Hadits Wacana Komitmen Nikah Dan Takhrijnya (Keadilan Dalam Poligami)

 Barang siapa mempunyai dua orang istri dan ia condong kepada salah satu diantara mereka HADITS TENTANG PERNIKAHAN DAN TAKHRIJNYA (KEADILAN DALAM POLIGAMI)
Baca Juga:


HADIS TENTANG PERNIKAHAN

(KEADILAN DALAM POLIGAMI)





A.    Teks Hadist
Hadist pertama:
وعن أبى هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: من كانت امرأتاان فمال إلى إحداهما جاء يوم القيامة وشقه مائل .(روه أحمد والأربعة وسنده صحيح)
Artinya:
“ Barang siapa mempunyai dua orang istri dan ia condong kepada salah satu diantara mereka, pasti pada hari tamat zaman nanti ia akan hadir dengan tubuh miring”
Hadist kedua:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذاأراد سفرا أقرع بين نسائه فأيتهن خرج سهمها خرج بها معه، وكان يقسم لكل امرأة منهن يومها وليلتها غير أن سودة بنت زمعة وهبت يومها لعائشة رضي الله عنها. )رواه الثلاثة والنسائي(
Artinya:
“Apabila hendak bepergian, ia selalu mengadakan undian di antara isteri-isterinya, siapa pun dia antara mereka yang keluar namanya (dalam undian itu), maka ia pergi bersamanya, nabi SAW selalu menggilir masing-masing isterinya selama siang dan malam harinya, spesialuntuk siti Saudah mempersembahkan giliran kepada siti Aisyah r.a.”
B.     Takhrij Hadist
Hadist pertama:
Dalam hadist yang pertama ini, ada beberapa perbedaan jalur sanad, yaitu dalam sunan al- Dzarimi nomor 2109, Ibnu Majjah 1959, Abu Dawud 1821, Al Nasa’i 3881 dan Al Tirmidzi 1060, dan musnad ahmad: 7595.
Pada beberapa redaksi hadist diatas, ada dua penerapan kata yang tidak sama, yakni pada kata ساقطا   dan مائل, kedua arti tersebut mempunyai makna yang sama, yaitu condong dan miring. Adapun kualitas dari hadist diatas, ialah sebagai hadist yang Marfu’ Muttasil, yaitu ketersambungan sanadnya hingga pada Rasulullah SAW. Sedangkan dalam kumpulan hadist-hadist Shahih Rasul, ialah kategori hadist Shahih, dan juga sudah menjadi kesepakatan dari empat Imam, yakni Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i Dan Ibnu Majjah.
Hadist kedua:
Pada hadist yang kedua ini ada beberapa perbedaan dalam pentakhrijan hadist, yaitu adanya perbedaan yang satu dengan yang lainnya antara hadis yang terdapat dalam kitab al Bukhari nomor hadist 2491 dan kitab Sunan Abu Dawud nomor hadist 1826, dan Musnad Imam Ahmad 23714.
C. Korelasi melaluiataubersamaini Hadis Lain
Hadis di atas mempunyai hubungan dengan hadis yang lain yaitu dalam kumpulan hadis-hadis Rasul SAW yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a. hadis tersebut berbunyi : “Diriwayatkan dari Aisyah r.a berkata: ‘Aku tidak pernah meihat perempuan yang paling saya senangi daripada Saudah binti Zam’ah dan saya ingin kalau sanggup menyerupai dia. Dia ialah seorang perempuan yang tajam fikirannya. Sesudah Saudah tua, giliran dari Rasulullah SAW diserahkan kepada Aisyah r.a. Saudah berkata: “Wahai Rasulullah, saya diberikan giliranku sehari pada Aisyah, kemudian Rasul memdiberi giliran kepada Aisytah r.a dua hari, sehari jatah gilirannya sendiri dan sehari lagi giliran pemdiberian Saudah.”
Demikian pula pada kitab Sunan ad-Darimi nomor hadist 2208 terdapat hadist dan jalur sanad yang tidak sama, yakni:
أخبرنا إسماعيل حدثنا ابن المبارك, عن يونس بن يزيد, عن الزهري, عن عروة, عن عائشة, قالت: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم . إذاسافر أقرع بين نسائه, فأيتهن حرج سهمها, خرج بها معه

Artinya: Ismail mengabarkan kepada kami, Ibnu al Mubarak menceritakan kepada kami dari yunus bin yazid, dari al Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah, dia berkata “ Apabila Rasul SAW akan bepergian, maka ia akan mengundi (siapa yang akan ikut) diantara istri-istri beliau. Siapapun diantara mereka yang keluar undiannya, maka dia akan berangkat berasama beliau”[1]
melaluiataubersamaini demikian, hadis di atas kualitasnya sebagai hadis marfu’ (ketersambungan sanad kepada Rasulullah SAW).
D. Makna Mufradat
Hadist Pertama:
من كانت له أمرأتان (Barang siapa mempunyai dua orang istri) bagi setiap kaum pria yang mempunyai istri lebih dari satu (poligami) dianjurkan untuk berbuat adil terhadap istri-istrinya. Dalam hal nafkah lahir dan bathin menyerupai yang dicontohkan oleh Nabi SAW termasuk dalam hal penyediaan makanan, pakaian, daerah tinggal dan pinjaman waktu (giliran) dan Allah memerintahkan semoga seorang suami tidak telalu menyampaikan kecintaan yang berlebihan terhadap salah seorang diantara mereka yang akan berakibat kekecewaan dan penderitaan dihati mereka yang lain.
جاء يوم القيامة وشقه مائل (Maka dia akan datang pada hari tamat zaman dalam keadaan pecahan samping (tubuhnya) miring).
Hadist Kedua:
اذَاأَرَادَسَفَرًا  (Apabila hendak safar). Secara dzahirnya, undian dilakukan secara khusus dikala safar, tetapi ia tidak berlaku umum, bahkan undian untuk memilih siapa yang ikut bepergian bersama Beliau, melainkan dikala hendak membagi giliran diantara istri-istrinya. Dalam membagi giliran ia tidak memulai darimana saja yang ia sukai, melainkan berdasarkan nomor undian.
 أَقْرَعَ بَيْنَ نِسَا نِهِ (Mengundi diantara istri-istrinya). Ibnu Sa’ad menambahkan dari jalur sanad al-Qasim, dari Aisyah RA, فَكَا نَ اِذَاخَرَجَ سَهْمُ غَيْرِي عُرِفَ فِيْهِ الْكَرَاهِيَةُ
(Maka apabila keluar undian selain aku, tampaklah rasa tak suka diwajahnya).
Hadis ini menjadi dalil pensyari’atan undian di antara sekutu dan selainnya menyerupai yang sudah diulas pada pecahan tamat pembahasan tentang kesaksian. Pendapat yang masyhur dari kalangan Madzhab Hanafi dan Imam Malik ialah tidak berpedoman kepada undian. Iyadh berkata “inilah pendapat masyhur dari imam Malik dan Ulama’ulama Madzhabnya lantaran ia termasuk spekulasi dan judi. Namun Madzhab Imam Hanafi membolehkannya.”
Sedangkan para ulama dari madzhab Maliki melarang perbuatan ini dengan alasan bahwa sebagian isteri kadang lebih bermanfaa dalam perjalanan dibanding yang lainnya. Apabila nomor undian yang keluar itu ialah milik isteri yang kurang bermanfaa dalam perjalanan, tentu akan memudharatkan suami, dan demikian juga sebaliknya. Terkadang sebagian perempuan lebih baik dalam menjaga dan mengurus rumah suami dibanding yang lainnya. Dalam pernyataan ini terdapat perilaku menjaga pandangan dalam madzhab dan selamat pula dari tindakan menolak hadis lantaran memahaminya dalam konteks yang khusus seperti dia mengkhususkan cakupan umum hadis berdasarkan makna.[2]
 وَكَيْفَ يَقْسِمُ ذَلِكَ(Bagaimana ia membagi hal itu).
Para ulama berkata “apabila seorang isteri memdiberi gilirannya kepada madunya, maka suami membagikan untuk isteri yang didiberi itu pada hari yang sama dengan giliran isteri yang memdiberinya.”
Kemudian istri yang memberi gilirannya berhak menarikdanunik kembali kapan saja yang ia kehendaki. Tetapi untuk masa yang akan datang bukan masa yang sudah silam. Namun, Ibnu Baththal menyampaikan bahwa saudah tidak berhak menarikdanunik kembali gilirannya yang sudah ia diberikan kepada Aisyah RA.
Imam Bukhori meriwayatkan Hadist ini dari Malik Malik bin Ismail, dan Zuhair, dan Husain, dari Bapaknya, dari Aisyah RA. أَنسودة بنت زمعة (Sesungguhnya Saudah binti Zam’ah). Dia ialah isteri Nabi SAW . Beliau berkeluargainya di Makkah sehabis Khadijah wafat. Di Makkah pula Nabi menggaulinya, lau dia turut hijrah bersama beliau.  Imam Muslim meriwayatkan dari Syarik dari Hisyam dalam Hadist ini   وكان أول إمرأة تزوجها بعدي(Aisyah berkata “Ia ialah perempuan yang pertama dinikahi Nabi SAW sesudahku”). Nabi Muhammad melaksanakan kesepakatan dengan Saudah sehabis kesepakatan dengan Aisyah R.A. tetapi Nabi menggauli Saudah terlebih lampau daripada Aisyah berdasarkan kesepakatan. Masalah ini sudah disinggung oleh Ibnu al-Jauzi.
 وهبت يومها لعا ئشة (Dia mempersembahkan gilirannya kepada Aisyah RA). Sudah disebutkan pada pembahasan tentang Hibah dari Az-Zuhri, dari Urwah dengan lafadz  يومها وليلتها(Hari dan malam giliranya) kemudian pada pecahan alhasil disebutkan  تبتغ بذلك رضا رسول الله صلئ الله عليه وسلم (ia mengharapkan keridhaan Rasulullah SAW dengan perbuatannya itu). Dalam riwayat Imam Muslim dari jalur Uqbah bin Khalid dari Hisyam disebutkan  لما أن كبرت سودة و هبت (ketika Saudah sudah tua, dia mempersembahkan) dia mengutip pula riwayat serupa melalui jarir dari Hisyam.
Abu Daud meriwayatkan juga hadist ini disertai suplemen keterangan tentang penyebabnya, dan ia lebih terperinci dari pada riwayat Imam Muslim, dia mengutip dari Achmad bin Yunus, Abdurrahman bin Abi Az-Zaid dari Hisyam bin Urwah melalu sanad menyerupai diatas,  كان رسول الله صلئ الله عليه وسلم لايفصل بعضنا علئ بعض فئ القسم  (Biasanya Rasulullah SAW tidak melebihkan sebagian kami atas sebagian yang lain dalam hal pinjaman giliran). Didalamnya disebutkan  ولقد قاللت سودة بنت زمعة حين أ سنت وخا فت أ ن يفا رقها رسول ا لله صلى الله عليه وسلم: يا رسول الله يومي لعا نشة فقبل ذلك منها ففيها وأشبا هها نز لت و ان امرأة خا فت من بعلها نشوزا (Saudah bin Zam’ah berkata dikala sudah lanjut usia dan takut akan ditinggalkan Rasulullah SAW “Wahai Rasulullah giliranku s” Beliau Nabi Muhammad SAW pun mendapatkan darinya.
Ibnu Sa’ad mengutip dengan sanad yang diriwayatkan oleh para periwayat yang tsiqah (terpercaya) dari Al-Qasim bin Abu Bazzah, secara mursal  النبي صلئ الله عليه وسلم طلقها فقعدت له علي طريقه فقالت: والذي بعثك بالحق مالي فئ الرجال حاجة ولكن آحب أن أبعث مع نسائك يوم القيامة قال شدك بالذي انزل عليك الكتاب هل طلقتني لموجدة وجدتها علي؟ قال: لا, قالت: فأنشدك لما رجعتني فراجعها قالت: فإن قد جعلت يومي وليلتي لعائشة حبة رسول الله صلي الله عليه وسلم(Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW menceraikannya, maka ia duduk di jalan yang dilalui ia dengan berkata “Demi yang mengutusmu dengan kebenaran, sungguh saya tidak lagi mempunyai hajat terhadap laki-laki, tetapi saya ingin dibangkitkan dengan istri-istrimu pada hari kiamat, maka saya memohon Demi yang menurunkan Al-Kitab kepadamu, “Apakah engkau menceraikanku lantaran sesuatu kekesalan terhadap diriku?” ia menjawaban “ Tidak” Ia berkata “Aku memohon kepadamu semoga engkau rujuk kepadaku “ maka Nabi Muhammad SAW pun rujuk kepadannya. Ia berkata “ Sungguh saya akan menyebabkan hari dan malam giliranku untuk Aisyah RA keakungan Rasulullah SAW”.
 وكان النبي صلى الله عليه وسلم يقسم لعائئشة بيومهاويوم سودة(Nabi Muhammad SAW membagi waktunya untuk Aisyah RA gilirannya dan giliran untuk Saudah). Dalam riwayat jarir dari Hisyam yang dikutip Imam Muslim disebutkan  فكان يقسم لعائشة يومين يومها ويوم سودة(Maka Beliau membagi untuk Aisyah dua hari, hari gilirannya dan hari giliran Saudah)[3]
E.   Kata Kunci Hadis
Pada hadits yang pertama Lafadz Imraatani (امرأتاان) mununjukkan makna khas, lantaran pada lafadz tersebut menghususkan dua orang, tetapi bukan berarti poligami diperbolehkan cuman dua orang, akan tetapi didalam islam poligami dibatasi empat orang istri, dan boleh hukumnya diberistri  sampai empat orang. Makna lain pada hadis diatas ialah menyampaikan fi’il amar pada posisi sighot khobariyah yang mengabarkan bagi pria yang melaksanakan poligami, lafadz yang menyampaikan shighot khobariyah ialah bagi suami yang melaksanakan poligami yang apabila nilai keadilan kepada para istri-istriya maka dikabarkan pada suami itu  pada hari tamat zaman ia akan hadir dalam keadaan miring atau badannya berat sebelah.
Dalam indikator lain bahwa hadits tersebut mengandung sebuah hukum wadl’i yang berupa syarat bahwa dalam tersebut secara kontekstual bagi suami yang berpoligami harus berpegang pada syarat poligami yaitu nilai-nilai keadilan. Selain itu terdapat juga katagori sebab akibat, yaitu kalau seorang suami yang melaksanakan poligami tidak adil terhadap istri-istrinya (sebab), maka pada hari tamat zaman ia akan hadir dalam keadaan badaannya miring atau berat sebelah (akibat).
Pada hadits kedua ini tedapat terdapat lafadz mutlak yaitu pada lafadz Yaqsimu (يقسم ) kemuadian ditaqyid oleh hadis lain yang membuktikan tentang giliran bagi orang yang melaksanakan poligami jikalau suami itu berkeluarga lagi dengan seorang perawan maka ia harus menemani selama tujuh hari tujuh malam, akan tetapi ia kawin lagi dengan seorang janda maka ia harus menemaninya selama tiga hari tiga malam kemudian pada kedua indikator tersebut sudah ditunaikan maka selanjutnya berlaku untuk membagi giliran sesuai kesepakatan para istri-istrinya.
Ketentuan ini wajib hukumnya untuk menghilangkan rasa aib dan saling mengenal dari masing-masing hingga sanggup rukun. Dianggap cukup masa tiga hari tiga malam bagi janda lantaran ia sudah mengalami hidup dengan lelaki lain, tidak sama dengan perawan, maka ia masih malu-malu dan serasa masih berada dalam pingitannya, lantaran itu diharapkan adanya kesabaran dan hati-hati.[4]
F.   Kandungan Hukum dan Metode Istimbat
Adapun kandungan aturan dari hadist yang pertama, “Barang siapa yang mempunyai dua istri, kemudian memberatkan kepada salah satunya, maka ia akan hadir pada hari tamat zaman dengan bahunya miring”. Kandungan hadis tersebut membuktikan bahwa kalau suami khawatir berbuat zalim dan tidak bisa memenuhi hak mereka, maka suami haram melaksanakan poligami. Jika ia spesialuntuk bisa memenuhi hak-hak isterinya yang seorang, maka ia haram berkeluargai isteri yang ke dua, begitupun seterusnya.
Al Mubarakfuri dalam Tuhfah al ahwadzi, berkata: “ ath-Thayibi menuturkan, “separuh pundaknya miring, sehingga sanggup dilihat dengan terperinci oleh orang-orang yang sedang berkumpul dipadang mahsyar. Itu ialah suplemen siksaan baginya.” Hukum ini tidak spesialuntuk berlaku bagi orang yang mempunyai dua orang isteri saja melainkan berlaku bagi para suami yang diberisterikan tiga atau empat orang, kalau suami tidak bisa bersikap adil.
Syamsyul Haq al Azim Abadi dalam ‘Aun al Ma’bud  berkata bahwa” hadist tersebut menjadi dalil bahwa seorang suami wajib menyamaratakan gilirannya (perlakuan) diantara para istrinya, dan haram baginya untuk condong kepada salah satu seorang dari mereka. Allah sudah berfiirman Q.S al Nisa’: 129. “ ….karena itu tidakbolehlah engkau terlalu cenderung kepada yang engkau cintai”[5]
Dalam kitab mukhtashar kitab al- Umm fi al Fiqh, Imam al Syafi’I berkata dalam hadist yang kedua, “ kalau seseorang akan melaksanakan safar (perjalanan), sementara ia mempunyai istri lebih dari satu, dan ia hendak keluar bersama salah seorang diantara mereka semoga tidak terlalu berat dalam perjalanan, bila harus mengajak tiruananya, dan tidak keluar  tanpa dikawani seorang istripun. Maka, hak para istri dalam hal ini adalah sama. Siapa saja yang undiannya keluar, maka suami berangkat bersama isterinya itu. Dan apabila sudah kembali, maka dimulai lagi pinjaman giliran gres tanpa memperhitungkan hari-hari bersama isteri yang menemaninya dalam perjalanan.[6]
Para ulama juga setuju bahwa termasuk hak-hak para istri ialah keadilan diantara mereka dalam duduk perkara pertolongan, berdasarkan hadist shahih tentang pinjaman Nabi diantara para istri ia dan berdasarkan sabda Nabi SAW:
 إذا كان للرجل امرأتاان فمال إلى إحداهما جاء يوم القيامة وأحد وشقه مائل
Jika seseorang mempunyai dua istri, kemudian dia lebih condong kepada salah satu dari keduanya, maka pada hari tamat zaman dia akan hadir dalam keadaan salah satu sisinya miring”.
Mereka juga tidak sama pendapat tentang tinggalnya suami ditempat gadis dan janda, apakah harus menghitung tinggalnya atau tidak, kalau dia mempunyai istri lagi:
1.      Malik, Syafi’I dan para pengikutnya beropini bahwa tinggal ditempat istri yang masih gadis selama tujuh hari, dan di daerah istri yang sudah janda selama tiga hari dan tidak menghitungnya dengan hari-hari yang lampau dia berkeluarga,  jika ia mempunyai istri lagi.
2.      Abu Hanifah beropini bahwa, tinggal ditempat istri-istri tersebut secara sama, baik gadis atau janda dan menghitungnya dengan hari dikala dia tinggal di daerah istrinya, kalau ia mempunyai istri lagi[7]
Adapun syarat-syarat boleh melaksanakan pologami adalah:
1.      Mampu berbuat adil kepada tiruana istrinya, yang ditegaskan dalam Q.S an- Nisa: 3, “Kemudian jika engkau tidak bisa berlaku adil, maka nikahlah seorang saja. Demikian pula dalam Q.S An-Nisa: 129, “dan engkau sekali-kali tidak akan sanggup berlaku adil diantara istri-istrimu, walaupun engkau sangat ingin berbuat demikian”. Maksud kesanggupan dari ayat tersebut adalah, kesanggupan bekerjasama dengan cinta, bekerjasama dengan intim dan syahwat. Sedangkan Ibnu Qudamah berkata bahwa: “Setahu kami, tidak ada ulama yang tidak sama pendapat tentang tidakwajibnya menyamakan seluruh istri dalam hal hubungan intim. Karena hubungan intim dilakukan berdasarkan syahwat dan kecenderungan keduanya tidak mungkin dikuasai oleh manusia, lantaran hatinya bisa saja lebih cenderung kepada salah seorang istrinya dari pada istrinya yang lain. Sementara, nafkah secara lahirnya seorang pria wajib hukumnya menyamakan hak nafkah antara tiruana istrinya.
2.      Mampu menjaga diri untuk tidak terpedaya dengan istri-istrinya itu dan tidak meninggalkan hak-hak Allah lantaran keberadaan mereka.
3.      Memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan lahiriyah dan menjaga kehormatan mereka. Hal ini bertujuan, semoga istri-istrinya terhindar dari kenistaan dan kerusakan.
4.      Memiliki kesanggupan untuk memdiberi nafkah kapada mereka.[8]

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
     Dari klarifikasi dua Hadist diatas terkena keadilan terhadap istri-istri dalam berpoligami, sanggup diambil pelajaran, bahwa berbuat adil terhadap istri-istri sangatlah penting, dimana untuk membuat suatu rumah tangga yang tentram, damai, dan penuh dengan keharmonisan dan keberkahan.
Para ulama setuju dan pendapat mereka yang dikuatkan oleh hadist-hadist serta perbuatan Rasulullah SAW, bahwa yang dimaksud adil dalam poligami ialah adil dalam materi, menyerupai pemdiberian nafkah, daerah tinggal, pakaian, waktu bermalam (gilir), pengobatan dan segala yang bekerjasama dengan pergaulan suami istri yang mungkin bisa diterapkan keadilannya.
Mengenai adil terhadap istri-istri dalam duduk perkara cinta dan kasih akung, Abu Bakar bin Araby menyampaikan bahwa hal ini berada diluar kesanggupan manusia, lantaran cinta itu adanya dalam genggaman Allah SWT yang bisa membolak baliknya berdasarkan kehendak-Nya. Begitupula dengan hubungan seksual, terkadang suami garang dengan istri yang satu, tetapi tidak garang dengan istri lainnya.
Dalam hal ini, apabila tidak disengaja, ia tidak terkena aturan dosa lantaran berada diluar kemampuannyaa. Oleh lantaran itu, ia tidak dipaksa untuk berlaku adil. 
DAFTAR PUSTAKA

[9][1] Imam Ad-Darimi, Sunan Ad-Dzarimi, ( Jakarta: Pustaka Azzam, September 2007), Hal 341
[10][2] Ibnu Hajar Al Asqolani, Fathul Barri (Jakarta: Pustaka Azam, 2008) Hal 714-715
[11][3] Ibid, hal 720-722
[12][4] Abdul Wahab Kholaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Jeddah: Darul Kutub Al Islamiyah, 2010), Hal 163
[13][5] Muhammad Bi Kamal Khalid As-Syuyuthi, Kumpulan Hadist-Hadist Yang Di Sepakati 4 Madzhab,(Jakarta: Pustaka Azam, Juli 2006), Hal 261-262.
[14][6] Imam Syafi’i Abu Abadullah Muhammad Bin Idris, Muchtasar Kitab Al Umm Al Fiqh, (Jakarta: Pustaka Azam, 2005), Hal 441
[15][7] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujatahid, ( Jakarta: Pustaka Azam, Mei 2007), Hal 111
[16][8] Bin Sayyid Salim Dan Abu Malik Kamal, Fiqih Sunnah Lin Nisa’, (Jakarta Timur: Darul Bayan Al- Haditsah, 2007), Hal 727
[17][9] Fiqih Munakahat, Abdul Rahman, ( Jakarta: Kencana, 2010), Hal 136[1] Imam Ad-Darimi, Sunan Ad-Dzarimi, ( Jakarta: Pustaka Azzam, September 2007), Hal 341
[2] Ibnu Hajar Al Asqolani, Fathul Barri (Jakarta: Pustaka Azam, 2008) Hal 714-715
[3] Ibid, hal 720-722
[4] Abdul Wahab Kholaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Jeddah: Darul Kutub Al Islamiyah, 2010), Hal 163
[5] Muhammad Bi Kamal Khalid As-Syuyuthi, Kumpulan Hadist-Hadist Yang Di Sepakati 4 Madzhab,(Jakarta: Pustaka Azam, Juli 2006), Hal 261-262.
[6] Imam Syafi’i Abu Abadullah Muhammad Bin Idris, Muchtasar Kitab Al Umm Al Fiqh, (Jakarta: Pustaka Azam, 2005), Hal 441
[7] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujatahid, ( Jakarta: Pustaka Azam, Mei 2007), Hal 111
[8] Bin Sayyid Salim Dan Abu Malik Kamal, Fiqih Sunnah Lin Nisa’, (Jakarta Timur: Darul Bayan Al- Haditsah, 2007), Hal 727

0 Response to "Hadits Wacana Komitmen Nikah Dan Takhrijnya (Keadilan Dalam Poligami)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel