Penetapan Aturan Era Rasulullah Azas Tasyri' Dalam Al-Quran -
A. PENETAPAN HUKUM PADA MASA RASULULLAH SAW, AZAS TASYRI’ DALAM AL-QUR’AN
Periode ini berlangsung relatif singkat, yakni selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Namun pengaruhnya sangat besar dan penting, lantaran sudah mewariskan beberapa ketetapan aturan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, dan sudah mempersembahkan petunjuk serta pedoman tentang sumber-sumber dan dalil-dalil yang dipergunakan dalam rangka untuk mengetahui suatu aturan dari duduk kasus yang belum ada ketetapannya. melaluiataubersamaini demikian, periode ini sudah mewariskan dasar-dasar pembentukan aturan tasyri’ secara sempurna.
Pada periode Rasulullah SAW ini, terdiri dari 2 fase yang masing-masing memiliki corak dan karakteristik tersendiri yaitu:
1. Fase Makkiyah
Fase makkiyah, iyalah semenjak Rasulullah SAW masih menetap di Mekah selama 12 tahun beberapa bulan, semenjak dia dilantik menjadi Rasul hingga hijrah ke Madinah. Pada fase ini ummat Islam keadaannya masih lemah kapasitasnya, belum sanggup membentuk komunitas ummat yang memiliki forum pemerintahan yang kuat. Oleh lantaran itu, perhatian Rasulullah SAW dicurahkan kepada acara penyebaran dakwah dalam rangka proyek penanaman tauhid kepada Allah SWT dan meninggalkan praktek-praktek penyembahan berhala.dan dia meragukan orang-orang yang berusaha menghalangi jalannya dakwah. melaluiataubersamaini situasi mirip ini, maka belum ada peluang membentuk undang-undang, tata pemerintahan, perdagangan dan lain-lain.
Oleh alasannya yaitu itu, pada surat-surat makkiyah al-Qur’an mirip Yunus, al-Ra’ad, al-Furqan, Yasin, dan lain-lain tidak terdapat ayat-ayat yang mengulas tentang aturan actual (amaliah). Akan tetapi, justru yang banyak pembahasannya seputar aqidah, budbahasa dan menyerupai keteladanan dari proses-proses perjalanan hidup umat-umat terlampau.
2. Fase Madaniyah
Fase madaniyah, ialah semenjak Rasulullah SAW hijrah dari Mekah ke Madinah hingga wafatnya tahun 11 H/632 M, yakni sekitar 10 tahun lamanya. Pada fase ini Islam sudah kuat, kuantitas umat Islam sudah banyak dan sudah memiliki tata pemerintahan tersendiri sehingga media-media dakwah berlangsung dengan damai.
Keadaan mirip inilah yang mendorong perlu adanya tasyri’ dan pembentukan perundang-undangan. Oleh lantaran itu, maka di Madinah disyariatkan berupa hukum-hukum pernikahan, perceraian, warisan, perjanjian, pinjaman-piutang dan lain-lain. melaluiataubersamaini demikian surat al-Baqarah, Ali Imran, an-Nisa, al-Anfal, al-Ahzab banyak memuat ayat-ayat pembahasan hukum, disamping memuat pula ayat-ayat tentang akidah, budbahasa dan kisah-kisah.
B. Sumber Hukum pada Periode Rasulullah SAW
Kekuasaan pembentukan perundang-undangan atau aturan pada priode Rasulullah SAW ditangani oleh Rasulullah SAW sendiri. Tidak seorang pun dari ummat Islam selain beliau, sanggup membentuk atau tetapkan aturan terhadap suatu permasalahan baik secara individual ataupun secara menyeluruh. Rasulullah SAW masih berada ditengah-tengah mereka sebagai tumpuan dan contoh pokok sehingga setiap ada permasalahan dikembalikan kepada beliau. Bahkan para teman bersahabat jikalau menghadapai banyak sekali problem peristiwa, terjadi perselisihan, diserang sejumlah pertanyaan atau undangan fatwa, maka mereka (para teman dekat) eksklusif menyerahkan problematika tersebut kepada Rasulullah SAW. Lalu dia memdiberi fatwa kepada mereka, merampungkan perselisihan dan persengketaan dan menjawaban pertanyaan mereka dengan memakai dasar satu, atau beberapa ayat Al-Qur’an dan terkadang juga dengan memakai hasil ijtihad sendiri yang dilandasi wangsit dari Allah, atau menurut dari petunjuk logika dan daya analisis sendiri.
Pada periode Rasulullah SAW spesialuntuk 2 sumber aturan (perundang-undangn); yaitu wahyu Ilahi (Al-Qur’an) dan ijtihad Rasulullah SAW sendiri. Kalau terjadi suatu insiden yang memerlukan adanya ketetapan hukum, maka Allah menurunkan wahyu kepada Rasulullah Saw satu atau beberapa ayat Al-Qur’an yang mengambarkan tentang hukum-hukumnya. Kemudian Rasulullah SAW memberikan wahyu tersebut kepada ummat Islam. & Kalau Allah SWT tidak menurunkan wahyu tentang hal tersebut, maka Rasulullah SAW diberijtihad untuk tetapkan aturan suatu masalah. Hasil ijtihad dia ini menjadi aturan atau undang-undang yang wajib diikuti. [1]Setiap ketetapan aturan yang bersumber dari dia itu ialah tasyri’ bagi ummad Islam.
Barang siapa yang memperhatikan dengan seksama ayat-ayat aturan dalam Al-Qur’an dan riwayat latar belakang turunnya, akan terang bahwa setiap aturan dalam Al-Qur’an itu disyariatkan lantaran adanya suatu insiden atau insiden yang menghendaki penetapan hukumnya.
Adapun sistem atau metode yang ditempuh oleh Rasulullah SAW, dalam upaya mengembalikan seluruh duduk kasus aturan kepada sumber-sumber tasyri’ ialah jikalau timbul suatu duduk kasus yang memerlukan ketetapan aturan yang jelas, maka dia menunggu turunnya wahyu berupa satu atau beberapa ayat yang memuat tentang aturan duduk kasus yang dimaksud. Kalau dia tidak mendapat wahyu terkena hal tersebut, maka dia beropini bahwa Allah SWT menyerahkan penetapan aturan atas duduk kasus itu kepada ijtihad dia sendiri. Lalu dia diberijtihad berdasar pada tuntunan Ilahi, atau atas dasar kemaslahatan atau dengan permusyawaratan para teman dekatnya.
C. Asas Tasyri’ Dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an yaitu sumber aturan Islam yang pertama dan utama. Ia memuat kaidah-kaidah aturan mendasar (asas). Ia menjadi pedoman hidup orang muslim, yang harus dikaji, dipahami makna yang dikandungnya. Al-Qur’an memuat firman Tuhan sendiri dalam kata-kata yang padat dan mengandung makna yang tidak praktis untuk dipahami. Oleh lantaran itu ia memerlukan klarifikasi dan penafsiran. Penjelasan yang baik dan tepat yaitu klarifikasi yang didiberikan oleh Nabi Muhammad SAW dengan sunnahnya.
Menurut keyakinan umat Islam, yang dibenarkan oleh peneliti ilmiah terakhir (Maurice Bucaille, 1970:185), Al-Qur’an yaitu kitab suci yang memuat wahyu Allah yang disampaikan oleh malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW sebagai rasulnya.[2]
Perkataan al-Qur’an berasal dari kata kerja qara-a artinya (dia sudah) membaca. Kata kerja qara-a ini berkembang menjadi kata kerja suruhan iqra’ artinya bacalah, dan berubah lagi menjadi kata benda qur’an, yang secara harpiyah berarti bacaan atau sesuatu yang harus dibaca atau dipelajari. Makna perkataan itu sangat erat hubungannya dengan arti ayat Al-Qur’an yang pertama diturunkan di gua Hira’ yang dimulai dengan perkataan ‘iqra membaca yaitu salah-satu perjuangan untuk menambah ilmu pengetahuan yang sangat penting bagi hidup manusia. Al-Qur’an yaitu inti sari dari tiruana prinsip pengetahuan, termasuk kosmologi dan pengetahuan tentang alam.
Prinsip-prinsip umum yang menjadi dasar dalam penetapan aturan (tasyri’) pada priode pembentukannya ini ada 4:
1. Penetapan aturan secara bertahap.
Tahapan-tahapan ini pada pada zaman pertama pembentukan berlaku dalam banyak sekali aturan yang disyariatkan. Penetapan aturan secara sedikit demi sedikit waktunya terang dan tampak bahwa hukum-hukum yang sudah disyariatkan Allah dan Rasul tidaklah diputuskan dengan cara sekaligus dalm satu undang-undang, melainkan disyariatkan dengan cara terpisah-pisah dalam kurun waktu 22 tahun beberapa bulan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan dan peristiwa-peristiwa hukum. Setiap penetapan aturan memiliki latar belakang historis dan sebab-sebab tertentu.
2. Menyedikitkan pembuatan undang-undang
Hal ini kelihatan bahwa hukum-hukum yang sudah disyariatkan Allah dan Rasulnya yaitu sekedar untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan peristiwa-peristiwa yang memang mengharuskan adanya ketetapan hukum. Dan hukum-hukum itu tidaklah disyariatkan spesialuntuk sekedar untuk menguraikan persoalan-persoalan kewajiban atau untuk merampungkan persengketaan yang terjadi. Hal ini terang dalam Al-Qur’an dan hadist tampak adanya larangan untuk memperbanyak pertanyaan yang menyebabkan lahirnya ketetapan aturan yang memberatkan.
3. Megampangkan dan meentengkan beban.
Prinsip ini sangat terang tampak dalam proses penetapan aturan Islam. Pada umumnya hukum-hukum itu disyariatkan memberikan bahwa hikmahnya yaitu untuk memdiberi kegampangan dan keentengan. Dalam beberapa situasi dan kondisi, maka disyaratkan pula aturan rukhsah yakni keentengan sehingga ada hal-hal yang haram dibolehkan lantaran dalam keadaan bahaya, dan dibolehkan meninggalkan hal-hal yang wajib jikalau memang dalam pelaksanaannya menhadirkan kesusahan hidup. Ada beberapa alasan untuk sanggup mendapat keringanan hukum, di antaranya segala macam bentuk pemaksaan, penyakit, kepergian, dan kesalahan.
4. Pemberlakuan undang-undang untuk kemaslahatan manusia.
Sebagai bukti dari prinsip ini yaitu bahwa Allah SWT, banyak membuat ketetapan-ketetapan aturan ini disertai sebab-sebab dan tujuan-tujuan aturan itu. Banyak dalil yang memberikan bahwa hukum-hukum itu diputuskan dengan tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Dalam proses penetapan aturan sudah diputuskan standar kaidah:
“Bahwa ada dan tidak adanya aturan itu berputar beserta illat-illat atau sebab-sebab “
melaluiataubersamaini demikian, penghapusan, penggantian, dan perubahan aturan dalam proses pembentukan perundang-undangan Islam ialah suatu bukti yang memberikan bahwa hukum-hukum Islam diberlakukan untuk kemaslahatan umat manusia. Selanjutnya, Sayyid Husein Nasr berkata: “sebagai pedoman awet, Al-Qur’an memiliki tiga petunjuk bagi manusia
Pertama, yaitu pedoman yang memdiberi pengetahuan tentang susunan kenyataan alam semesta dan posisi banyak sekali makhluk
Kedua, Al-Qur’an meliputi petunjuk yang menyerupai sejarah manusia, rakyat biasa, raja-raja, orang-orang suci, para nabi sepanjang zaman dan segala cobaan yang menimpa mereka.
Ketiga, Al-Qur’an meliputi sesuatu yang susah untuk dijelaskan dalam bahasa biasa. Karena berasal dari firman Tuhan. Ayat-ayat itu memiliki kekuatan melindungi manusia.
Oleh lantaran itu, Al-Qur`an banyak mengemukakan prinsip-prinsip umum yang mengatur kehidupan insan dalam diberibadah kepada Allah SWT, meskipun kegiatan muamalah terjadi secara interaksi antara sesame makhluk, termasuk alam semesta. Namun Al-Qur`an & Hadits tetap menjadi hokum dasar yang harus dipedomani oleh insan menurut prinsip bahwa kegiatan itu berada dalam rangka diberibadah kepada Allah SWT. melaluiataubersamaini demikian, tiruana perbuatan insan yaitu ibadah kepada Allah sehingga dihentikan berperihalan dengan hokum-Nya, & ditujukan untuk mencapai keridaan-Nya.[3]
0 Response to "Penetapan Aturan Era Rasulullah Azas Tasyri' Dalam Al-Quran -"
Posting Komentar