Revitalisasi Aturan Adat
Fadjri, SH ( Kepala Divisi Monitoring & Investigasi AJMI )
Penegakan aturan di Indonesia khususnya di Aceh, dapat dikatakan belum bersperpektif keadilan bagi masyarakat. Hal ini sanggup dilihat dalam proses persidangan di forum pengadilan, dimana setiap harinya spesialuntuk perkara-perkara tindak pidana enteng atau biasa yang spesialuntuk di sidangkan, sementara untuk masalah besar yang merugikan dan berdampak terhadap Negara justru tidak hingga pengadilan. Hal lainya yaitu asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya murah sama sekali tidak berjalan dalam penegakan aturan dalam forum peradilan. Dapat dikatakan sepanjang tahun 2008 s/d 2009, penanganan masalah dalam tiruana tingkatan investigasi juga mengalami penumpukan kasus, mulai dari institusi kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan mahkamah syariah (pengadilan khusus untuk Aceh).
Penumpukan ini jikalau di analisis lebih jauh, justru disebabkan oleh jumlah masalah yang juga terus meningkat dari tahun ketahun, serta penanganan yang tidak terbaik di tiruana tingkatan pemeriksaan. Semestinya hal-hal semacam penumpukan masalah ini tidak mesti terjadi dalam lembaga-lembaga peradilan, jikalau perkaraperkara tindak pidana enteng dalam hal penyelesaianya di serahkan kepada prosedur sopan santun yang berlaku dalam masyarakat, sebagai mana yang di atur dalam beberapa qanun di Aceh, menyerupai qanun nomor 9 tahun 2008, wacana training kehidupan sopan santun dan sopan santun istiadat, qanun Nomor 5 tahun 2003, wacana pemerintahan gampong, dan qanun Nomor 3 tahun 2004, wacana pembentukan, susunan organisasi, dan tata kerja Majelis Adat Aceh (MAA), serta qanun Nomor 10 tahun 2008, perihal forum adat.
Pada prinsipnya dalam ketentuan aturan Nasional, setiap kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan dan terjadi dalam masyarakat dipandang dan dimaknai sebagai suatu kejahatan ataupun pelanggaran terhadap Negara, dimana Negara melalui aturan perundang-undangan lebih mengedepankan hukuman aturan berupa pidana dan pemidanaan dalam penyelesaianya. Hal ini bertolak belakang dengan prosedur aturan sopan santun yang berlaku dalam masyarakat, dimana dalam aturan adat terdapat pandangan lain, yaitu setiap kejahatan ataupun pelanggaran yang terjadi didalam masyarakat, tidak di pandang sebagai kejahatan ataupun pelanggaran terhadap Negara, melainkan masalah sosial masyarakat, yang meletakan proses penyelesaianya melalui keterlibatan masyarakat, para pihak (pelaku dan korban) serta keluarga dengan prosedur musyawarah dan mufakat serta penyelesaian kasus melalui Mekanisme Peradilan Adat.
Fakta bahwa forum peradilan konvensional bentukan Negara berkinerja lamban (penumpukan kasus), rumit,mahal, dan belum bersperpektif keadilan bagi masyarakat,Sehingga di anggap penting untuk mencari alternative penyelesaian yang lebih mengedepankan keadilan bagi tiruana pihak yang berperkara.
Indonesia ialah Negara yang mengakui adanya aturan tidak tertulis atau disebut dengan aturan adat, dalam sistem aturan di Indonesia juga dikenal adanya penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau dikenal dengan Alternative Dispute Resolution (ADR) khususnya dalam kasus perdata. Sementara dalam perkembangan dunia internasional ketika ini dikenal sebagai Restorasi Justice System (Pendekatan Keadilan Restoratif). Dimana penyelesaian kasus enteng sebagaimana dimaksud di atas tidak melibatkan Negara. Pendekatan ini di Indonesia sedang diterapkan dalam kasus anak, dan pendekatan ini di Aceh lebih dikenal melaui prosedur penyelesai secara adatistiadat.
Dalam beberapa aturan kawasan (qanun) yang berlaku di Aceh, sudah mengatur wacana prosedur penyelesaian yang di anggap sanggup membawa keadilan bagi masyarakat melalui kiprah serta masyarakat, menyerupai qanun Nomor 5 tahun 2003, wacana pemerintahan gampong, dan qanun Nomor 3 tahun 2004, wacana pembentukan, susunan organisasi, dan tata kerja majelis sopan santun aceh, serta qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 wacana Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat, serta qanun Nomor 10 tahun 2008, wacana forum adat, yang memposisikan geuchik, tuha peut, imuem munasah dan mukim sebagai penyelenggara peradilan sopan santun Qanun tersebut mempersembahkan alternative solusi untuk mengeleminir kesusahankesusahan dalam penyelesaian perkara, yaitu melalui peradilan aturan sopan santun gampong. Penyelesaian semacam ini, dalam bahasa sehari-hari disebut dengan penyelesaian secara sopan santun istiadat.
Lahirnya qanun tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa Adat Istiadat yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Aceh semenjak lampau hingga kini melahirkan nilai-nilai budaya, norma sopan santun dan aturan yang ialah kekayaan budaya yang perlu dibina, dikembangkan, dan dilestarikan. Upaya-upaya tersebut perlu dilaksanakan secara berkesinambungan dari generasi ke generasi diberikutnya sehingga sanggup memahami nilai-nilai sopan santun dan budaya yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Aceh.
Dalam Qanun nomor 5 tahun 2003, wacana pemerintahan gampong, secara tegas dalam beberapa pasal membuka penyelesain melalui prosedur adat, dimana pada Pasal 3, Gampong memiliki kiprah menyelenggarakan pemerintahan,melaksanakan pembangunan, membina masyarakat dan meningkatkan pelaksanaan Syari'at Islam. Dan melakukan kiprah sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 4, salah satu fungsi Gampong menyelesaian persengketaan aturan dalam hal adanya bersengketaan-persengketaan atau perkara-perkara sopan santun dan sopan santun istiadat di Gampong sebagai mana di atur dalam karakter f. Begitu juga pasal Pasal 12, wacana kiprah dan kewajiban geuchik, pada ayat (1) karakter e memelihara ketentraman dan ketertiban serta mencegah munculnya perbuatan maksiat dalam masyarakat; dan karakter f. menjadi Hakim perdamaian antar penduduk dalam Gampong. Pelaksaanaan kiprah ini geuchik tidak berkerja sendiri, namun dimenolong oleh Imeum Meunasah dan Tuha Peuet Gampong sebagai mana disebutkan dalam ayat (2).
Jika permasalahan dan persengketaan tidak terselesaikan atau menuai keberatan dari salah satu pihak/ para pihak, maka di diberikan peluang untuk meneruskannya kepada Imeum Mukim, yang ialah tahapan tamat penyelesaian di tingkat peradilan adat. dan keputusan Imeum Mukim yang ialah tahapan tamat dalam sistem peradilan sopan santun ialah putusan yang bersifat tamat dan mengikat, hal ini di atur dalam ayat (3) qanun tersebut.
Lebih jauh dalam bentuk peraturan (qanun) di Aceh, juga mengatur secara ekplisit wacana hal apa saja yang sanggup diselesaikan melaui prosedur peradilan sopan santun di Aceh. Didalam qanun nomor 9 tahun 2008, wacana training kehidupan sopan santun istiadat, dalam pasal 13 ayat (1) mengatur ada 18 kasus/perselisihan yang sanggup diselesaikan melaui prosedur adat, yaitu meliputi:
Ø Perselisihan dalam rumah tangga,
Ø Sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan faraidh;
Ø Perselisihan antar masyarakat;
Ø Khalwat meusum;
Ø Perselisihan wacana hak milik;
Ø Pencurian dalam keluarga (pencurian enteng);
Ø Perselisihan harta sehareukat;
Ø Pencurian enteng;
Ø Pencurian ternak peliharaan;
Ø Pelanggaran sopan santun wacana ternak, pertanian, dan hutan;
Ø Persengketaan di laut;
Ø Persengketaan di pasar;
Ø Penganiayaan enteng;
Ø Pembakaran hutan (dalam skala kecil yang merugikan komunitas adat);
Ø Pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik;Pencemaran lingkungan (skala enteng);
Ø Ancam mengancam (tergantung dari jenis ancaman); Perselisihan-perselisihan lain yang melanggar sopan santun dan sopan santun istiadat.
Perselisihan sebagaimana dimaksud di atas diselesaikan secara bertahap, dimana tingkat pertama dilakukan melalui tingkatan gampong yang dipimpin oleh geuchik gampong, dan tahap kedua melalui tingkatan mukim, sebagaimana di jelaskan di atas, yang bahwa putusan dari tingkatan mukim ialah putusan bersifat tamat dan mengikat. Dalam hal penyelesaian ini institusi penegak aturan (kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan) harus membuka ruang untuk penyelesaian kasus/ perselisihan dimaksud oleh forum sopan santun gampong terlebih lampau, guna mencari win-win solution (inti Permasalah), sebagai mana di sebutkan dalam ayat ke (3). Selain pengaturan wacana batas kasus/perselisihan qanun tersebut juga mengatur wacana prosedur sanksi, sebagaimana di atur dalam pasal 16, yaitu sebagai diberikut:
Ø nasehat;
Ø teguran;
Ø pernyataan maaf;
Ø akum;
Ø diyat;
Ø denda;
Ø ganti kerugian;
Ø dikucilkan oleh masyarakat gampong atau nama lain;
Ø dikeluarkan dari masyarakat gampong atau nama lain;
Ø pencabutan gelar adat; dan
Ø bentuk hukuman lainnya sesuai dengan sopan santun setempat.
Maka jikalau melihat dari prosedur hukuman adat, tidak menerangkan kearah menang atau kalah sebagai mana yang selama ini di praktekan dalam sistem pidana dan pemidanaan nasional. Sistem hukuman dalam sopan santun ini justru membawa pada metode pertanggung jawabanan social antar individu/ keluarga dengan pihak yang berselisih serta masyarakat yang mengarah kepada win-win solution. Problem Dalam Pelaksaan Mekanisme Peradilan Adat Kendatipun secara aturan sudah secara ekplisit mengatur wacana pelaksanaan aturan sopan santun di Aceh, namun dalam keseharian masyarakat, perangkat gampong, dan abdnegara penegak hukum, masih sangat minim memakai prosedur aturan sopan santun dalam penyelesaian kasus/ perselisihan yang terjadi selama ini didalam masyarakat, dan cenderung di abaikan. Hal ini tidak terjadi begitu saja, ada beberapa faktor yang menimbulkan hal ini terjadi, antara lain:
a. kurangnya pemahaman perangkat gampong (geuchik, tuha peut, dan imum meunasah, dan mukim) secara keseluruhan dari prosedur aturan sopan santun serta penerapanya dalam menuntaskan kasus/ perselisihan yang terjadi dalam masyarakat secara adat.
b. tingkat kepercayaan masyarakat terhadap prosedur aturan sopan santun dan putusan-putusan aturan sopan santun yang masih sangat rendah,
c. tidak adanya ruang peluang yang didiberikan dari institusi penegak aturan terhadap abdnegara gampong untuk menyelesaian kasus/perselisihan dilakukan secara sopan santun istiadat.
Tiga faktor diatas ialah penyebab dari tidak berjalannya prosedur aturan sopan santun di Aceh. Dikarenakan Kurangnya Sosialisasi dari dinas-dinas wacana adanya Peraturan aturan adat, kendatipun secara aturan kawasan (qanun) sudah mengaturnya secara tegas dan jelas, serta Faktor kurangnya pemahaman perangkat gampong secara keseluruhan dari prosedur aturan adat. Penerapanya dalam menuntaskan kasus/ perselisihan yang terjadi dalam masyarakat secara adat, ialah faktor utama tidak berjalanya prosedur ini, Faktor ini lebih menitik beratkan pada tingkat Sumber Daya Manusia perangkat gampong dalam menerapkan prosedur peradilan adat.
Selain faktor diatas juga faktor rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap prosedur penyelesain aturan sopan santun dan putusan-putusan aturan adat, ini ialah faktor yang di nilai subjektif. Faktor subjektif ini ialah ke egoan (egoisme) individu masyarakat yang tidak melihat masalah sebagai suatu koreksi yang sanggup diselesaikan dengan perdamaian atau mencari akar permasalahan, dimana hukuman pidana menjadi kepuasan bagi egoisme individu.
Faktor tidak adanya ruang dan peluang bagi abdnegara gampong untuk menuntaskan kasus/ perselisihan yang terjadi untuk diselesaikan secara sopan santun oleh perangkat gampong dari institusi penegak hukum, juga menempatkan pada tidak berjalannya prosedur sopan santun di maksud, dimana institusi penegak aturan masih saja mendominasi penyelesaian kasus/ perselisihan tanpa mempersembahkan ruang kepada berjalannya prosedur sopan santun di setiap gampong dalam penyelesaian perkara.
Meskipun hal tersebut sudah disebutkan dalam pasal 13 ayat (3), yang secara tegas dikatakan bahwa institusi penegak aturan (aparat penegak hukum) untuk menyediakan ruang dalam bentuk peluang untuk penyelesaian kasus/ perselisihan dilakukan melalui prosedur adat.
KESIMPULAN
Fakta bahwa forum peradilan konvensional bentukan Negara berkinerja lamban (penumpukan kasus), rumit, mahal, dan belum sanggup melihat dengan sudut pandang keadilan bagi masyarakat, sehingga dianggap penting untuk mencari alternative penyelesaian yang lebih mengedepankan keadilan bagi tiruana pihak yang berperkara.
Mendorong penyelesaian perselisihan secara sopan santun ialah alternative untuk menjawaban kehendak penyelesaian perselisihan secara damai, melalui qanun nomor 9 tahun 2008, wacana training kehidupan sopan santun dan sopan santun instiadat, yang mempersembahkan peluang penyelesaianya melalui prosedur peradilan adat.
Pentingnya mengubah egoisitas masyarakat untuk menimbulkan aturan sopan santun sebagai prosedur alternative pada setiap permasalahan yang terjadi, serta meningkatkan pemahaman perangkat gampong khususnya menyangkut perihal prosedur pelaksanakan peradilan adat, ialah jawabanan dalam penerapan aturan sopan santun serta terwujudnya semangat untuk menjaga dan melestarikan nilai-nilai budaya dan sopan santun bagi generasi selanjutnya dimasa yang akan hadir.
0 Response to "Revitalisasi Aturan Adat"
Posting Komentar