Menghalau Kolonialisme Dan Merdeka Dengan Buku

Oleh: Najwa Shihab

Pada bulan kemerdekaan menyerupai sekarang, saya ingin mengajukan pertanyaan: "Dapatkah kita membayangkan kemerdekaan tanpa buku?"
Mari kita menelisik kiprah para perintis yang menyiapkan fondasi kebangsaan kita.
Dimulai semenjak final periode 19, satu per satu bermunculan tokoh-tokoh yang pertamanya spesialuntuk memikirkan cikal bakal Indonesia hingga kesudahannya mewujud menjadi Indonesia Merdeka.
Dari RA Kartini dan Abdoel Rivai hingga Raden Mas Tirtoadisoerjo di pergantian periode 19 ke periode 20. Berlanjut ke Dr Wahidin, Douwes Dekker, Agus Salim hingga Cokroaminoto ke generasi Tan Malaka, Bung Karno, Bung Hatta, hingga ke angkatan diberikutnya menyerupai Bung Sjahrir, Muhammad Yamin, Amir Sjarifuddin, hingga angkatan muda yang melahirkan peristwa Rengasdengklok.

Baca Juga

Mereka memikirkan dan mencita-citakan Indonesia yang Merdeka alasannya ialah setidaknya dua alasan.
Pertama, faktor pengalaman. Penjajahan, bagi generasi mereka, ialah pengalaman kasatmata sehari-hari, yang pedih dan perihnya terasa hingga ke kulitnya sendiri.
Kedua, faktor pengetahuan. Dari pengalaman kasatmata itu, mereka mempertajam dan memperkaya diri dengan ilmu pengetahuan.
Melalui materi bacaan, mereka mengetahui rekan-rekannya di negara-negara lain -- menyerupai di Filipina, Tiongkok, India dan Turki-- juga sedang giat-giatnya melawan penjajahan.
Melalui materi bacaan pula, mereka menyadari bahwa kolonialisme tak sanggup diterima oleh kemanusiaan, sehingga perlawanan kepada penjajahan ialah keharusan bagi mereka yang tercerahkan.
Menikam kolonialisme
Mereka tiruana umumnya membaca Max Havelaar, novel abad-19 karangan Multatuli yang disebut Pramoedya Ananta Toer sebagai buku yang menikam kolonialisme.
Mereka membaca karya-karya besar dari aneka macam pecahan dunia. Dari buku-buku biografi negarawan dan politikus, buku-buku teori filsafat, ekonomi dan politik, hingga karya-karya sastra klasik.
Para perintis kemerdekaan Indonesia ialah orang-orang dengan pikiran yang terbuka, yang matanya memandang jauh ke ujung cakrpertamaa, yang isi kepalanya penuh dengan ide-ide besar yang hadir dari aneka macam penjuru dunia.
KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN Kacamata Bung Hatta yang disimpan di rumah bekas pengasingan tokoh usaha kemerdekaan Indonesia itu di Banda Naira, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku. Kacamata itu menjadi ciri khas Bung Hatta sehingga ia lebih terkenal dengan panggilan Oom kacamata.
Simaklah pledoi "Indonesia Menggugat" yang dibacakan Bung Karno di pengadilan kolonial di Bandung atau pledoi "Indonesian Vrij" yang dibacakan Bung Hatta di Den Haag. Baca juga surat-surat yang dikirim Bung Sjahrir dari pengasingan di Digoel atau catatan-catatan Tan Malaka dari aneka macam negara kala berusaha meloloskan diri dari kejaran intel-intel kolonial.
Perhatikan risalah Kongres Pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda maupun risalah sidang BPUPKI yang membicarakan rancangan dasar negara.
Semuanya meliputi daftar pustaka yang luar biasa kaya dan daftar tumpuan yang melimpah ruah. Dokumen-dokumen itu menjadi bukti betapa Indonesia dilahirkan para pembaca buku. Dokumen-dokumen itu pertanda derma kita kepada buku.
Kini sudah 71 tahun Indonesia menikmati kemerdekaan. Kini sudah berjarak 86 tahun dari masa saat Ibu Inggit Garnasih dengan nekat menyelundupkan buku-buku ke dalam sel penjara Bung Karno di Banceuy.
Didirikan oleh para kutu buku dan penulis buku, sudahkah Indonesia membayar pinjamannya kepada dunia pustaka?
Indonesia memang hampir bebas dari kasus tuna huruf yang sudah menyusut drastis hingga tersisa spesialuntuk sekitar 5-6% saja. Kendati demikian, meningkatnya angka melek huruf tidak serta merta meningkatkan minat baca.
Menurut data dari The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), budaya membaca masyarakat Indonesia berada di peringkat terendah di antara 52 negara di Asia.
UNESCO melaporkan pada 2012 kemampuan membaca bawah umur Eropa dalam setahun rata-rata menghabiskan 25 buku, sedangkan Indonesia mencapai titik terendah: 0 persen! Tepatnya 0,001 persen.
Artinya, dari 1000 anak Indonesia, spesialuntuk satu anak yang bisa menghabiskan satu buku dalam setahun.
Ini kasus penting, ini kasus genting. Soal minat baca memang terlihat tidak semendesak kasus energi atau pangan. Tapi bagaimana menyiapkan masa depan negeri ini bila tingkat literasi begitu rendah?
Seorang petinju di Papua tetapkan menggendong buku-buku untuk diantarkan kepada masyarakat yang ingin membaca. Ia naik turun pegunungan berjalan kaki, dengan buku-buku yang dimasukkan ke dalam noken, demi menjawaban kebutuhan masyarakat yang kesusahan mengakses bacaan.
Di lereng pegunungan di Bandung Selatan, seorang pedagang tahu memakai gerobaknya untuk mengantarkan buku-buku kepada masyarakat kampung yang membutuhkan.
Di lereng Gunung Slamet, seorang bapak berkeliling dengan delman siap meminjamkan buku kepada siapa saja yang berkenan membaca.
Di Mandar, sekelompok perjaka gigih mengantarkan buku-buku melalui bahtera ke pulau-pulau yang jauh dari buku.
Di Surabaya, Jakarta, dan di kota-kota yang lain, ada orang-orang dengan semangat serupa yang gigih mengkampanyekan pentingnya membaca. Tanpa dibayar, bahkan mesti keluar uang untuk membeli buku dan ongkos ini itu, mereka dengan keras kepala mengantarkan buku-buku kepada siapa pun yang mau membaca.
Negara tidak bisa diam. Saatnya berbarengan bergerak. Bukan besok, lusa, apalagi tahun depan. Tapi sekarang. Sebab menyiapkan generasi yang menyayangi ilmu pengetahuan ialah kiprah besar bersama. Sekarang!

Related Posts

0 Response to "Menghalau Kolonialisme Dan Merdeka Dengan Buku"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel