana pertanggungjawabanan pidana anak (age of criminal responsibility) semoga tidak ditentukan terlalu rendah dengan mempertimbangkan kematangan emosional, mental dan intelektual, Indonesia mengeluarkan UU Nomor 3 Tahun 1997 wacana Peradilan Anak. Menurut
sebut pertanggungjawabanan pidana korporasi.36 Pada dataran realitas, sering kali beberapa tindak pidana terkait dengan korporasi ibarat pencemaran lingkungan.

E. Penutup
Memperhatikan pembahasan wacana sejarah dan problematika aturan pidana Indonesia di atas, pembaharuan aturan pidana Indonesia ialah sebuah keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Problematika yang muncul terkait dengan usangnya kitab undang-undang hukum pidana secara internal dan berkembangnya persoalan-persoalan di tengah-tengah kehidupan masyarakat secara eksternal menambah dorongan yang berpengaruh dari masyarakat untuk menuntut kepada negara semoga segera merealisasikan kodifikasi aturan pidana yang bersifat nasional sebagai hasil jerih payah dan pemikiran bangsa Indonesia sendiri. Oleh lantaran itu, RUU kitab undang-undang hukum pidana yang sudah kesekian kalinya direvisi selayaknya segera dibahas oleh forum legislatif untuk disahkan.

                                                          
UU ini anak yang masih berumur 8 s.d. 12 tahun spesialuntuk sanggup dikenakan tindakan, dan anak yang berumur 12 s.d. 18 tahun sanggup dijatuhi pidana. Sedangkan anak yang belum berumur 8 tahun dianggap belum bisa mempertanggungjawabankan perbuatannya. melaluiataubersamaini demikian, secara otomatis ketentuan pertanggungjawabanan pidana anak dalam kitab undang-undang hukum pidana tersebut dihapuskan dengan UU Peradilan Anak ini. Lihat selanjutnya dalam Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, (Bandung: Bina Cipta, 1996), hlm 143 dan Undang-undang Peradilan Anak (UU Nomor 3 Tahun 1997), (Jakarta: Sinar Grafika, 2000).
36 Roeslan Saleh, "Tentang Tindak Pidana dan Pertanggungan Jawab Pidana", kertas kerja dalam Lokakarya Masalah Pembaharuan Kodifikasi Hukum Pidana Nasional, (Jakarta: BPHN, 1984), p. 48-53. Ulasan menarikdanunik terkena kejahatan korporasi ini sanggup dilihat dalam I.S. Susanto, Kejahatan Korporasi, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995) dan I.S. Susanto, Kejahatan Korporasi di Indonesia Produk Kebijakan Rezim Orde Baru, Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Dipnegoro Semarang, 12 Oktober 1999.
Daftar Pustaka
Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996.
_______, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1994.
Atmasasmita, Romli, Sistem Peradilan Pidana, Bandung: Bina Cipta, 1996.
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988.
_______,  Simposium Pengaruh Kebudayaan/Agama terhadap Hukum Pidana, Bandung: Bina Cipta, 1973.
Daliyo, J. B., Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Prenhalindo, 2001. 
David, Rene, and John E. C. Brierley, Major Legal System in The World Today, London, Stevens and Sons, 1978.
Engelbrecht, Kitab Undang Undang, Undang-undang, Peraturan-peraturan serta Undang Undang Dasar 1945 Republik Indonesia, Jakarta: Gunung Agung, 1960.
Hadikusuma, Hilman, Hukum Pidana Adat, Bandung: Alumni, 1989. 
Hamzah, Andi, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia: dari Retribusi ke Reformasi, Jakarta: Pradnya Paramita, 1986.
_______, dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985.
Kanter dan Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982.
Koesnoe, Moh., "Pokok Permasalahan Hukum Dewasa Ini", dalam Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum Nasional, Jakarta: Rajpertamai, 1986.
Lembaga Pembinaan Hukum Nasional, Pengaruh Agama terhadap Hukum Pidana, Laporan Penelitian, Jakarta: LPHN, 1973.
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1993.
_______, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1994.
Muladi, "Perbandingan Sistem Pidana dan Kemungkinan Aplikasinya di Indonesia", dalam Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1997.
_______, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung: Alumni, 1985.
Poernomo, Bambang, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem
Pemasyarakatan, Yogyakarta: Liberty, 1986.
Prakoso, Djoko, dan Nurwachid, Studi wacana Pendapat-pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984.
Saleh, K. Wantjik, Pelengkap KUHP: Perubahan KUH Pidana dan UU Pidana Sampai dengan Akhir 1980, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981.
Saleh, Roeslan, "Tentang Tindak Pidana dan Pertanggungan Jawab Pidana", kertas kerja dalam Lokakarya Masalah Pembaharuan Kodifikasi Hukum Pidana Nasional, Jakarta: BPHN, 1984.
Soemadi Pradja, R. Achmad S., dan Romli Atmasasmita, Sistem
Pemasyarakatan di Indonesia, Jakarta: BPHN/Bina Cipta, 1979.
Soesilo, R., Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politea, tth.
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1981.
_______, Hukum Pidana I, Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1990.
Susanto, I. S., Kejahatan Korporasi di Indonesia Produk Kebijakan Rezim Orde Baru, Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Dipnegoro Semarang, 12 Oktober 1999.
_______,, Kejahatan Korporasi, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995.
The Dutch Penal Code, translated by Louise Rayar and Stafford Wadswoth, Colorado: Fred B. Rothman, 1997.
Undang-undang Peradilan Anak (UU Nomor 3 Tahun 1997), Jakarta: Sinar Grafika, 2000.
Widnyana, I Made, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, Bandung: Eresco, 1993.




[1] Dosen Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta dan mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
[2] Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), p. 1., Vol. 4 No. 4, Agustus 2005
[3] Kanter dan Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982), p. 43.
[4] Pemisahan tegas antara aturan perdata dan aturan pidana ini dikenal juga dalam aturan Islam, yaitu adanya muamalah dan jinayah.
[5] Dalam laporan penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN), wacana "Pengaruh Agama terhadap Hukum Pidana", beberapa aturan adat di wilayah Nusantara masih terkait dengan agama yang dianut secara umum dikuasai masyarakat adatnya. Selanjutnya lihat LPHN, Pengaruh Agama terhadap Hukum Pidana, Laporan Penelitian, (Jakarta: LPHN, 1973) dan BPHN, Simposium Pengaruh Kebudayaan/Agama terhadap Hukum Pidana, (Bandung: Bina Cipta, 1973).
[6] Hilman Hadikusuma, Hukum Pidana Adat, (Bandung: Alumni, 1989). 
[7] I Made Widnyana, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, (Bandung: Eresco, 1993), p. 14.
[8] Kanter dan Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana…, p. 43. Lihat juga J. B. Daliyo, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Prenhalindo, 2001), p. 14. 
[9] J. B. Daliyo, Pengantar ..., p. 13. 9 Kanter dan Sianturi, Asas-asas ..., p. 43 10 Ibid., p. 44.
[10] Kanter dan Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana…, p. 44. Lihat juga J. B. Daliyo, Pengantar..., p. 15.
[11] Ibid, p. 17.
[12] Kanter dan Sianturi, Asas-asas…, p. 46.
[13] Segala perubahan membawa konsekuensi bahwa isi kehendak itu perlu diubah. Ketentuan-ketentuan aturan positif yang pernah berlaku di Indonesia, ibarat Indische Staatregeling, Algemene Bepalingen van Wetgeving, Burgerlijk Wetboek, Wetboek van Koophandel, Wetboek van Strafrecht dan segala peraturan yang dikeluarkan pada masa penjajahan, dengan adanya proklamasi kemerdekaan dituntut penggantiannya secara sempurna dan cepat. Oleh lantaran itu maka diputuskan segera landasan tata aturan yang baru, yaitu Undang Undang Dasar 1945. Lihat selanjutnya dalam Moh. Koesnoe, "Pokok Permasalahan Hukum Dewasa Ini", dalam Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum Nasional, (Jakarta: Rajpertamai, 1986), p. 100.
[14] K. Wantjik Saleh, Pelengkap KUHP: Perubahan KUH Pidana dan UU Pidana Sampai dengan Akhir 1980, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981), p. 25.
[15] Ibid.
[16] Ibid, p. 47-48. Sudarto menyebut istilah ini dengan kwasi-dualisme. Lihat Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1990), p. 16.
[17] Engelbrecht, Kitab Undang Undang, Undang-undang, Peraturan-peraturan serta Undang Undang Dasar 1945 Republik Indonesia, (Jakarta: Gunung Agung, 1960), p. 67.
[18] Ibid., p. 17.
[19] Sudarto, Hukum Pidana I, p. 15.
[20] Kanter dan Sianturi, Asas-asas…, p. 42.
[21] Ibid., p. 44.
[22] Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), p. 70-71.
[23] Lihat The Dutch Penal Code, translated by Louise Rayar and Stafford Wadswoth, (Colorado: Fred B. Rothman, 1997). Perubahan dalam kitab undang-undang hukum pidana Belanda antara lain dalam principal penalties (pidana pokok) yang menghilangkan pidana mati dan menambahkan pidana kerja sosial serta denda yang dibuat dengan kategorisasi. 
[24] Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana..., p. 71.
[25] Dalam pandangan peneliti, kecuali kitab undang-undang hukum pidana terjemahan BPHN, kitab undang-undang hukum pidana terjemahan Mulyatno, R. Susilo dan yang lain terkadang belum mencantumkan beberapa perubahan parsial dalam KUHP, ibarat jenis pidana dimenambahkan pidana tutupan, pengkalian 15 kali untuk pidana denda, dan ekspansi wilayah berlakunya aturan pidana berdasarkan tempat. Di samping itu, terdapat juga perbedaan dalam menerjemahkan suatu istilah, ibarat overspel yang diterjemahkan menjadi beberapa kata, ibarat zina, mukah, dan gendak. Yang lebih fatal lagi ialah bahaya pidana pada Pasal 386 wacana pemerasan. Di dalam kitab undang-undang hukum pidana versi BPHN dan terjemahan dari Engelbrecht, bahaya pidananya 9 bulan, sedangkan dalam kitab undang-undang hukum pidana versi Mulyatno dan R. Susilo bahaya pidananya 9 tahun. kitab undang-undang hukum pidana aslinya (WvS) yang berbahasa Belanda menyebutnya dengan "jaren" yang berarti "tahun". Bandingkan Mulyatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1994), Engelbrecht, Kitab Undang Undang..., Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988), dan R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politea, tth.).
[26] Rene David, John E. C. Brierley, Major Legal System in The World Today, (London, Stevens and Sons, 1978), p. 24.
[27] Dalam istilah yang lain, Sudarto sebut tiga problem pokok dalam aturan pidana yaitu kesalahan, sifat melawan hukumnya perbuatan, dan pidana. Sudarto, Hukum Pidana I, p. 86. Sedangkan dalam pengertian Barda Nawawi Arief, tiga substansi/materi/masalah pokok dalam aturan pidana ialah kasus tindak pidana, kasus kesalahan atau pertanggungjawabanan pidana, dan kasus pidana dan
[28] Masalah pidana denda dalam kitab undang-undang hukum pidana terutama terkait dengan jumlah denda yang sangat minim, lantaran adaptasi kurs pidana denda terakhir kali dilakukan dengan UU Nomor 18 Prp Tahun 1960. Sebagai pola ialah ketentuan wacana pidana kurungan pengganti denda. Dalam KUHP, persamaan pidana denda dengan pidana kurungan ialah Rp. 7,50 (tujuh, lima puluh rupiah) disamakan dengan 1 hari kurungan.
[29] Pembahasan, Koreksi dan anjuran perubahan terkena pidana penjara diulas dalam R. Achmad S. Soema di Pradja dan Romli Atmasasmita, Sistem Pemasyarakatan di Indonesia, (Jakarta: BPHN/Bina Cipta, 1979), Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan, (Yogyakarta: Liberty, 1986), Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1994), Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung: Alumni, 1985).
[30] Permasalahan ibarat ini sedikit terobati dengan dikenalnya asas legalitas materiel yang mengakui adanya nilai-nilai yang hidup di masyarakat dalam perundang

0 Response to "Sejarah Dan Problematika Aturan Pidana Materil Di Indonesia"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel