Peran Perempuan Jawa Masa Kolonialisme, Sejarah Dihentikan Dilupakan.

 WANITA JAWA MASA KOLONIALISME
Selama ini, kita lebih banyak disuguhi citra terkena wanita Jawa di era kolonialisme yang lemah lembut, tak berdaya bahkan tidak mempunyai inisiatif.

Namun anggapan itu ternyata tak seluruhnya benar. Perempuan Jawa yang hidup di masa kolonialisme juga aktif, berani, dan yang terpenting sadar hukum.

Hal ini tercermin dari kisah wanita di Kadipaten Pakualaman yang kini masuk ke dalam wilayah kota Yogyakarta. Mereka sangat aktif di banyak sekali hal ibarat mempunyai tugas dalam perekonomian dan hukum.

Baca Juga


Makalah The Image of Javguase Women on the Affidavit yang dipaparkan dalam Konferensi Gender, Household, Labour Relations and (Post) Colonialism, 1800-present pada Selasa (26/7/2016) di Universitas Gajah Mada mengungkapnya.

Makalah tersebut menguraikan, perempuan-perempuan yang tinggal di masa itu tak segan mencari keadilan.

Mereka terbagi dalam tiga golongan perempuan. Pertama, wanita Jawa dengan sebutan bok, mbok atau simbok, biasanya berasal dari kalangan bawah dan bekerja di sektor informal.

Kedua, wanita yang disebut Nyonyah, mereka ialah wanita Eropa, dan ketiga ialah wanita Jawa yang berasal dari kalangan darah biru dan mempunyai gelar Raden Ayu.

"Menariknya, perempuan-perempuan yang terlibat dengan masalah aturan ini justru lebih banyak berasal dari kalangan bawah atau wanita biasa," kata Galuh Ambar Sasi, penulis makalah.

Ini menarikdanunik mengingat tumpuan yang ada ketika ini jarang sekali menceritakan wanita yang berasal dari kelas bawah, lebih banyak menceritakan wanita yang berasal dari kalangan bangsawan.

Galuh menerangkan, pada masa itu terjadi krisis finansial yang bahkan melanda keluarga kerajaan. Tak heran bila wanita ikut ambil bab dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Banyak dari mereka menjadi buruh batik, pedagang beras, pedagang singkong atau sebagai pemilik rumah pegadaian kecil.

"Aktivitas ini mengatakan bila mereka bukanlah wanita pasif yang identik dengan macak, masak dan manak. Mereka menghabiskan dengan bersosialisasi dan bekerja. Bahkan beberapa dari mereka bekerja sampai larut malam. Berbagai acara inilah yang lambat laun menyebabkan perselisihan dengan orang lain," terang Galuh.

Mereka dapat ditemukan dalam beberapa masalah mulai dari jual beli, perselisihan tanah, rumah tangga, perceraian dan perselingkuhan, pajak dan santunan piutang.

Salah satu masalah menarikdanunik terjadi pada mBok Partawigena yang ialah buruh batik di rumah Nyonyah Bereh yang berlokasi di kampung Ledhok Ngebraman. Ia terlibat masalah kontrak kerja dengan Nyonyah Beres, majikannya di daerah pembuatan batik.

Tanggal 21 Agustus 1904, ia  tidak pergi bekerja. Ia terkejut alasannya tiba-tiba polisi hadir dan menangkapnya. Ternyata mBok Partawigena sudah dilaporkan oleh Nyonyah bereh alasannya dianggap melanggar kontrak kerja yang sudah ditanhadirani.

mBok Partawigena merasa murka dan tidak terima dengan perlakukan itu. Dia diinterogasi dan diminta untuk membuat diberita acara.

mBok Partawigena merasa sudah bekerja keras sebagai buruh batik. Dalam diberita acara, ia menceritakan bahwa harus bekerja dari Pkl 07.00-17.00 atau lebih dari itu. Selama bekerja, ia juga harus membawa bekal sendiri alasannya Nyonyah Bereh tidak menyediakan makanan bagi pekerjanya.

Ia bahkan harus bekerja setiap hari tanpa hari libur. Ia spesialuntuk diijinkan tidak masuk kerja ketika melahirkan, berkeluarga atau sakit. Sayangnya tidak praktis untuk mendapat izin tersebut. Ia harus mendapat izin dari Lurah Panyeratan atau Mandor Batik dan Nyonyah Bereh terlebih lampau. Jika tidak mendapat ijin, maka Mandor akan melaporkan ke Nyonyah Bereh dan akan mengirim seseorang untuk menjemput buruh batik.

Pada pertama masa 20, wanita Jawa juga rentan terhadap kekerasan seksual. Seperti yang di alami dalam masalah mBok Jayawigena.

Ia diperkosa oleh seorang yang berjulukan Prawidirana ketika suaminya tidak berada di rumah. Prawidirana berpura-pura meminta rokok dan memaksa masuk kedalam rumah. Merasa tidak ada yang salah dengan tingkah laris Prawidirana, mBok Jayawigena memutuskan kembali pulas. Ia tidak menyangka bila Prawidirana akan masuk ke kamar pulasnya.

Kejadian itu segera dilaporkan ke polisi dan ditindaklanjuti dengan memanggil beberapa saksi yang terkait dengan tragedi tersebut.

Kasus-kasus aturan yang terjadi di era kolonial inilah menjadi citra keberanian para perempuan.

"Sudah ada aturan yang baik dan tidak berbelit. Ini yang membuat mereka tidak merasa takut untuk menhadiri dan mengadukan perkaranya," tambah Galuh.

Refleksi masa kemudian ini dapat menjadi pembelajaran bagi wanita modern bagaimana menyikapi ketidakadilan dalam kehidupan mereka.

Related Posts

0 Response to "Peran Perempuan Jawa Masa Kolonialisme, Sejarah Dihentikan Dilupakan."

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel