Skripsi Penggalan I Hingga Iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan yang berkarakter ialah salah satu indikator kemajuan suatu bangsa. Pendidikan akan maju apabila ditunjang oleh guru yang berkarakter, kurikulum yang sesuai dan penilaian yang cermat. Pada gilirannya akan menghasilkan peserta didik yang handal sesuai dengan tuntutan zaman yang semakin progresif dan kompleks.
Berhasil atau tidak suatu pendidikan salah satunya yakni lantaran guru. Guru mempunyai peranan yang sangat penting dalam perkembangan dan kemajuan anak didiknya, dari sinilah guru dituntut untuk sanggup menjalankan kiprah dengan sebaik-baiknya. Untuk sanggup mencapai tujuan pengajaran yang diharapkan guru harus pintar memilih metode yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan anak didik, supaya anak didik sanggup mengikuti proses pembelajaran secara seksama dan memperoleh kepahaman terhadap materi yang sudah disampaikan oleh gurunya.
Kegiatan pembelajaran terdapat dua kegiatan yang sinergik yaitu guru mengajar dan siswa belajar. Guru mengajarkan bagaimana siswa harus belajar, sementara siswa berguru bagaimana seharusnya berguru melalui aneka macam pengalaman berguru sehingga terjadi perubahan dalam dirinya dari aspek kognitif, psikomotorik dan afektif. Guru yang kompeten akan lebih bisa membuat lingkungan yang efektif dan akan lebih bisa mengelola proses berguru mengajar, sehingga hasil berguru siswa berada pada tingkat yang optimal.
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu wacana alam secara sistematis sehingga IPA bukan spesialuntuk penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep atau prinsip-prinsip saja, tetapi juga ialah suatu proses penemuan. Pendidikan IPA diharapkan sanggup menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembelajarannya menekankan pada pemdiberian pengalaman pribadi untuk berbagi kompetensi biar menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah (BSNP 2006 dalam Isriani dan Dewi Puspitasari, 2012: 149-150).
Seorang pendidik dituntut untuk menguasai metode, lantaran sanggup memmenolong pendidik untuk mempergampang tugasnya dalam memberikan mata pelajaran. Yang terpenting metode digunakan agar siswa bisa berperan aktif dalam proses berguru mengajar. Hal ini sangat berafiliasi dengan kurikulum yang digunakan dalam pembelajaran kini yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), pendidik dituntut untuk menerapkan tiga ranah dalam pendidikan yaitu aspek kognitif, afektif dan psikomotorik, dan juga guru diharapkan bisa melihat tingkat kemampuan yang dimiliki oleh siswa, baik itu siswa yang visual, auditorial maupun kinestik.
Salah satu pembelajarannya yakni dengan memakai metode resitasi (penugasan). Menurut Nana Sudjana (2009: 81), bahwa “Tugas dan resitasi tidak sama dengan pekerjaan rumah, tetapi jauh lebih luas dari itu. Tugas bisa dilaksanakan di rumah, di sekolah, di perpustakaan dan di kawasan lainnya. Tugas dan resitasi merangsang anak untuk aktif berguru baik secara individual maupun secara kelompok”. Metode resitasi bertujuan untuk melatih siswa biar sanggup meningkatkan hasil berguru yang terbaik dalam materi pelajaran rangka manusia. Pembelajaran ini sanggup diterapkan untuk tingkat SD/ MI lantaran hampir tiruana materi dan sifatnya yang ada berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Untuk itu materi pelajaran rangka insan cocok untuk mengeksplorasi dan menambah pengetahuan serta keterampilan yang sanggup meningkatkan hasil berguru terhadap siswa kelas IV MIN 1 Kota Bandung.
Tuntutan kurikulum dan hasil berguru siswa diharapkan sanggup menambah ilmu pengetahuan, keterampilan dan pengalaman ketika mereka berada di lingkungannya, maka dalam pelaksanaan pembelajaran diharapkan suatu pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan ruang lingkup sains di SD/ MI, yaitu bekerja ilmiah dengan tujuan biar siswa sanggup latihan menguasai materi, pemahaman dan penerapannya sebagai upaya megampangkan siswa latihan untuk sanggup mengkonstruksi konsep yang sedang dipelajari. Setiap siswa mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dilema ilmu pengetahuan yang diterima dalam kehidupan nyata.
Disaat kini ini sering dijumpai para siswa yang tidak punya kesiapan dalam kegiatan berguru mengajar, terutama dalam hal materi pelajaran yang akan disampaikan, bahkan kadang lupa sama sekali, sehingga ketika di dalam kelas siswa tidak tahu materi apa yang dibahas, apalagi terkena isinya dan sering dari mereka itu melupakannya. Selain itu dalam proses berguru mengajar sering kita jumpai aneka macam permasalahan yang salah satunya yakni alokasi waktu yang tidak mencukupi, sehingga mengakibatkan interaksi berguru mengajar menjadi tidak efektif dan efesien serta tidak sesuai dengan tuntutan yang diharapkan oleh kurikulum. Permasalahan tersebut juga terjadi di MIN 1 Kota Bandung. Dari hasil observasi dan wawancara peneliti dengan dewan guru dan pihak sekolah, sanggup diambil kesimpulan bahwa di MIN 1 Kota Bandung mengalami permasalahan pembelajaran, khususnya mata pelajaran IPA di kelas IV.
Kondisi tersebut tentu saja kuat pada hasil berguru siswa kelas IV MIN 1 Kota Bandung. Hal ini terlihat pada ketika diadakan ulangan harian, banyak diantara siswa yang mendapat nilai di bawah rata-rata dengan KKM yaitu 60, sehingga guru harus mengulang lagi materi yang sudah diajarkan dan diadakan remedial untuk memdiberi peluang pada siswa memperbaiki nilai mereka. Efeknya yakni alokasi waktu untuk materi diberikutnya menjadi berkurang, sehingga waktu yang dimiliki oleh guru untuk memberikan materi diberikutnya juga berkurang dikarenakan waktu yang sudah tersita untuk mengulang materi yang sebelumnya. Resiko yang muncul kemudian yakni siswa akan kewalahan dalam menghadapi ujian semester dan ujian kenaikan kelas, lantaran materi yang diujikan meliputi beberapa aspek seluruh Bab pada semester ganjil.
Berdasarkan hal di atas untuk mengatasinya diharapkan metode pembelajaran biar pelaksanaan berguru mengajar sanggup terlaksana secara efektif, satu metode yang bisa meterbaikkan waktu yang tersedia serta bisa memaksa siswa terus berguru walaupun tidak dalam proses pembelajaran di kelas, salah satunya yaitu menerapkan atau menggunakan metode resitasi (penugasan), baik itu kiprah individual atau kelompok, rumah/ sekolah. Metode resitasi pada hakekatnya yakni menyuruh anak didik untuk melaksanakan kegiatan (pekerjaan) belajar, baik mempunyai kegunaan bagi dirinya sendiri maupun dalam proses memperdalam dan memperluas pengetahuan dan pengertian bidang studi yang dipelajarinya.
MIN 1 Kota Bandung mempunyai delapan kelas yaitu masing-masing kelas I-VI mempunyai dua kelas A dan B yang pembelajarannya untuk kelas I-III pecahan pagi dan kelas IV-VI pecahan siang, untuk masing-masingnya terdiri dari 31-38 siswa. MIN 1 Kota Bandung mempunyai banyak guru IPA disetiap kelasnya. Berdasarkan hasil observasi pertama di lapangan dan wawancara peneliti dengan dewan guru dan pihak sekolah, sanggup diambil kesimpulan bahwa di MIN 1 Kota Bandung mengalami permasalahan pembelajaran, khususnya mata pelajaran IPA di kelas IV. melaluiataubersamaini kondisi siswa yang masih belum memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) sekolah yaitu 60.
Menurut guru IPA di MIN 1 Kota Bandung, siswa mengalami kesusahan berguru IPA lantaran guru lebih sering menerangkan materi pelajaran dengan memakai metode ceramah dan siswa cenderung spesialuntuk mencatat dan menyalin. Untuk mengatasinya, maka metode yang cocok digunakan dalam penelitian ini yakni metode resitasi biar pelaksanaan berguru mengajar sanggup terlaksana secara efektif, satu metode yang bisa meterbaikkan waktu yang tersedia serta bisa memaksa siswa terus berguru walaupun tidak dalam proses pembelajaran di kelas, salah satunya yaitu dengan menerapkan metode resitasi sebagai langkah alternatif dalam rangka mengefesiensikan proses pembelajaran.
Berdasarkan uraian di atas, sanggup disimpulkan bahwa untuk melaksanakan penelitian ini didiberi judul “PENERAPAN METODE RESITASI SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN IPA MATERI RANGKA MANUSIA” (Penelitian Tindakan Kelas Terhadap Siswa kelas IV MIN 1 Kota Bandung).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dengan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka sanggup diambil suatu permasalahan yang memerlukan klarifikasi yang lebih akurat dan mendetail. Adapun beberapa rumusan masalah yang terkait, sebagai diberikut:
1. Bagaimana realitas penerapan metode resitasi sebagai upaya meningkatkan hasil berguru siswa kelas IV MIN 1 Kota Bandung pada mata pelajaran IPA materi rangka manusia?
2. Bagaimana peningkatan hasil berguru siswa kelas IV MIN 1 Kota Bandung pada materi rangka insan melalui penerapan metode resitasi pada setiap siklus dan antar siklus?
C. Tujuan Penelitian
Dari uraian di atas, maka tujuan pokok penelitian ini yakni sebagai diberikut:
1. Mengetahui wacana realitas penerapan metode resitasi sebagai upaya meningkatkan hasil berguru siswa kelas IV MIN 1 Kota Bandung pada mata pelajaran IPA materi rangka manusia.
2. Mengetahui peningkatan hasil berguru siswa kelas IV MIN 1 Kota Bandung pada materi rangka insan melalui penerapan metode resitasi pada setiap siklus dan antar siklus.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan sanggup bermanfaa bagi tiruana pihak yang terlibat dalam penelitian. Secara lebih rinci manfaat penelitian sanggup dijabarkan sebagai diberikut:
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan sanggup mempersembahkan kontribusi bagi pendidikan, terutama dalam proses berguru mengajar. Khususnya dalam meningkatkan hasil berguru siswa pada mata pelajaran IPA melalui penerapan metode resitasi.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi siswa, mempersembahkan peluang untuk lebih aktif dalam kegiatan pembelajaran, mempersembahkan pengalaman berguru yang lebih nyata biar siswa terbiasa sanggup mengkonstruksi pemahaman sendiri serta meningkatkan hasil berguru terhadap siswa kelas IV pada mata pelajaran IPA.
b. Bagi guru, menambah informasi wacana pembelajaran yang cocok untuk mata pelajaran IPA, adanya penemuan pembelajaran IPA oleh guru yang menitikberatkan pada metode resitasi yang sanggup meningkatkan kualitas berguru mengajar.
c. Bagi sekolah, sanggup dijadikan sumber informasi sejauh mana pemahaman siswa-siswi di sekolah tersebut.
d. Bagi peneliti, menambah pengetahuan wacana metode-metode pembelajaran beserta penerapannya dalam proses berguru mengajar dan sanggup menjadi masukan untuk berbagi penelitian selanjutnya.
Baca Juga
BAB II
LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS
A. Landasan Teori
1. Metode Pembelajaran
a. Pengertian metode pembelajaran
Metode yakni suatu cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan yang sudah diputuskan. Dalam kegiatan berguru mengajar, metode diharapkan oleh guru dan penerapannya bervariasi sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai sehabis pengajaran berakhir. Seorang guru tidak akan sanggup melaksanakan tugasnya bila ia tidak menguasai satu pun metode mengajar yang dirumuskan dan dikemukakan para jago psikologi dan pendidikan (Syaiful Bahri Djamarah, 1991a: 72 dalam Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, 2010b: 46).
Menurut Isriani Hardini dan Dewi Puspitasari (2012: 13), metode ialah cara kerja yang bersistem untuk megampangkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan. Dalam proses berguru mengajar, tentunya terdapat metode pembelajaran. Metode pembelajaran ialah cara-cara yang ditempuh guru untuk membuat situasi pengajaran yang sangat senang dan mendukung bagi kelancaran proses berguru dan tercapainya prestasi berguru anak yang memuaskan.
Berdasarkan definisi di atas, maka sanggup disimpulkan bahwa di dalam proses pembelajaran, guru harus mempunyai taktik biar siswa sanggup mencapai tujuan pembelajaran dengan baik. Strategi berarti planning yang cermat terkena kegiatan untuk mencapai samasukan khusus. Salah satu unsur dalam taktik pembelajaran yakni menguasai metode-metode penyajian atau metode mengajar.
Sebagai seorang guru, tentunya mengetahui metode-metode pembelajaran di sekolah sangatlah penting. Tanpa mengetahui metode-metode pembelajaran, tidakboleh harap proses berguru mengajar sanggup dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Oleh lantaran itu, untuk mendorong keberhasilan guru dalam proses berguru mengajar, guru seharusnya mengerti akan fungsi dan langkah-langkah pelaksanaan metode mengajar.
b. Faktor yang mensugesti penerapan metode
Menurut Prof. Dr. Winarno Surakhmad, M. Sc. Ed., dalam Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain (2010: 46), mengemukakan lima faktor yang mensugesti penerapan metode mengajar sebagai diberikut:
1) Tujuan yang berbagai-bagai jenis dan fungsinya.
2) Anak didik yang berbagai-bagai tingkat kematangannya.
3) Situasi yang berbagai-bagai keadaannya.
4) Fasilitas yang berbagai-bagai kualitas dan kuantitasnya.
5) Pribadi guru serta kemampuan profesionalnya yang tidak sama-beda.
Jadi, sanggup disimpulkan bahwa dalam kegiatan berguru mengajar, guru tidak harus terpaku dengan memakai satu metode tetapi guru sebaiknya memakai metode yang bervariasi biar jalannya pengajaran tidak membosankan, tetapi menarikdanunik perhatian peserta didik. Tetapi juga penerapan metode yang bervariasi tidak akan menguntungkan kegiatan berguru mengajar bila penerapannya tidak tepat dan sesuai dengan situasi yang mendukungnya, dan dengan kondisi psikologis peserta didik.
2. Metode Resitasi
a. Pengertian metode resitasi (penugasan)
Menurut Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain (2010: 85), metode resitasi (penugasan) yakni metode penyajian materi dimana guru mempersembahkan kiprah tertentu biar siswa melaksanakan kegiatan belajar. Masalahnya kiprah yang dilaksanakan oleh siswa sanggup dilakukan di dalam kelas, di halaman sekolah, di laboratorium, di perpustakaan, di bengkel, di rumah siswa atau dimana saja asal kiprah itu sanggup dikerjakan.
Menurut Ihat Hatimah (2003: 65), metode resitasi (penugasan) yaitu cara pemdiberian kiprah yang dilakukan oleh sumber berguru kepada masyarakat berguru yang pelaksanaannya sanggup dilakukan di dalam kelas maupun di luar kelas, serta sanggup dilakukan secara individual maupun kelompok. Tujuan metode resitasi yaitu untuk melatih masyarakat berguru biar mempunyai hasil berguru yang lebih bermakna, lantaran masyarakat berguru dituntut untuk mencari dan menemukannya sendiri.
Menurut Isriani Hardini dan Dewi Puspitasari (2012: 26), metode pemdiberian kiprah atau resitasi yakni cara penyajian materi pelajaran dimana guru mempersembahkan kiprah tertentu biar siswa melaksanakan kegiatan belajar, kemudian harus dipertanggungjawabankan. Tugas yang didiberikan guru sanggup merangsang siswa untuk aktif belajar, baik secara individual maupun kelompok.
Berdasarkan pendapat di atas, maka sanggup disimpulkan bahwa metode resitasi yakni metode yang penyajian bahannya dengan cara guru mempersembahkan kiprah tes tertentu biar siswa melaksanakan persiapan belajar.
b. Tujuan penerapan metode resitasi
Menurut Roestiyah (2001: 133), metode pemdiberian kiprah atau resitasi biasanya digunakan dengan tujuan biar siswa mempunyai hasil berguru yang lebih mantap, lantaran siswa melaksanakan tes-tes selama melaksanakan kiprah sehingga pengalaman siswa dalam mempelajari sesuatu sanggup lebih terintegrasi.
Di samping itu, sanggup disimpulkan bahwa metode resitasi juga mempunyai tujuan untuk memperoleh pengetahuan secara melaksanakan kiprah akan memperluas dan memperkaya pengetahuan serta keterampilan siswa di sekolah melalui kegiatan-kegiatan di luar sekolah. melaluiataubersamaini kegiatan melaksanakan kiprah siswa aktif berguru dan merasa terangsang untuk meningkatkan berguru yang lebih baik, memupuk inisiatif dan berani bertanggung tanggapan sendiri. Banyak kiprah yang harus dikerjakan siswa, hal itu diharapkan bisa menyadarkan siswa untuk selalu memanfaatkan waktu senggangnya untuk hal-hal yang menunjang belajarnya dengan mengisi kegaitan-kegiatan yang berguna.
c. Langkah-langkah memakai metode resitasi (penugasan)
Menurut Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain (2010: 86), ada langkah-langkah yang harus diikuti dalam penerapan metode kiprah atau resitasi, yaitu:
1) Fase pemdiberian tugas
Tugas yang didiberikan kepada siswa hendaknya mempertimbangkan:
a) Tujuan yang akan dicapai.
b) Jenis kiprah yang terang dan tepat sehingga anak mengerti apa yang ditugaskan tersebut.
c) Sesuai dengan kemampuan siswa.
d) Ada petunjuk/ sumber yang sanggup memmenolong pekerjaan siswa.
e) Sediakan waktu yang cukup untuk mengerjakan kiprah tersebut.
2) Langkah pelaksanaan tugas
a) Didiberikan bimbingan/ pengawasan oleh guru.
b) Didiberikan dorongan sehingga anak mau bekerja.
c) Diusahakan/ dikerjakan oleh siswa sendiri, tidak menyuruh orang lain.
d) Dianjurkan biar siswa mencatat hasil-hasil yang ia peroleh dengan baik dan sistematik.
3) Fase mempertanggungjawabankan tugas
Hal yang harus dikerjakan pada fase ini:
a) Laporan siswa baik lisan/ tertulis dari apa yang sudah dikerjakannya.
b) Ada tanya jawaban/ diskusi kelas.
c) Penilaian hasil pekerjaan siswa baik dengan tes maupun nontes atau cara lainnya.
Fase mempertanggungjawabankan kiprah inilah yang disebut resitasi.
Menurut Roestiyah (2001: 136), dalam pelaksanaan metode pemdiberian kiprah dan resitasi perlu memperhatikan langkah-langkah sebagai diberikut:
a. Merumuskan tujuan khusus dari kiprah yang didiberikan.
b. Pertimbangkan betul-betul apakah pemilihan metode resitasi itu sudah tepat sanggup mencapai tujuan yang sudah anda rumuskan.
c. Anda perlu merumuskan tugas-tugas dengan terang dan mudah dimengerti. Namun sebelumnya anda perlu mendalami alasan-alasan anda untuk memdiberi kiprah itu, perlu tidaknya, bermanfaa atau tidak bagi siswa. Perlu anda pertimbangkan pula penerapan metode resitasi itu, apakah tugas-tugas itu masuk akal anda diberikan, tidak memberatkan siswa? Juga selama siswa melaksanakan tugas, apakah sanggup berjalan biasa? Serta sanggup dilaksanakan pengawasan dengan baik. Apakah ada kemungkinan-kemungkinan yang menganggu siswa?
d. Anda perlu memutuskan bentuk resitasi yang akan dilaksanakan, sehingga siswa niscaya mengerjakannya lantaran bentuknya sudah pasti. Untuk hal ini anda perlu memahami bentuk-bentuk resitasi yang mungkin sanggup digunakan, sehingga anda sanggup menentukan dengan tepat. Serta mereview, apakah kemungkinan tindak lanjut sehabis anda memakai metode resitasi.
e. Anda sudah menyiapkan alat evaluasi, sehingga sehabis resitasi selesai dilaporkan di depan kelas atau didiskusikan atau untuk tanya jawaban, maka guru segera bisa mengevaluasi hasil kerja siswa itu.
Menurut Ihat Hatimah (2003: 65), langkah-langkah penerapan metode resitasi, antara lain:
1) Sumber berguru menerangkan kiprah yang harus dikerjakan oleh masyarakat belajar.
2) Warga berguru mengerjakan tugas.
3) Warga berguru melaporkan hasil kerjanya.
4) Sumber berguru bersama masyarakat berguru mengulas wacana kiprah yang sudah dikerjakan dalam rangka penyempurnaan.
Menurut Nana Sudjana (2009: 81-82), langkah-langkah memakai metode tugas/ resitasi terdiri dari 3 fase, yaitu antara lain:
1. Fase pemdiberian tugas
a. Tugas yang didiberikan kepada siswa hendaknya mempertimbangkan:
b. Tujuan yang akan dicapai
c. Jenis kiprah yang terang dan tepat sehingga anak mengerti apa yang ditugaskan tersebut.
d. Sesuai dengan kemampuan siswa
e. Ada petunjuk/ sumber yang sanggup memmenolong pekerjaan siswa
f. Sediakan waktu yang cukup untuk mengerjakan kiprah tersebut
2. Langkah pelaksanaan tugas
a. Didiberikan bimbingan/ pengawasan oleh guru
b. Didiberikan dorongan sehingga anak mau bekerja
c. Diusahakan/ dikerjakan oleh siswa sendiri, tidak menyuruh orang lain.
d. Dianjurkan biar siswa mencatat hasil-hasil yang ia peroleh dengan baik dan sistematik.
3. Fase mempertanggungjawabankan tugas
Hal yang harus dikerjakan pada fase ini:
a. Laporan siswa baik lisan/ tertulis dari apa yang sudah dikerjakan.
b. Ada tanya jawaban/ diskusi kelas
c. Penilaian hasil pekerjaan siswa baik dengan tes maupun non tes atau cara lainnya.
Berdasarkan dari beberapa pendapat di atas, maka sanggup disimpulkan bahwa metode resitasi terdapat tiga fase, di sini guru mempersembahkan kiprah sebagai diberikut:
1) Tugas yang didiberikan guru harus diadaptasi dengan kemampuan peserta didik. Dalam pelaksanaan kiprah itu kemungkinan peserta didik akan menjawaban dan menuntaskan suatu bentuk hitungan dan ada pula berbentuk sesuatu yang harus diselesaikan, ada pula berbentuk suatu yang baik dari aneka macam aspek.
2) Murid melaksanakan kiprah (belajar) cara anakdidik berguru akan terlaksana dengan baik apabila ia berguru sesuai dengan petunjuk yang didiberikan guru dan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.
3) Murid mempertanggungjawabankan hasil pekerjaannya (resitasi). Resitasi itu juga akan masuk akal apabila sesuai dengan tujuan pemdiberian tugas.
Untuk penyempurnaan penerapan metode resitasi, maka sumber berguru sebaiknya memperhatikan hal-hal sebagai diberikut:
a) Sumber berguru mengetahui dasar kemampuan dari setiap masyarakat berguru dalam mengerjakan kiprah sesuatu.
b) Tugas yang didiberikan kepada masyarakat berguru harus diadaptasi dengan kemampuannya, sehingga tidakboleh menjadi beban terlalu berat bagi masyarakat belajar.
c) Tugas yang didiberikan tidakboleh terlalu banyak tetapi harus diadaptasi dengan kedudukan kiprah tersebut dihubungkan dengan kebutuhan materi pelajaran.
d) Adanya pembahasan bersama wacana kiprah yang sudah didiberikan tersebut supaya lebih bermakna bagi masyarakat belajar.
d. Kelebihan dan belum sempurnanya metode resitasi
Menurut Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain (2010: 87), metode kiprah dan resitasi mempunyai beberapa kelebihan dan belum sempurnanya, antara lain:
1) Kelebihannya:
a) Lebih merangsang siswa dalam melaksanakan kegiatan berguru individual ataupun kelompok.
b) Dapat berbagi kemandirian siswa di luar pengawasan guru.
c) Dapat membina tanggung tanggapan dan disiplin siswa.
d) Dapat berbagi kreativitas siswa.
2) Kekurangannya:
a) Siswa susah dikontrol, apakah benar ia yang mengerjakan kiprah ataukah orang lain.
b) Khusus untuk kiprah kelompok, tidak jarang yang aktif mengerjakan dan menuntaskan yakni anggota tertentu saja. Sedangkan, anggota lainnya tidak berpartisipasi dengan baik.
c) Tidak mudah mempersembahkan kiprah yang sesuai dengan perbedaan individu siswa.
d) Sering mempersembahkan kiprah yang monoton (tidak bervariasi) sanggup menjadikan kebosanan siswa.
Menurut Ihat Hatimah (2003: 67), dalam penerapan suatu metode niscaya ada kelebihan dan belum sempurnanyanya, begitu juga dengan metode ini.
(1) Kelebihan metode resitasi, antara lain:
(a) Menambah pengalaman bagi masyarakat berguru sehingga dalam pemahaman suatu materi lebih terintegrasi.
(b) Memperluas pengetahuan dan keterampilan masyarakat berguru dengan adanya perjuangan sendiri.
(c) Warga berguru akan lebih aktif belajar.
(d) Melatih masyarakat berguru untuk bertanggung tanggapan dan berusaha mandiri.
(2) Kelemahan metode resitasi, antara lain:
a) Apabila tidak ada pengawasan dan sumber belajar, kemungkinan ada masyarakat berguru spesialuntuk memalsukan kiprah kawannya.
b) Bagi masyarakat berguru yang kurang termotivasi dengan adanya tugas, maka kemungkinan lain tugasnya pribadi dikerjakan oleh orang lain atau mengerjakan tugasnya asal-asalan.
Teknik resitasi ini mempunyai kebaikan sebagai metode penyajian ialah lantaran siswa mendalami dan mengalami sendiri pengetahuan yang dicarinya, maka pengetahuan itu akan tinggal usang di dalam jiwanya. Apalagi dalam melaksanakan kiprah ditunjang dengan minat dan perhatian siswa, serta kejelasan tujuan mereka bekerja. Pada peluang ini, siswa juga sanggup berbagi daya berpikirnya sendiri, daya inisiatif, daya kreatif, tanggung tanggapan dan melatih berdiri sendiri. Namun, metode ini juga tidak lepas dari kelemahan-kelemahannya ibarat siswa kemungkinan spesialuntuk memalsukan pekerjaan kawannya, itu kelemahannya bila guru tidak sanggup mengawasi pribadi pelaksanaan kiprah itu. Kaprikornus siswa tidak menghayati sendiri proses berguru mengajar itu sendiri. Kemungkinan lain, orang lain yang mengerjakan kiprah itu maka perlu diminta menolongan orang renta dengan memdiberitahu bahwa anaknya mempunyai kiprah yang harus dikerjakan di rumah, sehingga sanggup turut mengawasi pelaksanaan tugas, sanggup menjadi kawasan mengecek apakah itu pekerjaan siswa bergotong-royong atau bukan (Roestiyah, 2001:135).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, sanggup disimpulkan bahwa tiruana guru niscaya memdiberi tugas. Kaprikornus kenyataan siswa banyak mempunyai kiprah dari beberapa mata pelajarn itu, akhirnya kiprah itu terlalu banyak didiberikan kepada siswa mengakibatkan siswa mengalami kesukaran untuk mengerjakan serta sanggup mengganggu pertumbuhan siswa, lantaran tidak mempunyai waktu lagi untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan lain yang perlu untuk perkembangan jasmani dan rohaninya. Kalau guru memperhatikan hal-hal di atas, maka walaupun metode ini baik untuk digunakan tetapi tidakboleh terlalu sesering mungkin didiberikan biar tidak terlalu menyita waktu siswa dan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan siswa secara wajar.
3. Hasil Belajar
a. Pengertian belajar
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dalam Isriani Hardini dan Dewi Puspitasari (2012: 3-4), berguru yakni berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu. Berikut ini yakni beberapa definisi berguru berdasarkan para ahli:
1) Menurut Gage, berguru yakni proses di mana suatu organisme berubah perilakunya akhir dari pengalaman.
2) Menurut Skinner, berguru yakni suatu proses pembiasaan atau penyesuaian tingkah laris yang berlangsung secara progresif. Belajar juga dipahami sebagai suatu perilaku, pada ketika orang belajar, maka responnya menjadi lebih baik. Sebaliknya, kalau ia tidak belajar, responnya menurun. melaluiataubersamaini demikian, berguru diartikan sebagai suatu perubahan dalam kemungkinan atau peluang terjadinya respon.
3) Menurut Robert M Gagne, berguru yakni suatu proses yang kompleks dan hasil berguru berupa kapabilitas, timbulnya kapabilitas disebabkan stimulasi yang berasal dari lingkungan dan proses kognitif yang dilakukan oleh pelajar.
Berdasarkan beberapa definisi berguru tersebut sanggup disimpulkan bahwa berguru intinya berbicara wacana tingkah laris seseorang berubah sebagai akhir pengalaman yang berasal dari lingkungan.
Menurut Muhibbin Syah (1995: 91), secara umum berguru sanggup dipahami sebagai tahapan perubahan seluruh tingkah laris individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif.
Menurut Nana Sudjana (2009: 28), berguru bukan menghafal dan bukan pula mengingat. Belajar yakni suatu proses yang ditandai dengan adanya perrubahan pada diri seseorang. Perubahan sebagai hasil proses berguru sanggup ditunjukkan dalam aneka macam bentuk ibarat berubah pengetahuannya, pemahamannya, sikap dan tingkah lakunya, keterampilannya, kecakapan dan kemampuannya, daya reaksinya, daya penerimaannya dan lain-lain aspek yang ada pada individu. Oleh lantaran itu, berguru yakni proses yang aktif, berguru yakni proses mereaksi terhadap tiruana situasi yang ada disekitar individu. Belajar yakni proses yang diarahkan kepada tujuan, proses berbuat melalui aneka macam pengalaman. Belajar yakni proses melihat, mengamati, memahami sesuatu.
Menurut Slameto (1988: 2), berguru ialah suatu proses perjuangan yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laris yang gres secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
Berdasarkan definisi-definisi para jago bahwa berguru itu membawa perubahan (dalam arti behavioral changes, faktual maupun potensial), perubahan itu pada pokoknya yakni didapatkannya kecakapan gres dan perubahan itu terjadi lantaran perjuangan (dengan sengaja) (Sumadi Suryabrata, 1984: 253).
Jadi, sanggup disimpulkan dari beberapa pendapat di atas bahwa berguru ialah kegiatan fisik dan mental, sehingga perubahan yang ada harus tergambar pada perkembangan fisik dan mental siswa, keberhasilan berguru siswa sanggup diukur berdasarkan pada besarnya rentang perubahan sebelum dan sehabis siswa mengikuti kegiatan belajar. Dari proses berguru mengajar itu diharapkan terjadi perubahan-perubahan yang terjadi dan itulah yang dinamakan hasil belajar.
b. Tujuan belajar
Menurut A. M (1986: 28-31) dalam Isriani Hardini dan Dewi Puspitasari (2012: 5-6), tujuan berguru yakni sebagai diberikut:
1) Untuk mendapatkan pengetahuan. Hal ini ditandai dengan kemampuan berpikir. Jenis interaksi atau cara yang digunakan untuk kepentingan itu pada umumnya dengan model kuliah (presentasi), pemdiberian tugas-tugas bacaan. melaluiataubersamaini demikian, siswa akan didiberikan pengetahuan sehingga menambah pengetahuannya dan sekaligus akan mencarinya sendiri untuk berbagi cara berpikir dalam rangka memperkaya pengetahuan.
2) Penanaman konsep dan keterampilan. Penanaman konsep atau merumuskan konsep juga memerlukan suatu keterampilan, baik yang bersifat jasmani atau rohani. Keterampilan jasmani yakni keterampilan-keterampilan yang sanggup dilihat, diamati, sehingga akan menitikberatkan pada keterampilan gerak/ penampilan dari anggota tubuh seseorang yang sedang belajar. Keterampilan rohani lebih rumit lantaran tidak selalu berurusan dengan masalah-masalah keterampilan yang sanggup dilihat bagaimana ujung pertamanya, tetapi lebih abstrak, menyangkut persoalan-persoalan penghayatan dan keterampilan berpikir serta kreativitas untuk menuntaskan dan merumuskan suatu masalah atau konsep.
3) Pembentukan sikap. Dalam menumbuhkan sikap mental, sikap dan pribadi anak didik, guru harus lebih bijak dan hati-hati dalam pendekatannya. Untuk itu, dibutuhkan kecakapan.
Berdasarkan tujuan di atas, sanggup disimpulkan bahwa proses berguru terjadi secara internal dan bersifat pribadi dalam diri siswa biar proses berguru tersebut mengarah pada tercapainya tujuan dalam kurikulum. Maka guru harus merencanakan dengan seksama dan sistematis aneka macam pengalaman berguru yang memungkinkan perubahan tingkah laris peserta didik sesuai dengan apa yang diharapkan. Tujuan pendidikan yang ingin dicapai sanggup dikategorikan menjadi tiga bidang yakni bidang kognitif (penguasaan intelektual), bidang afektif (berhubungan dengan sikap dan nilai) serta bidang psikomotor (kemampuan/ keterampilan bertindak/ berperilaku). Ketiganya tidak berdiri sendiri, tapi ialah satu kesatuan yang tidak terpisahkan, bahkan membentuk hubungan hirarki.
c. Tipe hasil belajar
Taksonomi Bloom sudah menancapkan akan pengaruhnya yang kuat dalam perkembangan teknologi pembelajaran di Indonesia selama lebih dari 25 tahun. Teori yang digunakan untuk memetakan tujuan pembelajaran itu terdiri atas kognitif, afektif dan psikomotor. Dalam perkembangannya, pada tahun 2001 Lorin W. Anderson dan David R. Krathwohl menulis “A Taxonomy for Learning, Teaching and Assessing (A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives)” yang diterbitkan oleh Longman di New York. Keduanya melaksanakan revisi fundamental atas pembagian terstruktur mengenai kognitif yang pernah dikembangkan Bloom. Jika sebelumnya, Bloom mengklasifikasikan tujuan kognitif dalam enam level yaitu pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehension), aplikasi (apply), analisis (analysis), sintesis (synthesis) dan penilaian (evaluation) dalam satu dimensi, maka Anderson dan Krathwohl merevisinya menjadi dua dimensi.
Menurut Anderson dan Krathwohl (2010: 6) dua dimensi pada taksonomi revisi yakni dimensi kognitif (proses) dan dimensi pengetahuan (isi/ jenis). Pada dimensi proses kognitif, terdiri atas mengingat (remember), memahami (understand), menerapkan (apply), menganalisis (analyze), menilai (evaluate) dan berkreasi (create). Sedangkan pada dimensi isinya terdiri atas pengetahuan faktual (factual knowledge), pengetahuan konseptual (conceptual knowledge), pengetahuan prosedural (procedural knowledge) dan pengetahuan metakognisi (metacognitive knowledge).
1) Dimensi proses kognitif
Menurut Anderson dan Krathwohl (2010: 94-139), ada enam tingkatan dalam dimensi proses kognitif yaitu:
a) Mengingat, menumbuhkan kemampuan untuk meretensi materi pelajaran sama ibarat materi yang diajarkan. Terdiri dari:
(1) Mengenali yaitu mengambil pengetahuan yang dibutuhkan dari memori jangka panjang untuk membandingkannya dengan informasi yang gres saja diterima.
(2) Mengingat kembali yaitu mengambil pengetahuan yang dibutuhkan dari memori jangka panjang ketika soalnya menghendaki demikian.
b) Memahami, sanggup mengkontruksi makna dari pesan-pesan pembelajaran, baik yang bersifat lisan, goresan pena maupun grafis yang disampaikan melalui pengajaran, buku atau layar komputer. Terdiri dari:
(1) Menafsirkan, mengubah informasi dari bentuk yang satu ke bentuk lain.
(2) Mencontohkan, memdiberi rujukan wacana konsep atau prinsip umum.
(3) Mengklasifikasikan, mengetahui bahwa sesuatu termasuk dalam kategori tertentu.
(4) Merangkum, mengemukakan satu kalimat yang merepresentasikan informasi yang diterima atau mengabstraksikan sebuah tema.
(5) Menyimpulkan, mengabstraksikan sebuah konsep atau prinsip yang menerangkan contoh-contoh dengan mencermati ciri-ciri setiap contohnya dengan menarikdanunik hubungan di antara ciri-ciri tersebut.
(6) Membandingkan, melibatkan proses mendeteksi persamaan dan perbedaan antara dua atau lebih objek, peristiwa, ide, masalah atau situasi.
(7) Menjelaskan, membuat dan memakai model sebab-akibat dalam sebuah sistem.
c) Mengaplikasikan, melibatkan penerapan prosedur-prosedur tertentu untuk mengerjakan soal tes atau menuntaskan masalah. Terdiri dari:
(1) Mengeksekusi, menerapkan mekanisme ketika menghadapi kiprah yang sudah bersifat familier.
(2) Mengimplementasikan, menentukan dan memakai sebuah mekanisme untuk menuntaskan kiprah yang tidak familier.
d) Menganalisis, melibatkan proses memecah-mecah materi jadi bagian-bagian kecil dan menentukan bagaimana hubungan antar pecahan dan antara setiap pecahan dan struktur keseluruhannya.
(1) Membedakan, memilah-milah pecahan yang relevan atau penting dari sebuah struktur.
(2) Mengorganisasi, mengidentifikasi elemen-elemen komunikasi atau situasi dan proses mengenali bagaimana elemen ini membentuk sebuah struktur yang koheren.
(3) Mengatribusikan, menentukan sudut pandang, pendapat, nilai atau tujuan di balik komunikasi.
e) Mengevaluasi, membuat keputusan berdasarkan kriteria dan standar.
(1) Memeriksa, menguji inkonsistensi atau kesalahan internal dalam suatu operasi atau produk.
(2) MengKoreksi, penilaian suatu produk atau proses berdasarkan kriteria dan standar eksternal.
f) Mencipta, menyusun elemen-elemen jadi sebuah keseluruhan yang koheren dan fungsional.
(1) Merumuskan, menggambarkan masalah dan membuat pilihan atau hipotesis yang memenuhi kriteria-kriteria tertentu.
(2) Merencanakan, proses merencanakan metode penyelesaian masalah yang sesuai dengan kriteria-kriteria masalahnya.
(3) Memproduksi, melaksanakan planning untuk menuntaskan masalah yang memenuhi spesifikasi-spesifikasi tertentu.
2) Dimensi pengetahuan
Menurut Anderson dan Krathwohl (2010: 67-82), ada empat kategori dalam dimensi pengetahuan yaitu:
a) Pengetahuan faktual, meliputi elemen-elemen dasar yang digunakan oleh para pakar dalam menerangkan, memahami dan secara sistematis menyusun disiplin ilmu mereka.
b) Pengetahuan konseptual, meliputi beberapa aspek pengetahuan wacana kategori, pembagian terstruktur mengenai dan hubungan antara dua atau lebih kategori atau pembagian terstruktur mengenai pengetahuan yang lebih kompleks dan tertata.
c) Pengetahuan prosedural, pengetahuan wacana cara melaksanakan sesuatu.
d) Pengetahuan metakognitif, pengetahuan wacana kognisi secara umum dan kesadaran akan, serta pengetahuan wacana kognisi diri sendiri.
3) Aspek afektif
Menurut Krathwohl, Bloom dan Mansia dalam Sagala (2009: 159), ada lima kategori dalam domain afektif yaitu:
a) Penerimaan (recceiving), aspek ini mengacu pada kepekaan dan kesediaan mendapatkan dan menaruh perhatian terhadap nilai tertentu, ibarat kesediaan mendapatkan norma-norma disiplin yang berlaku di sekolah.
b) Pemdiberian respon (responding), aspek ini mengacu pada keccenderungan menunjukkan reaksi terhadap norma tertentu.
c) Penghargaan/ penilaian (valuing), aspek ini mengacu pada kecenderungan mendapatkan suatu norma tertentu, menghargai suatu norma, mempersembahkan penilaian terhadap sesuatu dengan memposisikan diri sesuai dengan penilaian itu dan mengikat diri pada suatu norma.
d) Pengorganisasian (organization), aspek ini mengacu pada proses pembentuk konsep wacana suatu nilai serta menyusun suatu sistem nilai-nilai dalam dirinya.
e) Karakterisasi (characterization), aspek ini mengacu pada proses mewujudkan nilai-nilai dalam pribadi sehingga ialah watak, dimana norma itu tercermin dalam pribadinya.
4) Aspek psikomotor
Menurut Bloom dan Krathwohl dalam Budiningsih (2005: 75), aspek psikomotor terdiri atas lima tingkatan yaitu:
a) Peniruan (menirukan gerak)
b) Penggunaan (menggunakan konsep untuk melaksanakan gerak)
c) Ketepatan (melakukan gerak dengan benar)
d) Perangkaian (melakukan beberapa gerakan sekaligus dengan benar)
e) Naturalisasi (melakukan gerak secara wajar)
Berdasarkan kutipan di atas, sanggup disimpulkan bahwa hasil berguru yang dimaksud dalam penelitian ini yakni hasil berguru IPA berupa penilaian kelas yang diperoleh dalam bentuk skor sehabis didiberi tes akhir.
d. Prinsip-prinsip belajar
Menurut Slameto (1988: 29), prinsip-prinsip berguru ialah prinsip berguru yang sanggup dilaksanakan dalam situasi dan kondisi yang tidak sama dan oleh setiap siswa secara individual. Maka, prinsip-prinsip berguru itu sebagai diberikut:
1) Dalam berguru setiap siswa harus diusahakan partisispasi aktif, meningkatkan minat dan membimbing untuk mencapai tujuan instruksional.
2) Belajar bersifat keseluruhan dan materi itu harus mempunyai struktur, penyajian yang sederhana, sehingga siswa mudah menangkap pengertiannya.
3) Belajar harus sanggup menjadikan reinforcement dan motivasi yang kuat pada siswa untuk mencapai tujuan instruksional.
4) Belajar itu proses kotinyu, maka harus tahap demi tahap berdasarkan perkembangannya.
5) Belajar yakni proses organisasi, adaptasi, eksplorasi dan discovery.
6) Belajar harus sanggup berbagi kemampuan tertentu sesuai dengan tujuan instruksional yang harus dicapainya.
7) Belajar memerlukan masukana yang cukup, sehingga siswa sanggup berguru dengan tenang.
8) Belajar perlu lingkungan yang menantang dimana anak sanggup berbagi kemampuannya bereksplorasi dan berguru dengan efektif.
9) Belajar perlu ada interaksi siswa dengan lingkungannya.
10) Belajar yakni proses kontiguitas (hubungan antara pengertian yang satu dengan pengertian yang lain) sehingga mendapatkan pengertian yang diharapkan. Stimulus yang didiberikan menjadikan respon yang diharapkan.
11) Repetisi dalam proses berguru perlu ulangan berkali-kali biar pengertian/ keterampilan/ sikap itu mendalam pada siswa.
Pada prinsipnya sanggup disimpulkan bahwa dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, kegiatan berguru ialah kegiatan yang paling pokok. Ini berarti bahwa berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan, banyak tergantung kepada bagaimana proses berguru yang dialami oleh siswa sebagai anak didik.
e. Teori-teori hasil belajar
Teori berguru intinya ialah klarifikasi terkena bagaimana terjadinya berguru atau bagaimana informasi diproses di dalam pikiran siswa itu. Berdasarkan suatu teori belajar, diharapkan suatu pembelajaran sanggup lebih meningkatkan perolehan siswa sebagai hasil belajar.
1) Teori Belajar Konstruktivisme
Teori konstruktivisme ini menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi gres dengan aturan-aturan usang dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai. Menurut teori konstruktivis ini, satu prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan yakni bahwa guru tidak spesialuntuk sekedar mempersembahkan pengetahuan kepada siswa.
Berdasarkan teori ini sanggup dicontohkan terkait dengan materi rangka insan dengan penerapan metode resitasi (penugasan) bahwa dalam proses pembelajaran konstruktivisme siswa dituntut untuk bisa berpikir aktif dalam berguru dengan penugasan yang sudah didiberikan oleh guru, biar siswa memahami materi yang sudah disampaikan, kemudian dalam pembelajaran rangka insan ini siswa juga sanggup membentuk kelompok berguru (group) ibarat diskusi, biar siswa bisa diberinteraksi dengan siswa lainnya dan proses pembelajarannya pun terjadi lebih kepada ide-ide dari siswa itu sendiri, biar siswa bisa berbagi kemampuan berpikirnya.
2) Teori Perkembangan Kognitif Piaget
Perkembangan kognitif sebagian besar ditentukan oleh manipulasi dan interaksi aktif anak dengan lingkungan. Teori perkembangan Piaget mewakili konstruktivisme, yang memandang perkembangan kognitif sebagai suatu proses di mana anak secara aktif membangun sistem makna dan pemahaman realitas melalui pengalaman-pengalaman dan interaksi-interaksi mereka.
Proses pembelajaran yang terkait dengan materi rangka insan sanggup dicontohkan bahwa dari teori perkembangan kognitif ini, bukan sebagai perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar ke dalam diri siswa, melainkan sebagai pemdiberian makna oleh siswa kepada pengalamannya. Kegiatan berguru lebih dipandang dari segi prosesnya dari pada segi perolehan pengetahuan dari fakta-fakta yang terlepas-lepas. Proses tersebut berupa pemdiberian makna terhadap objek dan pengalaman oleh individu tersebut tidak dilakukan secara sendiri-sendiri oleh siswa, melainkan melalui interaksi dalam jaenteng sosial yang unik, yang terbentuk baik dalam budaya kelas maupun di luar kelas. Oleh lantaran itu, pengelolaan pembelajaran pada materi rangka insan dengan penerapan metode resitasi harus diutamakan pada pengelolaan siswa dalam memproses gagasannya, bukan semata-mata pada pengelolaan dan lingkungan belajarnya bahkan pada unjuk kerja atau prestasi belajarnya yang dikaitkan dengan sistem penghargaan dari luar ibarat nilai, ijazah dan sebagainya.
Tabel 1. 2
Tahap-Tahap Perkembangan Kognitif Piaget
Tahap | Perkiraan Usia | Kemampuan-Kemampuan Utama |
Sensorimotor | Lahir hingga 2 tahun | Terbentuknya konsep “kepermguanan obyek” dan kemajuan gradual dari sikap refleksif keperilaku yang mengarah kepada tujuan. |
Praoperasional | 2 hingga 7 tahun | Perkembangan kemampuan memakai simbol-simbol untuk menyatakan obyek-obyek dunia. Pemikiran masih egosentris dan sentrasi. |
Operasi Kongkrit | 7 hingga 11 tahun | Perbaikan dalam kemampuan untuk berfikir secara logis. Kemampuan-kemampuan gres termasuk penerapan operasi-operasi yang sanggup balik. Pemikiran tidak lagi sentrasi tetapi desentrasi dan pemecahan masalah tidak begitu dibatasi oleh keegosentrisan. |
Operasi Formal | 11 tahun hingga dewasa | Pemikiran aneh dan murni simbolis mungkin dilakukan. Masalah-masalah sanggup dipecahkan melalui penerapan eksperimentasi sistematis. |
(Nur, 1998: 11 dalam Trianto, 2007: 15)
Berikut ini yakni implikasi penting dalam model pembelajaran dari teori Piaget:
1. Memusatkan perhatian pada berpikir atau proses mental anak, tidak sekedar pada hasilnya. Di samping kebenaran jawabanan siswa, guru harus memahami proses yang digunakan anak sehingga hingga pada jawabanan tersebut. (Bandingkan dengan teori berguru sikap yang spesialuntuk memusatkan perhatian kepada hasilnya, kebenaran jawabanan atau sikap siswa yang sanggup diamati). Pengamatan berguru yang sesuai dikembangkan dengan memperhatikan tahap kognitif siswa yang mutakhir dan kalau guru penuh perhatian tehadap metode yang digunakan siswa untuk hingga pada kesimpulan tertentu, barulah sanggup dikatakan guru berada dalam posisi mempersembahkan pengalaman sesuai dengan yang dimaksud.
2. Memperhatikan peranan pelik dari inisiatif anak sendiri, keterlibatan aktif dalam kegiatan pembelajaran. Di dalam kelas Piaget, penyajian pengetahuan jadi (ready-made) tidak mendapat penekanan, melainkan anak didorong menemukan sendiri pengetahuan itu (discovery maupun inquiry) melaui interaksi impulsif dengan lingkungannya. Sebab itu guru dituntut mempersiapkan aneka macam kegiatan yang memungkinkan anak melaksanakan kegiatan secara pribadi dengan dunia fisik. Menerapkan teori Piaget berarti dalam pembelajaran fisika banyak memakai penyelidikan.
3. Memaklumi akan adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan perkembangan. Teori Piaget mengasumsikan bahwa seluruh siswa tumbuh melewati urutan perkembangan yang sama, namun pertumbuhan itu berlangsung pada kecepatan yang tidak sama. Sebab itu guru bisa melaksanakan upaya untuk mengatur kegiatan kelas dalam bentuk kelompok kecil dari pada bentuk kelas yang utuh.
Implikasinya dalam proses pembelajaran yakni ketika guru memperkenalkan informasi yang melibatkan siswa memakai konsep-konsep, mempersembahkan waktu yang cukup untuk menemukan ide-ide dengan memakai pola-pola berpikir formal.
3) Metode Pengajaran John Dewey
Menurut John Dewey, metode reflektif di dalam memecahkan masalah yaitu suatu proses berpikir aktif, hati-hati, yang dilandasi proses berpikir ke arah kesimpulan yang definitif melalui lima langkah yaitu sebagai diberikut:
a) Siswa mengenali masalah, masalah itu hadir dari luar diri siswa itu sendiri.
b) Selanjutnya siswa akan memeriksa dan menganalisa kesusahannya dan menentukan masalah yang dihadapinya.
c) Lalu ia menghubungkan uraian-uraian hasil analisisnya itu atau satu sama lain dan mengumpulkan aneka macam kemungkinan guna memecahkan masalah tersebut. Dalam bertindak ia dipimpin oleh pengalamannya sendiri.
d) Kemudian ia menimbang kemungkinan jawabanan atau hipotesis dengan akhirnya masing-masing.
e) Selanjutnya ia mencoba mempraktekkan salah satu kemungkinan pemecahan yang dipandangnya terbaik. Hasilnya akan menandakan betul tidaknya pemecahan masalah itu. Bilamana pemecahan masalah itu salah atau kurang tepat, maka akan dicobanya kemungkinan yang lain hingga ditemukan pemecahan masalah yang tepat. Pemecahan masalah itulah yang benar yaitu yang mempunyai kegunaan untuk hidup.
Namun langkah-langkah ini tidak dipandang secara kaku dan mekanistis, artinya tidak mutlak harus mengikuti urutan ibarat itu. Siswa bisa bergerak bolak balik antara masalah dan hipotesis ke arah pembuktian, ke arah kesimpulan dalam batas-batas aturan yang bervariasi. melaluiataubersamaini demikian, sanggup dikatakan bahwa pendekatan instruksional ini ibarat dengan suatu penelitian ilmiah di mana suatu hipotesis sanggup diuji dan dirumuskan. Selanjutnya, Dewey menganjurkan biar bentuk isi pelajaran hendaknya dimulai dari pengalaman siswa dan berakhir pada pola struktur mata pelajaran. melaluiataubersamaini demikian terang betapa pentingnya makna bekerja, lantaran bekerja mempersembahkan pengalaman dan pengalaman memimpin orang berpikir sehingga sanggup bertindak bijaksana dan benar. Pengalaman itu mensugesti budi pekerti. Ada pengalaman positif dan ada pengalaman negatif. Pengalaman yang positif yakni pengalaman yang benar, lantaran faedahnya sanggup diterapkan di dalam kehidupan. Sebaliknya, pengalaman negatif yakni pengalaman yang salah, merugikan atau menghambat kehidupan dan tak perlu digunakan lagi.
4) Teori Pemrosesan Informasi
Teori ini menerangkan pemrosesan, penyimpanan dan pemanggil kembali pengetahuan dari otak. Peristiwa-peristiwa mental diuraikan sebagai transformasi-transformasi informasi dari input (stimulus) ke output (respon). Model pemrosesan informasi sanggup digambarkan sebagai kumpulan kotak-kotak yang dihubungkan dengan garis-garis. Kotak itu menggambarkan fungsi-fungsi atau keadaan sistem dan garis-garis menggambarkan informasi yang terjadi dari satu keadaan ke keadaan yang lain (Dahar, 1988: 40 dalam Trianto, 2007: 19).
a) Pentingnya pengetahuan pertama
Sering seorang pembelajar (siswa, mahasiswa) mengalami kesusahan dalam memahami suatu pengetahuan tertentu, yang salah satu penyebabnya lantaran pengetahuan gres yang diterima tidak terjadi hubungan dengan pengetahuan sebelumnya atau mungkin pengetahuan pertama sebelumnya belum dimiliki. Dalam hal ini, maka pengetahuan pertama menjadi syarat utama dan menjadi sangat penting bagi pembelajar untuk dimilikinya.
Pengetahuan pertama (prior knowledge) yakni sekumpulan pengetahuan dan pengalaman individu yang diperoleh sepanjang perjalanan hidup mereka, dan apa yang ia bawa kepada suatu pengalaman berguru gres (Nur, 2000: 1 dalam Trianto, 2007: 21).
Menurut Mosenthal et al, (1985), menggambarkan keberartian pengetahuan pertama dalam suatu studi menarikdanunik yang secara khusus menghubungkan kemampuan siswa memproduksi teks naratif (Nur, 2000: 12 dalam Trianto, 2007: 21).
b) Register penginderaan
Register penginderaan mendapatkan sejumlah besar informasi dari indera (penglihatan, pendengaran, peraba, pembau dan pengecap). Register penginderaan disimpan dalam waktu yang sangat singkat (tidak lebih dari dua detik). Bila tidak terjadi proses terhadap informasi yang disimpan dalam register penginderaan itu, maka dengan cepat informasi itu akan hilang.
Keberadaan register penginderaan mempunyai dua implikasi yang penting dalam pendidikan. Pertama, orang harus menaruh perhatian pada suatu informasi bila informasi itu harus diingat. Kedua, seseorang memerlukan waktu untuk membawa tiruana informasi yang dilihat dalam waktu singkat masuk ke dalam kesadaran.
c) Memori jangka pendek
Sistem penyimpanan memori jangka pendek dalam jumlah yang terbatas dan dalam waktu yang terbatas (bebeapa detik). Menurut Miller ibarat yang dikutip dalam Nur (1998: 9), memori jangka pendek mempunyai kapasitas 5-9 bits informasi.
Proses mempertahankan suatu butir informasi dalam memori jangka pendek dengan cara mengulang-ngulang, menghafal (Rehearshal). Menghafal sangat penting dalam berguru lantaran semakin besar peluang butir itu akan ditransfer ke memori jangka panjang.
d) Memori jangka panjang
Menurut Arends (1997: 251) dalam Trianto (2007: 23), memori jangka panjang yakni kawasan di mana pengetahuan disimpan secara permguan untuk dipanggil lagi kemudian apabila ingin digunakan. Memori ini mempunyai kapasitas yang sangat besar untuk menyimpan sejumlah informasi. Memori jangka panjang ialah pecahan dari sistem memori otak sebagai kawasan menyimpan informasi untuk periode waktu yang panjang.
5) Teori Belajar Bermakna David Ausubel
Menurut Dahar (1988: 137) dalam Trianto (2007: 25), inti dari teori Ausubel wacana berguru yakni berguru bermakna. Belajar bermakna ialah suatu proses dikaitkannya informasi gres pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. melaluiataubersamaini demikian biar terjadi berguru bermakna, konsep gres atau informasi gres harus dikaitkan dengan konsep-konsep yang sudah ada dalam struktur kognitif siswa. Berdasarkan teori Ausubel, dalam memmenolong siswa menanamkan pengetahuan gres dari suatu materi, sangat diharapkan konsep-konsep pertama yang sudah dimiliki siswa yang berkaitan dengan konsep yang akan dipelajari. Sehingga kalau dikaitkan dengan model pembelajaran masalah, di mana siswa bisa mengerjakan permasalahan yang autentik sangat memerlukan konsep pertama yang sudah dimiliki siswa sebelumnya untuk suatu penyelesaian nyata dari permasalahan yang nyata.
6) Teori Penemuan Jerome Bruner
Salah satu model instruksional kognitif yang sangat kuat ialah model dari Jerome Bruner yang dikenal dengan berguru penemuan (Discovery Leraning). Bruner menganggap bahwa berguru penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh insan dan dengan sendirinya memdiberi hasil yang paling baik. Berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna (Dahar, 1998: 125 dalam Trianto, 2007: 26).
Bruner menyarankan biar siswa-siswa hendaknya berguru melalui partisipasi secara aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, biar mereka dianjurkan untuk memperoleh pengalaman dan melaksanakan eksperimen-eksperimen yang mengizinkan mereka untuk menemukan prinsip-prinsip itu sendiri.
7) Teori Pembelajaran Sosial Vygotsky
Vygotsky beropini ibarat Piaget bahwa siswa membentuk pengetahuan sebagai hasil dari pikiran dan kegiatan siswa sendiri melalui bahasa. Vygotsky berkeyakinan bahwa perkembangan tergantung baik pada faktor biologis menentukan fungsi-fungsi elementer memori, atensi, persepsi dan stimulus-respon. Faktor sosial sangat penting artinya bagi perkembangan fungsi mental lebih tinggi untuk perkembangan konsep, kebijaksanaan budi logis dan pengambilan keputusan (Trianto, 2007: 13-27).
Berdasarkan beberapa teori berguru di atas, maka sanggup disimpulkan bahwa teori berguru intinya ialah klarifikasi terkena terjadinya berguru atau bagaimana informasi diproses di dalam pikiran siswa itu. Berdasarkan suatu teori belajar, diharapkan suatu pembelajaran sanggup lebih meningkatkan perolehan siswa sebagai hasil belajar.
f. Faktor yang mensugesti hasil belajar
Menurut Slameto (1988: 56-74), faktor-faktor yang mensugesti berguru banyak jenisnya, tetapi sanggup digolongkan menjadi dua golongan saja yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern yakni faktor yang ada dalam diri individu yang sedang belajar, sedangkan faktor ekstern yakni faktor yang ada di luar individu.
1) Faktor Intern
Faktor intern dibagi menjadi tiga faktor, yaitu faktor jasmaniah, faktor psikologis dan faktor kelelahan.
a) Faktor jasmaniah
(1) Faktor kesehatan
Proses berguru seseorang akan terganggu kalau kesehatan seseorang terganggu, selain itu juga ia akan cepat lelah, kurang bersemangat, mudah pusing, ngantuk kalau badannya lemah, kurang darah ataupun ada gangguan-gangguan/ kelainan-kelainan fungsi alat inderanya serta tubuhnya. Agar seseorang sanggup berguru dengan baik haruslah mengusahakan kesehatan badannya tetap terjamin dengan cara selalu mengindahkan ketentuan-ketentuan wacana bekerja, pulas, makan, olahraga dan rekreasi.
(2) Cacat tubuh
Keadaan cacat tubuh juga mensugesti belajar. Siswa yang cacat, belajarnya juga terganggu. Jika hal ini terjadi, hendaknya ia berguru pada forum pendidikan khusus atau diusahakan alat menolong biar sanggup menghindari atau mengurangi imbas kecacatannya itu.
b) Faktor psikologis
Sekurang-kurangnya ada tujuh faktor yang tergolong ke dalam faktor psikologis yang mensugesti belajar. Faktor-faktor itu yakni inteligensi, perhatian, minat, bakat, motif, kematangan dan kelelahan.
(1) Inteligensi
Inteligensi yakni kecakapan yang terdiri dari tiga jenis, yaitu kecakapan untuk menghadapi dan menyesuaikan ke dalam situasi yang gres dengan cepat dan efektif, mengetahui/ memakai konsep-konsep yang aneh secara efektif, mengetahui hubungan dan mempelajarinya dengan cepat.
(2) Perhatian
Menurut Gazali, perhatian yakni keaktifan jiwa yang dipertinggi, jiwa itu pun semata-mata tertuju kepada suatu obyek (benda/ hal) atau sekumpulan obyek. Untuk sanggup menjamin hasil berguru yang baik, maka siswa harus mempunyai perhatian terhadap materi yang dipelajarinya. Jika materi pelajaran tidak menjadi perhatian siswa, maka timbullah kebosanan sehingga ia tidak lagi suka belajar. Agar siswa sanggup berguru dengan baik, usahakanlah materi pelajaran selalu menarikdanunik perhatian dengan cara mengusahakan pelajaran itu sesuai dengan hobi atau bakatnya.
(3) Minat
Minat yakni kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan mengenang beberapa kegiatan. Minat besar pengaruhnya terhadap belajar, lantaran bila materi pelajaran yang dipelajari tidak sesuai dengan minat siswa, siswa tidak akan berguru dengan sebaik-baiknya lantaran tidak ada daya tarik baginya. Ia segan-segan untuk belajar, ia tidak memperoleh kepuasan dari pelajaran itu. Bahan pelajaran yang menarikdanunik minat siswa lebih mudah dihapalkan dan disimpan lantaran minat menambah kegiatan belajar.
(4) Bakat
Bakat yakni kemampuan untuk belajar. Kemampuan itu gres akan terealisasikan menjadi kecakapan yang nyata sehabis berguru atau latihan. Bakat itu mensugesti belajar. Jika materi pelajaran yang dipelajari siswa sesuai dengan bakatnya, maka hasil belajarnya lebih baik lantaran ia senang berguru dan pastilah selanjutnya ia lebih ulet lagi dalam berguru itu.
(5) Motif
Motif erat sekali hubungannya dengan tujuan yang akan dicapai. Di dalam menentukan tujuan itu sanggup disadari atau tidak, akan tetapi untuk mencapai tujuan itu perlu berbuat. Sedangkan yang menjadi penyebab berbuat yakni motif itu sendiri sebagai daya pencetus atau pendorongnya.
(6) Kematangan
Kematangan yakni suatu tingkat/ fase dalam pertumbuhan seseorang, di mana alat-lat tubuhnya sudah siap untuk melaksanakan kecakapan baru.
(7) Kesiapan
Kesediaan untuk memdiberi respon atau bereaksi. Kesediaan itu timbul dari dalam diri seseorang dan juga berafiliasi dengan kematangan, lantaran kematangan berarti kesiapan untuk melaksanakan kecakapan. Kesiapan ini perlu diperhatikan dalam proses berguru lantaran kalau siswa berguru dan padanya sudah ada kesiapan, maka hasil belajarnya akan lebih baik.
c) Faktor kelelahan
Kelelahan pada seseorang walaupun susah untuk dipisahkan tetapi sanggup dibedakan menjadi dua macam, yaitu kelelahan jasmani dan kelelahan rohani (bersifat psikis).
Kelelahan jasmani terlihat dengan lemah lunglainya tubuh dan timbul kecenderungan untuk membaringkan tubuh. Kelelahan jasmani terjadi lantaran terjadi kekacauan substansi sisa pembakaran di dalam tubuh, sehingga darah tidak/ kurang lancar pada bagian-bagian tertentu. Sedangkan, kelelahan rohani sanggup dilihat dengan adanya kelesuan dan kebosanan sehingga minat dan dorongan untuk menghasilkan sesuatu hilang. Kelelahan ini sangat terasa pada pecahan kepala dengan pusing-pusing sehingga susah untuk berserius, seakan-akan otak kehabisan daya untuk bekerja. Kelelahan rohani sanggup terjadi terus menerus memikirkan masalah yang dianggap berat tanpa istirahat, menghadapi hal-hal yang selalu sama/ konstan tanpa ada variasi dan mengerjakan sesuatu lantaran terpaksa dan tidak sesuai dengan bakat, minat dan perhatiannya.
2) Faktor Ekstern
a) Faktor keluarga
Siswa yang berguru akan mendapatkan imbas dari keluarga berupa cara orang renta mendidik, hubungan antaranggota keluarga, suasana rumah tangga dan keadaan ekonomi keluarga.
(1) Teknik orang renta mendidik
Teknik orang renta mendidik anaknya besar pengaruhnya terhadap berguru anaknya. Hal ini terang dan dipertegas oleh Drs. Sutjipto Wirowidjojo dengan pernyataannya yang menyatakan bahwa keluarga yakni forum pendidikan yang pertama dan utama. Keluarga yang sehat besar artinya untuk pendidikan dalam ukuran kecil, tetapi bersifat menentukan untuk pendidikan dalam ukuran besar yaitu pendidikan bangsa, negara dan dunia.
(2) Relasi antaranggota keluarga
Relasi antaranggota keluarga yang terpenting yakni hubungan orang renta dengan anaknya. Selain itu hubungan anak dengan saudaranya atau dengan anggota keluarga yang lainpun turut mensugesti berguru anak. Wujud hubungan itu contohnya apakah hubunga itu penuh dengan kasih akung dan pengertian, ataukah diliputi oleh kebencian, sikap yang terlalu keras, ataukah sikap yang hirau tak hirau dan sebagainya.
(3) Suasana rumah
Suasana rumah dimaksudkan sebagai situasi atau kejadian-kejadian yang sering terjadi di dalam keluarga di mana anak berada dan belajar. Suasana rumah juga ialah faktor yang penting dan tidak termasuk faktor yang disengaja. Suasana rumah yang gaduh/ ramai dan semrawut tidak akan memdiberi ketenangan kepada anak yang belajar. Suasana yang tegang, ribut dan sering terjadi cekcok, pertengkaran antaranggota keluarga atau dengan keluarga lain mengakibatkan anak menjadi bosan di rumah, suka keluar rumah (ngluyur), akhirnya belajarnya kacau. Selanjutnya, biar anak sanggup berguru dengan baik perlulah diciptakan suasana rumah yang tegang dan tentram. Di dalam suasana rumah yang damai dan tentram, selain anak kerasan/ betah tinggal di rumah, anak juga sanggup berguru dengan baik.
(4) Keadaan ekonomi keluarga
Keadaan ekonomi keluarga erat hubungannya dengan berguru anak. Anak yang sedang berguru selain harus terpenuhi kebutuhan pokoknya, contohnya makan, pakaian, sumbangan kesehatan dan lain-lain. Dan juga membutuhkan kemudahan berguru ibarat ruang belajar, meja, kursi, penerangan, alat tulis menulis, buku-buku dan lain-lain.
(5) Pengertian orang tua
Anak berguru perlu dorongan dan pengertian orang tua. Bila anak sedang berguru tidakboleh diganggu dengan tugas-tugas di rumah. Kadang-kadang anak mengalami lemah semangat, orang renta wajib memdiberi pengertian dan mendorongnya, memmenolong sedapat mungkin kesusahan yang dialami anak di sekolah. Kalau perlu menghubungi gurunya untuk mengetahui perkembangannya.
(6) Latar belakang kebudayaan
Tingkat pendidikan atau kebiasaan di dalam keluarga mensugesti sikap anak dalam belajar. Perlu kepada anak ditanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik biar mendorong semangat anak untuk belajar.
b) Faktor sekolah
Faktor sekolah yang mensugesti berguru ini meliputi beberapa aspek metode mengajar, kurikulum, hubungan guru dengan siswa, hubungan siswa dengan siswa, disiplin sekolah, pelajaran dan waktu sekolah, standar pelajaran, keadaan gedung, metode berguru dan kiprah rumah.
(1) Metode mengajar
Metode mengajar yakni suatu cara/ jalan yang harus dilalui di dalam mengajar. Mengajar itu sendiri berdasarkan Drs. Ign. S. Ulih Bukit Karo Karo yakni menyajikan materi pelajaran oleh orang kepada orang lain biar orang lain itu menerima, menguasai dan mengembangkannya.
Metode mengajar guru yang kurang baik akan mensugesti berguru siswa yang tidak baik pula. Metode mengajar yang kurang baik itu sanggup terjadi contohnya lantaran guru kurang persiapan dan kurang menguasai materi pelajaran sehingga guru tersebut menerangkannya tidak terang atau sikap guru terhadap siswa, dan atau terhadap mata pelajaran itu sendiri tidak baik sehingga siswa kurang senang terhadap pelajaran atau gurunya, akhirnya siswa malas untuk belajar.
(2) Kurikulum
Kurikulum diartikan sebagai sejumlah kegiatan yang didiberikan kepada siswa. Kegiatan itu sebagian besar yakni menyajikan materi pelajaran biar siswa menerima, menguasai ddan berbagi materi pelajaran itu. Jelaslah materi pelajaran itu mensugesti berguru siswa. Kurikulum yang kurang baik kuat tidak baik terhadap belajar.
(3) Relasi guru dengan siswa
Proses berguru mengajar terjadi antara guru dengan siswa. Proses tersebut juga dipengaruhi oleh hubungan yang ada dalam proses itu sendiri. Kaprikornus cara berguru siswa juga dipengaruhi oleh relasinya dengan gurunya. Di dalam hubungan (guru dengan siswa) yang baik, siswa akan menyukai gurunya, juga akan menyukai mata pelajaran yang didiberikannya sehingga siswa berusaha mempelajari sebaik-baiknya. Hal tersebut juga terjadi sebaliknya, kalau siswa membenci gurunya. Ia segan mempelajari mata pelajaran yang didiberikannya, akhirnya pelajarannya tidak maju.
Guru yang kurang diberinteraksi dengan siswa secara dekat mengakibatkan proses berguru mengajar itu kurang lancar, juga merasa jauh dari guru maka segan berpartisipasi secara aktif dalam belajar.
(4) Relasi siswa dengan siswa
Guru yang kurang mendekati siswa dan kurang bijaksana, tidak akan melihat bahwa di dalam kelas ada grup yang saling bersaing secara tidak sehat. Jiwa kelas tidak terbina, bahkan hubungan masing-masing individu tidak tampak. Menciptakan hubungan yang baik antarsiswa yakni perlu, biar sanggup mempersembahkan imbas yang positif terhadap berguru siswa.
(5) Disiplin sekolah
Kedisiplinan sekolah erat hubungannya dengan kerajinan siswa dalam sekolah dan juga dalam belajar. Kedisiplinan sekolah meliputi beberapa aspek kedisiplinan guru dalam mengajar dengan melaksanakan tata tertib, kedisiplinan pegawai/ karyawan dalam pekerjaan manajemen dan kemembersihkanan/ keteraturan kelas, gedung sekolah, halaman dan lain-lain, kedisiplinan kepala sekolah dalam mengelola seluruh staf beserta siswa-siswanya dan kedisiplinan team BP dalam pelayanannya kepada siswa. melaluiataubersamaini demikian, biar siswa berguru lebih maju, siswa harus disiplin di dalam belajar, baik di sekolah, di rumah dan diperpustakaan. Agar siswa disiplin haruslah guru beserta staf yang lain disiplin pula.
(6) Alat pelajaran
Alat pelajaran erat hubungannya dengan cara berguru siswa, lantaran alat pelajaran yang digunakan oleh guru pada waktu mengajar digunakan pula oleh siswa untuk mendapatkan materi yang diajarkan itu. Alat pelajaran yang lengkap dan tepat akan memperlancar penerimaan materi pelajaran yang didiberikan kepada siswa. Jika siswa mudah mendapatkan pelajaran dan menguasainya, maka belajarnya akan menjadi lebih ulet dan lebih maju.
(7) Waktu sekolah
Waktu sekolah ialah waktu terjadinya proses berguru mengajar di sekolah, waktu itu sanggup pagi hari, siang, sore/ malam hari. Waktu sekolah juga mensugesti berguru siswa. Akibat meledaknya jumlah anak yang masuk sekolah dan penambahan gedung sekolah belum seimbang dengan jumlah siswa, banyak siswa yang terpaksa masuk sekolah di sore hari. Hal yang bergotong-royong kurang sanggup dipertanggungjawabankan, dimana siswa harus diberistirahat, tetapi terpaksa masuk sekolah hingga mereka mendengarkan pelajaran sambil mengantuk dan sebagainya. Sebaliknya, bagi siswa yang berguru di pagi hari pikiran masih segar, jasmani dalam kondisi yang baik. Jika siswa bersekolah pada waktu kondisi badannya sudah lelah/ lemah, contohnya pada siang hari akan mengalami kesusahan di dalam mendapatkan pelajaran. Kesusahan itu disebabkan lantaran siswa sukar berserius dan berpikir pada kondisi tubuh yang lemah tadi. Kaprikornus menentukan waktu sekolah yang tepat akan memdiberi imbas yang positif terhadap belajar.
(8) Standar pelajaran di atas ukuran
Guru berpendirian untuk mempertahankan wibawanya, perlu memdiberi pelajaran di atas ukuran standar. Akibatnya siswa merasa kurang bisa dan takut kepada guru. Bila banyak siswa yang tidak berhasil dalam mempelajari mata pelajarannya, guru semacam itu merasa senang. Tetapi berdasarkan teori berguru yang mengingat perkembangan psikis dan kepribadian siswa yang tidak sama-beda, hal tersebut dihentikan terjadi. Guru dalam menuntut penguasaan materi harus sesuai dengan kemampuan siswa masing-masing, yang penting tujuan sudah dirumuskan sanggup tercapai.
(9) Keadaan gedung
Jumlah siswa yang luar biasa jumlahnya, keadaan gedung terpelajar balig cukup akal ini terpaksa kurang. Mereka duduk berjejal-jejal di dalam setiap kelas. Bagaimana mungkin mereka sanggup berguru dengan enak, kalau kelas itu terpaksa meliputi 50 orang siswa.
(10) Metode belajar
Banyak siswa melaksanakan cara berguru yang salah, dalam hal ini perlu training dari guru. melaluiataubersamaini cara berguru yang tepat akan efektif pula hasil berguru siswa itu, juga dalam pertolongan waktu untuk belajar. Kadang-kadang siswa berguru tidak teratur atau terus menerus lantaran besok akan ujian. melaluiataubersamaini berguru demikian, siswa akan kurang diberistirahat bahkan mungkin sanggup jatuh sakit. Maka perlu berguru secara teratur setiap hari dengan pertolongan waktu yang baik, menentukan cara berguru yang tepat dan cukup istirahat akan meningkatkan hasil belajar.
(11) Tugas rumah
Waktu berguru yakni di sekolah, waktu di rumah biarlah digunakan untuk kegiatan-kegiatan lain. Maka diharapkan guru tidakboleh terlalu banyak memdiberi kiprah yang harus dikerjakan di rumah sehingga anak tidak mempunyai waktu lagi untuk kegiatan yang lain.
c) Faktor masyarakat
Masyarakat ialah faktor ekstern yang juga kuat terhadap berguru siswa. Pengaruh itu terjadi lantaran keberadaannya siswa dalam masyarakat.
(1) Kegiatan siswa dalam masyarakat
Kegiatan siswa dalam masyarakat sanggup menguntungkan terhadap perkembangan pribadinya, tetapi kalau siswa ambil pecahan dalam kegiatan masyarakat yang terlalu banyak contohnya berorganisasi, kegiatan-kegiatan sosial, keagamaan dan lain-lain. Belajarnya akan terganggu, lebih-lebih kalau tidak bijaksana dalam mengatur waktunya.
Perlulah kiranya membatasi kegiatan siswa dalam masyarakat supaya tidakboleh menganggu belajarnya. Jika mungkin menentukan kegiatan yang mendukung belajar, kegiatan itu contohnya kursus bahasa Inggris, PKK remaja, kelompok diskusi dan lain sebagainya.
(2) Mass media
Mass media yakni bioskop, radio, TV, surat kabar, buku-buku, komik-komik ddan lain-lain. Mass media yang baik memdiberi imbas yang baik terhadap siswa dan juga terhadap belajarnya. Sebaliknya, mass media yang buruk juga kuat terhadap siswa. Maka perlulah kiranya siswa mendapatkan bimbingan dan kontrol yang cukup bijaksana dari pihak orang renta dan pendidik, baik di dalam keluarga, sekolah dan masyarakat.
(3) Teman bergaul
Pengaruh-pengaruh dari mitra bergaul siswa lebih cepat masuk dalam jiwanya dari pada yang kita duga. Teman bergaul yang baik akan kuat baik terhadap diri siswa, begitu juga sebaliknya mitra bergaul yang buruk niscaya mensugesti yang bersifat buruk juga. Agar siswa sanggup berguru dengan baik, maka perlulah diusahakan biar siswa mempunyai mitra bergaul yang baik-baik dan training pergaulan yang baik serta pengawasan dari orang renta dan pendidik harus cukup bijaksana (tidakboleh terlalu ketat tetapi juga tidakboleh lengah).
(4) Bentuk kehidupan masyarakat
Kehidupan masyarakat di sekitar siswa juga mensugesti terhadap berguru siswa. Masyarakat yang terdiri dari orang-orang yang tidak terpelajar, penjudi, suka mencuri dan mempunyai kebiasaan yang tidak baik akan kuat buruk kepada anak (siswa) yang berada disitu. Anak/ siswa tertarik untuk ikut berbuat ibarat yang dilakukan orang-orang di sekitarnya. Akibatnya belajarnya terganggu dan bahkan anak/ siswa kehilangan semangat berguru lantaran perhatiannya tiruanla terpusat kepada pelajaran berpindah keperbuatan-perbuatan yang selalu dilakukan orang-orang di sekitarnya yang tidak baik tadi. Sebaliknya, kalau lingkungan anak yakni orang-orang yang terpelajar yang baik-baik, mereka mendidik dan menyekolahkan anak-anaknya, antusias dengan impian yang luhur akan masa depan anaknya, anak/ siswa terpengaruh juga kehal-hal yang dilakukan oleh orang-orang lingkungannya sehingga akan berbuat ibarat orang-orang yang ada di lingkungannya. Pengaruh itu sanggup mendorong semangat anak/ siswa untuk berguru lebih ulet lagi.
Hasil berguru yang dicapai siswa dipengaruhi oleh dua faktor utama yakni faktor dari dalam diri siswa itu dan faktor yang hadir dari luar diri siswa atau faktor lingkungan. Faktor yang hadir dari diri siswa terutama kemampaun yang dimilikinya. Faktor kemampuan siswa besar sekali pengaruhnya terhadap hasil berguru yang dicapai. Seperti dikemukakan oleh Clark bahwa hasil berguru siswa di sekolah 70% dipengaruhi oleh kemampuan siswa dan 30% dipengaruhi oleh lingkungan. Di samping faktor kemampuan yang dimiliki siswa, juga ada faktor lain ibarat motivasi belajar, minat dan perhatian, sikap dan kebiasaan belajar, ketekunan, sosial ekonomi, faktor fisik dan psikis (Nana Sudjana, 2009: 39).
Berdasarkan beberapa faktor di atas sanggup disimpulkan bahwa untuk menghasilkan lingkungan yang baik biar sanggup memdiberi imbas yang positif terhadap anak/ siswa sehingga sanggup berguru dengan sebaik-baiknya.
g. Indikator hasil belajar
Menurut Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain (2010: 105-106), yang menjadi petunjuk bahwa suatu proses berguru mengajar dianggap berhasil yakni daya serap terhadap materi pengajaran yang diajarkan mencapai prestasi tinggi, baik secara individual maupun kelompok. Namun demikian, indikator yang banyak digunakan sebagai tolak ukur keberhasilan yakni daya serap.
Gagne (1985) dalam Sobri Sutikno (2008: 6-7), sebut ada lima macam hasil berguru diberikut ini:
a) Keterampilan intelektual atau keterampilan prosedural yang meliputi beberapa aspek berguru diskriminasi, konsep, prinsip dan pemecahan masalah yang ketiruananya diperoleh melalui materi yang disajikan oleh guru di sekolah.
b) Strategi kognitif, yaitu kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah gres dengan jalan mengatur proses internal masing-masing individu dalam memperhatikan , belajar, mengingat dan berpikir.
c) Informasi verbal, yaitu kemampuan untuk mendeskripsikan sesuatu dengan kata-kata dengan jalan mengatur informasi-informasi yang relevan.
d) Keterampilan motorik, yaitu kemampuan untuk melaksanakan dan mengkoordinasikan gerakan-gerakan yang berafiliasi dengan otot.
e) Sikap, yaitu suatu kemampuan internal yang mensugesti tingkah laris seseorang didasari oleh emosi, kepercayaan-kepercayaan, serta faktor intelektual.
Berdasarkan indikator di atas sanggup disimpulkan bahwa suatu proses berguru mengajar sanggup dikatakan berhasil, setiap guru mempunyai pandangan masing-masing sejalan dengan filsafatnya. Namun, untuk menyamakan persepsi sebaiknya kita berpedoman pada kurikulum yang berlaku ketika ini sudah disempurnakan antara lain bahwa suatu proses berguru mengajar wacana suatu materi pengajaran ditetapkan berhasil apabila tujuan pembelajaran dan karakternya sanggup tercapai.
4. Tinjauan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)
a. Pengertian IPA
Pengembangan kurikulum 2013 ialah pecahan dari taktik meningkatkan capaian pendidikan. Pengembangan kurikulum 2013 yakni sanggup menghasilkan insan Indonesia yang produktif, kreatif, inovatif dan efektif melalui penguatan empat pilar pendidikan yang terpadu yaitu antara learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together. Hal tersebut sejalan dengan amanat UU No. 20 Tahun 2003 sebagaimana tersurat dalam klarifikasi Pasal 35: “Kompetensi lulusan ialah kualifikasi kemampuan lulusan yang meliputi beberapa aspek sikap, pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan standar nasional yang sudah disahkan”.
Berdasarkan kurikulum 2013, bidang kajian IPA yakni suatu ilmu yang mempelajari wacana alam sekitar beserta isinya. Perkembangannya terus berlangsung sejalan dengan penelitian yang dilakukan di bidang IPA. Sebagai ilmu dasar IPA diajarkan semenjak jenjang pendidikan dasar, menengah dan juga di perguruan tinggi. Kurikulum yang dicanangkan pemerintah di tahun 2013 dan pembelajarannya yang sesuai kontek kurikulum 2013, serta pendidikan karakter (http://ipa.unnes.ac.id/?p=1111).
Ilmu pengetahuan alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu wacana alam secara sistematis, sehingga IPA bukan spesialuntuk penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep atau prinsip-prinsip saja tetapi juga ialah suatu proses penemuan. Pendidikan ilmu pengetahuan alam (IPA) diharapkan sanggup menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembelajarannya menekankan pada pemdiberian pengalaman pribadi untuk berbagi kompetensi biar menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. IPA diarahkan untuk inkuiri dan berbuat sehingga sanggup memmenolong peserta didik untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam wacana alam sekitar.
Kementrian pendidikan dan kebudayaan selaku tubuh tertinggi pendidikan di tanah air secara resmi akan segera menerapkan kurikulum 2013 yang gres untuk diterapkan dalam dunia pendidikan di Indonesia. melaluiataubersamaini tujuan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional serta menciptakan generasi yang berbudi pekerti luhur, diharapkan perubahan kurikulum yang akan diterapkan pada tahun 2013 ini bisa meningkatkan kualitas pendidikan di tanah air.
Struktur kurikulum menggambarkan konseptualisasi konten kurikulum dalam bentuk mata pelajaran, posisi konten/ mata pelajaran dalam kurikulum, distribusi konten/ mata pelajaran dalam semester atau tahun, beban berguru untuk mata pelajaran dan beban berguru perminggu untuk setiap siswa. Struktur kurikulum adalah juga ialah aplikasi konsep pengorganisasian konten dalam sistem belajar dan pengorganisasian beban berguru dalam sistem pembelajaran.
Gambar 1. 2 Struktur Kurikulum SD/ MI Tahun 2013
Kurikulum yang akan diterapkan di SD/ MI. Perubahan yang terjadi pada kurikulum 2013 di SD/ MI ini yang paling menonjol yakni pemangkasan jumlah mata pelajaran yang akan diselenggarakan. Kelompok A yakni mata pelajaran yang mempersembahkan orientasi kompetensi lebih kepada aspek kognitif dan afektif, sedangkan kelompok B lebih menekankan pada aspek afektif dan psikomotor (artikelmateri2.blogspot.com/search?q=pengertian-ilmu-pengetahuan-alam-dan).
Integrasi kompetensi dasar IPA dan IPS didasarkan pada keterdekatan makna dari konten kompetensi dasar IPA dan IPS dengan konten Pendidikan Agama dan Budi Pekerti, PPKn, Bahasa Indonesia, Matematika, serta Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan yang berlaku untuk kelas I, II dan III. Sedangkan untuk kelas IV, V dan VI, kompetensi dasar IPA dan IPS berdiri sendiri dan kemudian diintegrasikan ke dalam tema-tema yang ada untuk kelas IV, V dan VI.
Beban berguru ditetapkan dalam jam berguru setiap ahad untuk masa belajar selama satu semester. Beban berguru di SD/ MI kelas I, II dan III masing-masing 30, 32, 34 jam setiap minggu, sedangkan untuk kelas IV, V dan VI masing-masing 36 jam setiap minggu. Jam berguru SD/ MI yakni 35 menit (artikelmateri2.blogspot.com/search?q=pengertian-ilmu-pengetahuan-alam-dan).
Berdasarkan uraian di atas, maka sanggup disimpulkan bahwa dengan adanya pelengkap jam berguru ini dan pengurangan jumlah kompetensi dasar, guru mempunyai keleluasaan waktu untuk berbagi proses pembelajaran yang berorientasi siswa aktif. Proses pembelajaran siswa aktif memerlukan waktu yang lebih panjang dari proses pembelajaran penyampaian informasi lantaran peserta didik perlu tes untuk mengamati, menanya, mengasosiasi dan berkomunikasi. Proses pembelajaran yang dikembangkan menghendaki kesabaran guru dalam mendidik peserta didik sehingga mereka menjadi tahu, bisa dan mau belajar, dan menerapkan apa yang sudah mereka pelajari di lingkungan sekolah dan masyarakat sekitarnya. Selain itu, bertambahnya jam berguru memungkinkan guru melaksanakan penilaian proses dan hasil belajar.
b. Proses pembelajaran IPA materi rangka insan di kelas IV
1) Pembelajaran IPA
Prinsip proses pembelajaran yakni belajar, sedangkan berguru yakni suatu proses perubahan sikap individu yang relatif tetap sebagai hasil dari pengalaman. Oleh lantaran itu, pembelajaran yakni upaya penataan lingkungan yang aman sehingga proses berguru sanggup tumbuh dan berkembang. Karena pembelajaran bersifat rekayasa perilaku, maka proses pembelajaran terikat dengan tujuan. Dari sudut pandang sosiologis, proses pembelajaran yakni proses penyiapan peserta didik untuk sanggup menjalankan kehidupannya di masyarakat. Sekolah yakni suatu sistem sosial yang ialah miniatur masyarakat luas. Oleh lantaran itu, proses pembelajaran tidak akan terlepas dari proses sosialisasi dan apa yang dipelajari di sekolah seharusnya ialah cerminan keadaan nyata di sekitar peserta didik yang dimanfaatkan atau diimplementasikan dalam masyarakat.
Permasalahan dalam proses pembelajaran pada umumnya terpelajar balig cukup akal ini yakni kecenderungan bahwa para anakdidik spesialuntuk terbiasa memakai sebagian kecil saja dari potensinya atau kemampuan berpikirnya. Dikhawatirkan mereka menjadi malas untuk berpikir dan terbiasa malas berpikir mandiri. Kecenderungan ini sama saja dengan proses pemandulan dan sama sekali bukan proses pencerdasan. Para anakdidik dan juga gurunya masih terbiasa berguru dengan domain kognitif rendah. Oleh lantaran itu, metode berpikir dalam kegiatan mereka berguru pun belum menyentuh domain afektif dan konatif yang diperlukan. Aspek lain berkenaan dengan konsep diri dan proses berbagi kemandirian dalam berpikir, bersikap dan berperilaku.
Kecenderungan dalam pembelajaran IPA pada masa kini yakni peserta didik spesialuntuk mempelajari IPA sebagai produk, menghafalkan konsep, teori dan hukum. Keadaan ini diperparah oleh pembelajaran yang berorientasi pada tes/ ujian, akhirnya IPA sebagai proses, sikap dan aplikasi tidak tersentuh dalam pembelajaran. Pengalaman berguru yang diperoleh di kelas tidak utuh dan tidak berorientasi tercapainya standar kompetensi dan kompetensi dasar. Pembelajaran lebih bersifat teacher centered, guru spesialuntuk memberikan IPA sebagai produk dan peserta didik menghafal informasi faktual. Peserta didik spesialuntuk mempelajari IPA pada domain kognitif yang terendah, peserta didik tidak dibiasakan untuk berbagi potensi berpikirnya. Fakta di lapangan memberikan bahwa banyak peserta didik yang cenderung menjadi malas berpikir secara mandiri. Teknik berpikir yang dikembangkan dalam kegiatan berguru belum menyentuh domain afektif dan psikomotor. Alasan yang sering dikemukakan oleh para guru yakni keterbatasan waktu, masukana, lingkungan belajar dan jumlah peserta didik perkelas yang terlalu banyak.
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap kegiatan riil di lapangan, kegiatan pembelajaran di sekolah pada umumnya cenderung monoton dan tidak menarikdanunik sehingga beberapa pelajaran ditakuti dan selalu dianggap susah oleh anakdidik. Misalnya matematika dan sains. Temuan Slimming (1998) yang mereview sikap mengajar para guru di Indonesia, juga memberikan bahwa umumnya para guru cenderung berbagi pembelajaran pasif dengan memakai metode ceramah di sebagian besar kegiatan proses pembelajarannya di kelas (Wahidin, 2006: 22-24).
Permasalahan di atas semestinya menjadi perhatian fokus dengan upaya mencari terobosan gres dalam memecahkannya, baik melalui pengembangan materi pembelajaran gres maupun melalui model, metode atau pendekatan yang sudah ada. Di samping penunjang faktor di luar akademik antara lain penyediaan buku pelajaran yang berkarakter, baik dan sanggup berbagi pembelajaran dengan paradigma gres tersebut.
Prosedur metode resitasi yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan pembelajaran IPA antara lain:
a. Memperdalam pemahaman siswa terhadap mata pelajaran IPA yang sudah diterima.
b. Melatih siswa kearah berguru mandiri.
c. Dapat membagi waktu secara teratur, memanfaatkan waktu luang.
d. Melatih untuk menemukan sendiri cara-cara yang tepat untuk menuntaskan kiprah dan memperkaya pengalaman di sekolah melalui kegiatan di luar atau di dalam kelas.
2) Materi rangka manusia
Rangka insan terdiri atas susunan tulang-tulang yang saling berafiliasi satu sama lain sehingga membentuk tubuh. Secara garis besar rangka insan dibagi menjadi tiga bagian, yaitu rangka kepala, rangka badan, dan rangka anggota gerak.
Gambar 2. 2 Struktur Tubuh Rangka Manusia
Gambar 3. 2 Rangka Kepala Gambar 4. 2 Tulang Rusuk dan Tulang Dada
Gambar 5. 2 Ruas-ruas T. Belakang Gambar 6. 2 Tulang Anggota Gerak Atas
Gambar 7. 2 Tulang Anggota Gerak Bawah
Rangka insan mempunyai kegunaan untuk menguatkan tubuh, menegakkan tubuh, dan melindungi organ-organ penting tubuh, ibarat otak, jantung, dan paru-paru. Selain itu, rangka juga menjadi kawasan melekatnya otot.
Tulang-tulang yang mempunyai kegunaan sebagai pelindung dan pecahan tubuh yang dilindunginya yakni sebagai diberikut:
a) Tulang tengkorak melindungi otak
Otak ialah organ atau pecahan tubuh yang terpenting. Tanpa otak kita tidak sanggup melihat, mendengar, merasa, mencium, atau meraba lantaran otaklah yang mengendalikan pekerjaan tiruana pecahan tubuh kita. Bentuk otak sangat lunak sehingga perlu dilindungi. Otak terletak di dalam rongga otak yang terdapat di dalam tengkorak. Tengkorak tersusun dari tulang-tulang pipih yang saling berkaitan membentuk tempurung kepala yang kokoh.
b) Rangka tubuh melindungi jantung dan paru-paru
Jantung dan paru-paru termasuk organ penting manusia. Tanpa jantung mungkin darah tidak ada di seluruh tubuh kita lantaran jantunglah yang memompakan darah ke seluruh tubuh. Tanpa paru-paru kita juga tidak sanggup bernafas lantaran paru-parulah yang menyerap oksigen yang kita hirup dari udara. Karena bentuknya yang sangat lunak, jantung dan paru-paru perlu dilindungi. Rangka tubuh ibarat tulang rusuk, tulang belakang, dan tulang dada yang membentuk rongga dada melindungi jantung, paru-paru, dan sebagian alat pencernaan.
Organ tubuh lainnya yang terlindungi oleh rangka tubuh yakni sebagai diberikut:
(1) Ruas-ruas tulang leher melindungi tenggorokan dan kerongkongan.
(2) Tulang pinggul melindungi alat pencernaan masakan dan alat kelabuin.
(3) Tulang belakang melindungi sumsum tulang belakang dan juga mempersembahkan kekuatan tubuh.
Rangka anggota gerak berbentuk pipa dan beruas-ruas. Rangka anggota gerak berfungsi untuk bergerak. Rangka anggota gerak terdiri dari atas tulang anggota gerak atas (tangan) dan tulang anggota gerak bawah (kaki).
c. Tujuan IPA
Berdasarkan KTSP, rangka insan ialah materi yang disajikan pada siswa kelas IV SD/ MI semester ganjil tahun fatwa 2013/ 2014. Dalam penelitian ini, peneliti melaksanakan dua siklus. melaluiataubersamaini standar kompetensi yaitu memahami hubungan antara struktur organ tubuh insan dengan fungsinya, serta pemeliharaannya. Dan siklus I dengan kompetensi dasar yaitu mendeskripsikan hubungan antara struktur kerangka tubuh insan dengan fungsinya. Sedangkan siklus II, kompetensi dasar yaitu (1) mendeskripsikan hubungan antara struktur kerangka tubuh insan dengan fungsinya dan (2) menerapkan cara memelihara kesehatan kerangka tubuh. Untuk siklus I indikator pembelajarannya yaitu (1) mendeskripsikan rangka insan ibarat rangka kepala, rangka badan, rangka anggota gerak dan sendi, (2) mendeskripsikan kegunaan rangka manusia, (3) memahami hubungan antara struktur kerangka tubuh insan dengan fungsinya, dan (4) mendeskripsikan hubungan antara struktur kerangka tubuh insan dengan fungsinya. Sedangkan, untuk siklus II dengan indikator pembelajarannya yaitu (1) menerangkan rangka insan dan fungsinya, (2) menerangkan cara pemeliharaan rangka manusia, dan (3) mencari informasi wacana penyakit dan kelainan yang umumnya terjadi pada rangka manusia.
Tujuan berguru IPA yang terkait dengan materi rangka insan dalam kurikulum peserta didik menekankan pada pengalaman pribadi untuk berbagi kompetensi biar peserta didik bisa memahami alam sekitar melalui proses “mencari tahu” dan “berbuat”, hal ini akan memmenolong peserta didik untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam. Keterampilan dalam mencari tahu atau berbuat tersebut dinamakan dengan keterampilan proses penyelidikan atau “inquiry skills” yang meliputi mengamati, mengukur, menggolongkan, mengajukan pertanyaan, menyusun hipotesis, merencanakan eksperimen untuk menjawaban pertanyaan, mengklasifikasikan, mengolah dan menganalisis data, menerapkan ilham pada situasi baru, memakai peralatan sederhana serta mengkomunikasikan informasi dalam aneka macam cara yaitu dengan gambar, lisan, tulisan dan sebagainya. Melalui keterampilan proses dikembangkan sikap dan nilai yang meliputi rasa ingin tahu, jujur, sabar, terbuka, tidak percaya tahayul, kritis, tekun, ulet, cermat, disiplin, peduli terhadap lingkungan, memperhatikan keselamatan kerja dan bekerja sama dengan orang lain.
Berdasarkan tujuan di atas sanggup disimpulkan bahwa mata pelajaran IPA materi rangka insan bertujuan biar peserta didik mempunyai kemampuan sebagai diberikut:
a. Meningkatkan keyakinan terhadap kebemasukan Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan dan keteraturan alam ciptaannya.
b. Mengembangkan pemahaman wacana aneka macam macam tanda-tanda alam, konsep dan prinsip IPA yang bermanfaa dan sanggup diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
c. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran terhadap adanya hubungan yang saling memengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi dan masyarakat.
d. Melakukan inkuiri ilmiah untuk menumbuhkan kemampuan berpikir, bersikap dan bertindak ilmiah serta berkomunikasi.
e. Meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan serta sumber daya alam.
f. Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan.
g. Meningkatkan pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya.
B. Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan dengan penelitian ini yakni yang dilakukan Wildan Irwahyudi pada tahun 2010 wacana “Penerapan Metode Resitasi sebagai upaya Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa kelas IV pada Mata Pelajaran IPA Di SDN Pulerejo 02 Bakung Blitar”. Penelitian ini menyimpulkan bahwa sehabis diterapkannya metode resitasi, prestasi berguru siswa pada mata pelajaran IPA meningkat.
Penelitian lain yang relevan dengan penelitian ini yakni penelitian yang dilakukan oleh Rudi Yanto pada tahun 2011 wacana “Penerapan Metode resitasi sebagai upaya Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Mata Pelajaran IPA kelas IV Di MI Al-Khoiriyah Tirtomoyo Pakis Malang”. Hasil penelitian tersebut, sehabis diterapkannya metode resitasi memberikan adanya peningkatan hasil berguru siswa yang baik.
C. Kerangka Berpikir
Berdasarkan KTSP, rangka insan ialah materi yang disajikan pada siswa kelas IV SD/ MI semester ganjil tahun fatwa 2013/ 2014. Kurikulum pembelajaran KTSP mempunyai ciri utama bahwa pembelajaran berpusat pada siswa, maka siswa harus berperan aktif dalam keterampilan berpikirnya. Salah satu taktik pembelajaran yang sanggup diterapkan dalam metode resitasi yakni tes untuk menuntaskan kiprah tersebut yang cocok digunakan pada mata pelajaran IPA. Oleh lantaran itu, dalam pembelajaran rangka manusia, siswa diharapkan untuk berbagi keterampilan serta meningkatkan hasil berguru materi rangka insan terhadap siswa melalui metode resitasi.
Ilmu pengetahuan alam ialah mata pelajaran wajib pada tingkat SD/ MI. IPA didiberikan pada siswa SD/ MI sebagai landasan bagi pemahaman mata pelajaran tersebut di tingkat sekolah yang lebih tinggi. Metode penyampaian yang kurang tepat sanggup mengakibatkan siswa SD/ MI menjadi apriori terhadap mata pelajaran ini, apalagi IPA dikenal sebagai mata pelajaran eksak yang penuh dengan rumus dan hafalan teori yang menjadikan IPA sebagai salah satu pelajaran yang tidak menarikdanunik.
Proses pembelajaran IPA yang dilakukan oleh pendidik ketika ini cenderung pada pencapaian sasaran materi kurikulum, lebih mementingkan pada penghafalan konsep bukan pada pemahaman. Hal ini sanggup dilihat kondisi pertama dari kegiatan pembelajaran di dalam kelas yang selalu didominasi oleh guru (teacher centered). Dalam penyampaian materi, biasanya guru memakai metode ceramah, di mana kegiatan siswa spesialuntuk duduk, mencatat dan mendengarkan apa yang disampaikannya, dan sedikit peluang bagi siswa untuk bertanya. melaluiataubersamaini demikian, suasana pembelajaran menjadi tidak aman sehingga siswa menjadi pasif lantaran metode pembelajaran yang digunakan belum merangsang siswa untuk aktif dalam meningkatkan hasil belajarnya.
Seperti halnya di MIN 1 Kota Bandung, siswa melaksanakan kegiatan berguru dengan baik ketika pembelajaran dengan menggunakan metode resitasi. Hal ini sanggup dilihat dalam proses pembelajaran siswa lebih berperan aktif dibandingkan guru, sehingga terciptalah situasi berguru aktif ketika mengikuti pembelajaran. Tetapi di sisi lain berdasarkan penelitian bahwa mata pelajaran IPA di kelas IV, khususnya untuk materi rangka manusia, diperoleh informasi bahwa kondisi hasil berguru siswa pada mata pelajaran IPA masih rendah. Fenomena tersebut memberikan di MIN 1 Kota Bandung sudah terjadi kesentidakboleh, di satu sisi mereka (siswa) melaksanakan kegiatan dengan baik dalam mengikuti pembelajaran dengan menggunakan metode resitasi, di sisi lain hasil berguru mereka pada mata pelajaran IPA materi rangka insan masih rendah.
Berdasarkan kondisi pertama yang sudah diuraikan di atas, maka untuk melaksanakan tindakan dalam pembelajaran IPA materi rangka insan dengan menerapkan metode resitasi terjadi peningkatan hasil berguru siswa yang dilihat dari kegiatan dan melaksanakan tes selama kegiatan berguru mengajar di kelas. melaluiataubersamaini demikian, kondisi simpulan yang diinginkan yaitu hasil berguru siswa pada mata pelajaran IPA materi rangka insan meningkat, dilihat dari tugas-tugas yang didiberikan oleh guru.
Hasil berguru ialah perubahan sikap siswa akhir belajar. Perubahan itu diupayakan dalam proses berguru mengajar untuk mencapai tujuan pendidikan. Perubahan sikap individu akhir proses berguru tidaklah tunggal, terjadi setiap proses berguru mensugesti perubahan sikap pada domain tertentu pada diri siswa, tergantung perubahan yang diinginkan terjadi sesuai dengan tujuan pendidikan. Hasil berguru perlu dievaluasi, penilaian dimaksudkan sebagai cermin untuk melihat kembali apakah tujuan yang diterapkan selalu tercapai dan apakah proses berguru mengajar sudah berlangsung efektif untuk memperoleh hasil belajar.
Berdasarkan paparan di atas, maka sanggup digambarkan skema penerapan metode resitasi sebagai upaya meningkatkan hasil berguru siswa pada mata pelajaran IPA materi rangka manusia, secara skematik kerangka berpikir di atas digambarkan sebagai diberikut:
Kondisi Awal |
Tindakan |
Kondisi Akhir |
Metode pembelajaran yang digunakan belum merangsang siswa untuk aktif dalam meningkatkan hasil belajar. |
Menerapkan metode resitasi (penugasan). |
Hasil berguru siswa pada mata pelajaran IPA materi rangka insan meningkat. |
Kondisi hasil berguru siswa pada mata pelajaran IPA materi rangka insan rendah. |
Siklus I: Peningkatan keaktifan siswa dilihat dari kegiatan selama kegiatan berguru mengajar. |
Siklus II: Peningkatan hasil berguru siswa dilihat dari tugas-tugas yang didiberikan oleh guru. |
Gambar 8. 2 Skema Kerangka Pemikiran Penelitian Tindakan Kelas
D. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kerangka berpikir di atas, maka hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah:
Pembelajaran dengan memakai metode resitasi tujuannya untuk melatih siswa biar sanggup meningkatkan hasil berguru dan merangsang siswa untuk aktif, khususnya dalam mata pelajaran IPA.
Hipotesis tindakannya yakni melalui penerapan metode resitasi maka akan terjadi peningkatan hasil berguru siswa kelas IV MIN 1 Kota Bandung pada mata pelajaran IPA materi rangka manusia.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Setting Penelitian
1. Waktu penelitian
Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan pada bulan september semester ganjil tahun fatwa 2013/ 2014 di MIN 1 Kota Bandung, objek penelitian ini yakni siswa kelas IV dengan penerapan metode resitasi sebagai upaya meningkatkan hasil berguru siswa kelas IV MIN 1 Kota Bandung pada mata pelajaran IPA materi rangka manusia.
2. Tempat penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di kelas IV MIN 1 Kota Bandung yang beralamat di Jalan Sindang Sari No.12 Kelurahan Cipadung Kulon Kecamatan Panyileukan Kota Bandung Propinsi Jawa Barat, pada materi rangka insan semester ganjil tahun fatwa 2013/ 2014. melaluiataubersamaini pertimbangan metode resitasi yang belum dilaksanakan di sekolah tersebut dengan masukana dan pramasukana yang cukup baik untuk penelitian ini.
3. Metode penelitian
Penelitian ini memakai rancangan penelitian tindakan kelas. Penelitian terdiri dari dua siklus, tergantung permasalahan atau hambatan yang ditemukan selama penelitian, masing-masing pelaksanaan tindakan, observasi dan refleksi.
Menurut Rochiati Wiriaatmadja (2005: 13), secara ringkas penelitian tindakan kelas yakni bagaimana sekelompok guru sanggup mengorganisasikan kondisi praktek pembelajaran mereka dan berguru dari pengalaman mereka.
Menurut Suharsimi Arikunto et al, (2009: 3), penelitian tindakan kelas ialah suatu pencermatan terhadap kegiatan berguru berupa sebuah tindakan, yang sengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas secara bersama.
Metode penelitian tindakan kelas ialah salah satu cara yang digunakan untuk mereview permasalahan di kelas dengan tujuan utama yaitu menyempurnakan atau meningkatkan proses berguru mengajar. Tujuan dilaksanakannya penelitian tindakan kelas yaitu untuk meningkatkan kualitas pendidikan atau pengajaran yang diselenggarakan oleh guru peneliti itu sendiri yang akan berdampak pada permasalahan dalam proses pembelajaran di dalam kelas.
B. Subjek Penelitian
Populasi dalam penelitian ini yakni siswa kelas IV MIN 1 Kota Bandung yang berjumlah 31 orang, terdiri dari 17 siswa pria dan 14 siswa wanita yang terletak di Jalan Sindang Sari No.12 Kelurahan Cipadung Kulon Kecamatan Panyileukan Kota Bandung.
C. Sumber Data
Jenis data dalam penelitian ini berupa data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif diperoleh dari:
1. Data yang tidak berupa angka, data kualitatif dalam penelitian ini berupa data wacana keterlaksanaan guru dan siswa dalam melaksanakan tahapan penerapan metode resitasi (penugasan) yang diperoleh dari format observasi.
2. Wawancara untuk mendapatkan data wacana keadaan sekolah terhadap kepala sekolah, serta data wacana pembelajaran terhadap guru dan siswa.
3. Dokumen digunakan sebagai data kegiatan berguru di kelas. Salah satunya dengan pemotretan untuk mengetahui situasi dan kondisi guru maupun siswa ketika melaksanakan penelitian.
Sedangkan, data kuantitatif dalam penelitian ini berupa data hasil berguru siswa dengan penerapan metode resitasi pada mata pelajaran IPA materi rangka insan yang diperoleh dari hasil tes.
D. Teknik dan Alat Pengumpulan Data
Instrumen penelitian yakni seperangkat alat untuk mengumpulkan data yang akan digunakan untuk menjawaban dan menguji hipotesa.
1. Teknik pengumpulan data dalam penelitian tindakan kelas ini dilakukan dengan cara:
a. Observasi
Observasi ini dilakukan untuk mengetahui secara pribadi situasi lingkungan dan kawasan penelitian. Dalam memakai observasi ini, cara yang paling efektif yakni melengkapi dengan format atau blangko pengamatan sebagai instrumen, dari hasil observasi ini akan mencatat aneka macam petunjuk yang diperoleh di lapangan. Observasi penelitian ini penulis gunakan untuk memperoleh data wacana citra umum proses pembelajaran IPA memakai metode resitasi (penugasan) di MIN 1 Kota Bandung yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasinya.
b. Tes
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yakni instrumen tes yang sanggup meningkatkan hasil berguru siswa pada mata pelajaran IPA materi rangka insan biar siswa bisa memahami dan mengasah kemampuannya untuk berpikir kritis. Tes yang digunakan dalam penelitian ini yakni berbentuk tes uraian (tulisan). Tes yang dimaksud untuk dijadikan penentuan pertama poin perkembangan individu siswa, hasil tes ini akan digunakan untuk mengetahui tingkat prestasi, hasil berguru dan keaktifan siswa terhadap materi pelajaran IPA melalui metode resitasi. Tujuan didiberikannya tes tiap siklus yakni untuk mengetahui tingkat penguasaan siswa (ketuntasan siswa dalam pembelajaran) terhadap materi pelajaran yang didiberikan setiap siklusnya. Tes tiap siklus didiberikan setiap simpulan tindakan.
Pengukuran tes hasil berguru ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui peningkatan hasil berguru siswa dengan melihat nilai yang diperoleh oleh siswa. Tes tersebut juga sebagai salah satu rangkaian kegiatan dalam penerapan metode resitasi dalam upaya untuk meningkatkan hasil berguru siswa.
c. Wawancara
Wawancara yakni cara menghimpun bahan-bahan keterangan yang dilaksanakan dengan melaksanakan tanya tanggapan verbal secara sepihak, berhadapan muka dan dengan arah serta tujuan yang sudah ditentukan (Anas Sudijono, 2011: 82). Wawancara ini untuk memperoleh data wacana perkembangan hasil penelitian yang dilakukan ibarat pencapaian atau kemajuan serta hambatan dari penelitian yang dilakukan dan untuk mendapatkan data wacana keadaan sekolah terhadap kepala sekolah. Pedoman wawancara spesialuntuk memuat garis besar yang akan ditanyakan. Oleh lantaran itu, penulis harus bisa mengarahkan responden terhadap pembicaraan wacana data yang diharapkan.
2. Alat pengumpulan data dalam penelitian tindakan kelas ini berupa:
a. Format lembar observasi
Lembar observasi siswa dan guru, lembar observasi ini berbentuk pilihan jawabanan YA atau TIDAK, observer spesialuntuk memdiberi tanda cheklist (V) pada kolom yang sesuai. Aspek-aspek yang diobservasi yaitu langkah-langkah kegiatan, mulai dari kegiatan pertama, kegiatan inti dan kegiatan akhir.
Lembar observasi digunakan untuk mengetahui citra pribadi terkena kegiatan guru dan siswa selama proses pembelajaran melalui penerapan metode resitasi pada mata pelajaran IPA materi rangka manusia. Data yang diperoleh melalui pengamatan observer selama kegiatan pembelajaran berlangsung dengan memakai lembar observasi. Observasi dilakukan oleh guru mata pelajaran IPA.
b. Perangkat satu jenis
Perangkat yang digunakan dalam penelitian ini yakni tes yang berbentuk soal goresan pena (essai/ uraian) sebagai upaya meningkatkan hasil berguru siswa kelas IV pada mata pelajaran IPA materi rangka manusia.
c. Pedoman wawancara
Pedoman wawancara guru dan siswa untuk mengetahui tanggapan mereka wacana proses pembelajaran yang selama ini mereka lakukan apakah sudah mencapai hasil berguru yang meningkat serta tanggapan wacana sebelum memakai metode resitasi dan sehabis memakai metode resitasi dalam pembelajaran IPA, serta keaktifan siswa dan apakah siswa menyukai pelajaran IPA, dan lain sebagainya yang terkait dalam proses pembelajaran ini.
E. Validasi Data
Data mempunyai kedudukan yang paling penting dalam penelitian. Benar atau tidaknya data tergantung dari baik tidaknya hasil penelitian. Validitas yakni suatu ukuran yang memberikan tingkat-tingkat kevalidan atau kesatuan suatu instrumen. Suatu instrumen dikatakan valid apabila bisa mengukur apa yang diinginkan atau sanggup mengungkap data dari variabel yang diteliti secara tepat, agar diperoleh data hasil berguru siswa yang absah (valid) diharapkan adanya instrumen tes yang valid, yang memuat sejumlah butir soal yang tepat mengukur penguasaan siswa wacana rangka manusia. Validitas data proses pembelajaran dilakukan dengan memakai metode resitasi yang menitikberatkan pada peningkatan hasil berguru siswa.
1. Proses Pembelajaran
Data proses pembelajaran validasi datanya diperoleh melalui:
a. Triangulasi sumber yaitu data diperoleh melalui observasi kepihak sekolah untuk mengetahui keadaan sekolah dan wawancara kepada guru dan siswa terkena sumber berguru dan metode pembelajarn yang digunakan dalam pembelajaran tersebut apakah spesialuntuk memakai buku paket dengan metode yang umum, obserasi dan wawancara tersebut digunakan untuk melengkapi data yang sudah ada sebelumnya.
b. Triangulasi sumber yaitu diperoleh melalui observasi kepihak sekolah dan wawancara kepada guru dan siswa terkena apakah metode resitasi pernah diterapkan dalam pembelajaran IPA sebelumnya, wawancara tersebut digunakan untuk melengkapi data yang sudah ada sebelumnya.
2. Hasil Belajar
Pengukuran tes hasil berguru ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui peningkatan hasil berguru siswa, kemudian dianalisis dengan menentukan valid tidaknya yaitu melalui analisis kualitatif dan analisis kuantitatif sebagai diberikut:
a. Analisis kualitatif
Penelitian ini dipergunakan untuk mencari suatu taktik pembelajaran yang tepat untuk meningkatkan penguasaan materi rangka manusia secara efektif dan efisien, sehingga arah penelitian ini yaitu mengaktifkan dan memdiberi kepahaman pada siswa dalam penguasaan materi rangka manusia dengan efektif, dan untuk pengukuran masalah tersebut peneliti memakai alat pengumpul data yang berupa tes tertulis yang berupa soal dan dilengkapi dengan kisi-kisi soal secara lengkap. Berdasarkan butir soal dalam bentuk essai/ uraian (tes tulis). Aspek yang harus diperhatikan dan ditelaah yaitu dari segi materi, bahasa, penskorannya, kisi-kisi, buku sumber, RPP dan kurikulum yang digunakan.
b. Analisis kuantitatif
Pada penelitian tindakan kelas ini proses validasi data dilakukan dengan meminta penilaian terhadap para jago dan praktisi berkenaan dengan isi dan kisi-kisi dari tes tertulis yang digunakan sebagai alat pengumpul data, sehingga alat yang digunakan untuk mengukur kemampuan siswa dalam penelitian ini kevalidannya benar-benar sanggup dipertanggungjawabankan.
Sesudah data hasil uji coba dalam penelitian terkumpul, kemudian dihitung analisis validitas, analisis reliabilitas, analisis daya pembeda dan tingkat kesukaran, analisis ketuntasan berguru dan angket skala sikap.
1) Analisis validitas
Menurut modul penilaian pendidikan Tuti Hayati (2012: 1), validitas ialah salah satu ciri yang menandai tes yang baik. Valid artinya tepat dan invalid artinya tidak tepat. Menurut Anas Sudijono (2011: 181), untuk menguji tingkat validitas soal digunakan rumus hubungan product moment dengan angka kasar sebagai diberikut:
Keterangan:
rxy = validitas item soal
X = skor tiap soal
Y = skor yang diperoleh
N = banyaknya sampel
Tabel 2. 3
Interpretasi Validitas
Indeks Validitas | Interpretasi |
rxy ≥ rt rxy ≤ rt | Valid Tidak valid |
2) Analisis reliabilitas
Menurut modul penilaian pendidikan Tuti Hayati (2012: 8), reliabel berasal dari bahasa Inggris “reliable” artinya ajeg atau sanggup dipercaya. Suatu tes sanggup dikatakan mempunyai taraf kepercayaan atau daya keajegan yang tinggi apabila tes tersebut kapan pun diujikan sanggup mempersembahkan hasil yang sama kepada siswa yang sama. Menurut Anas Sudijono (2011: 208), untuk menguji reliabilitas ini sanggup memakai rumus alpha sebagai diberikut:
Keterangan:
r11 = koefisien reliabilitas tes
n = banyaknya butir item
1 = angka konstan
∑s2i = jumlah varian dari tiap-tiap item
s2t = varian total
Tabel 3. 3
Interpretasi Reliabilitas
Indeks Reliabilitas | Interpretasi |
r11 ≥ 0,70 r11 ≤ 0,70 | Reliabel Un-reliable (tidak reliabel) |
3) Daya Pembeda dan Tingkat Kesukaran
Menurut modul penilaian pendidikan Tuti Hayati (2012: 13-18), analisis daya pembeda dan tingkat kesukaran yaitu sebagai diberikut:
a) Daya pembeda yakni kemampuan suatu butir soal untuk membedakan antara siswa yang mempunyai kemampuan tinggi (pandai) dengan siswa yang mempunyai kemampuan rendah (bodoh). Menurut Wiana Mulya dan Asep Wahyu (1993: 71), daya pembeda soal yakni sejauh mana butir soal itu mempunyai daya pembeda antara responden (siswa yang dites) yang tergolong kelompok rendah (biasanya disebut lower group) dengan kelompok tinggi (biasa disebut higher group).
Rumus:
Keterangan:
DP = daya pembeda
BA/ SA = jumlah skor yang dicapai kelompok atas
BB/ SB = jumlah skor yang dicapai kelompok bawah
n = jumlah kelompok atas dan kelompok bawah
maks = skor terbaik soal yang bersangkutan bila dijawaban
sempurna
½ = angka konstan
Tabel 4. 3
Interpretasi Daya Pembeda
Indeks Daya Pembeda | Interpretasi |
0,40 - ke atas 0,21 - 0,39 0,20 - ke bawah | Baik Kurang Jelek |
b) Tingkat kesukaran yakni suatu pernyataan wacana butir soal apakah termasuk kategori soal gampang, sedang atau sukar. Besarnya indeks kesukaran yakni 0,00-1,00. Butir soal dengan indeks kesukaran 0,00 berarti bahwa soal itu terlalu sukar, dan sebaliknya indeks kesukaran 1,00 memberikan bahwa soal itu terlalu gampang. Rumus:
Keterangan:
TK = tingkat kesukaran
BA/ SA = jumlah skor yang dicapai kelompok atas
BB/ SB = jumlah skor yang dicapai kelompok bawah
n = jumlah kelompok atas dan kelompok bawah
maks = skor terbaik soal yang bersangkutan bila dijawaban
sempurna
Tabel 5. 3
Interpretasi Tingkat Kesukaran
Indeks Kesukaran | Interpretasi |
0,29 - ke bawah 0,30 - 0,69 0,70 - ke atas | Sukar Sedang cepatdangampang |
4) Analisis ketuntasan belajar
Menurut modul penilaian pendidikan Tuti hayati (2012: 19-20), analisis ketuntasan berguru dimaksudkan untuk mengetahui (1) sejauh mana setiap siswa menyerap materi yang didiberikan guru berdasarkan satuan pelajaran atau planning pembelajaran, (2) materi mana yang sudah terserap secara baik dan materi mana yang belum, (3) keberhasilan suatu acara yang dituangkan dalam planning pembelajaran. Rumus:
F. Analisis Data
Data yang akan dianalisis dalam penelitian ini terdiri dari data hasil observasi dan data hasil tes siswa.
1. Analisis hasil observasi
Analisis pada lembar observasi guru dan siswa berdasarkan penilaian YA atau TIDAK melaksanakan poin-poin yang sesuai pada lembar observasi tersebut digunakan untuk mengetahui proses pembelajaran IPA dalam penerapan metode resitasi. Sedangkan, untuk menghitung kegiatan siswa secara individu dilakukan dengan rumus:
2. Analisis hasil tes
Hasil tes dianalisis dengan analisis komparatif yaitu membandingkan nilai tes antar siklus, dengan langkah-langkah analisisnya sebagai diberikut:
a. Menentukan Mean variabel X1
b. Menentukan Mean variabel X2
c. Menentukan Standar Deviasi variabel X1
d. Menentukan Standar Deviasi variabel X2
e. Menentukan Standar Kesesatan Mean Variabel X1, dengan rumus:
f. Menentukan Standar Kesesatan Mean Variabel X2, dengan rumus:
g. Menentukan Standar Kesesatan Perbedaan Mean Variabel X1 dan Mean Variabel X2, dengan rumus:
h. Menentukan t hitung, dengan rumus:
th
i. Menginterpretasikan dengan cara membandingkan harga t hitung dengan harga t tabel, dengan terlebih lampau menentukan:
1) Merumuskan H0 dan Ha:
H0: Tidak ada perbedaan
Ha: Ada perbedaan
2) Menentukan derajat kebebasan, dengan rumus:
3) Menentukan harga t tabel pada taraf signifikan tertentu.
4) Interpretasi, dengan ketentuan:
a) Jika t hitung ≥ t tabel, maka H0 ditolak dan Ha diterima.
b) Jika t hitung < t tabel, maka H0 diterima dan Ha ditolak.
(Tuti Hayati, 2011: 1-2)
G. Indikator Kinerja
Penelitian ini dianggap berhasil kalau sudah memenuhi indikator kinerja diberikut:
1. Sekurang-kurangnya 75% siswa memberikan kiprah aktif dalam kegiatan pembelajaran IPA di kelas.
2. Sekurang-kurangnya 75% siswa mendapat nilai ulangan di atas kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang sudah ditentukan yaitu 60.
3. Sekurang-kurangnya 75% siswa memahami materi yang didiberikan oleh guru.
Bagi siswa, proses pembelajaran dengan memakai metode resitasi pada materi rangka insan sanggup meningkatkan hasil berguru siswa, berguru lebih bergairah, sangat senang dan tidak mudah jenuh sehingga tercipta suasana yang aman dan kolaboratif dalam pembelajaran. Sedangkan bagi guru, guru lebih sanggup meningkatkan kualitas mengajarnya dengan aneka macam macam metode mengajar yang sanggup membuat prestasi berguru siswa lebih tinggi dan memperoleh ilmu pengetahuan yang kompeten dibidangnya.
H. Prosedur Penelitian
Pada penelitian tindakan kelas ini dilakukan dalam dua siklus, namun bila dari dari dua siklus yang direncanakan masih terdapat masalah yang harus dipecahkan maka sanggup dilanjutkan dengan siklus diberikutnya. Setiap siklus, sehabis melaksanakan pembelajaran pada tindakan pertama dilakukan refleksi untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan pembelajaran tersebut. Kemudian disusun perbaikan dan perangkat pembelajaran yang sesuai dengan hasil refleksi untuk digunakan pada penelitian tindakan selanjutnya. Ada beberapa jago yang mengemukakan model penelitian tindakan dengan denah yang tidak sama. Namun berdasarkan Suharsimi Arikunto et al, (2009: 16), secara garis besar terdapat empat tahapan yang lazim dilalui yaitu (1) perencanaan, (2) pelaksanaan, (3) pengamatan, dan (4) refleksi. Adapun model dan klarifikasi untuk masing-masing tahap yakni sebagai diberikut:
Pelaksanaan Tindakan dan Observasi |
Analisis dan Refleksi I |
Perencanaan Tindakan I |
SIKLUS I |
Revisi Perencanaan Tindakan |
Pelaksanaan Tindakan II dan Observasi |
Analisis dan Refleksi II |
SIKLUS II |
Perencanaan Tindakan II |
Kesimpulan |
Gambar 9. 3 Model Penelitian Tindakan Kelas
Model Penelitian Tindakan Kelas Kurt Lewin
Penelitian ini diseriuskan dalam upaya meningkatkan hasil berguru siswa pada mata pelajaran IPA materi rangka insan terhadap siswa kelas IV MIN 1 Kota Bandung. melaluiataubersamaini adanya metode resitasi siswa mempunyai kecenderungan untuk berguru hal yang gres dan menantang, di sini peneliti/ guru sebagai fasilitator, jadi yang aktif dalam pembelajaran ini yakni siswa.
1. Identifikasi masalah:
a. Bagaimana mengefektifkan metode resitasi sebagai upaya meningkatkan hasil berguru siswa kelas IV pada mata pelajaran IPA materi rangka manusia?
b. Bagaimana meningkatkan hasil berguru siswa kelas IV pada mata pelajaran IPA materi rangka manusia?
2. Perencanaan atau persiapan penelitian tindakan kelas:
a. Menentukan kelas yang akan dijadikan kawasan penelitian.
b. Memdiberitahukan kepada pihak sekolah bahwa akan diadakannya penelitian tindakan kelas.
c. Membuat planning pembelajaran.
d. Membuat materi didik yang akan disampaikan.
e. Membuat lembar kerja siswa (LKS).
f. Membuat pedoman lembar observasi guru dan siswa.
3. Pelaksanaan penelitian tindakan kelas:
a. Melaksanakan pembelajaran dengan metode resitasi sebagai upaya meningkatkan hasil berguru siswa pada mata pelajaran IPA materi rangka manusia.
b. Mengobservasi kegiatan guru dan siswa selama proses pembelajaran.
c. Meminta pendapat guru wacana penerapan pembelajaran tersebut.
d. Melaksanakan tes.
e. Melaksanakan post test dan pre test, sebelum dan sehabis pembelajaran.
4. Pengamatan
Pengamatan atau observasi yang dilakukan dalam penelitian tindakan kelas ini yakni dengan memakai format pengamatan yang sudah disediakan. Aspek-aspek yang diamati antara lain meliputi:
a. Situasi kegiatan berguru mengajar yang terdiri dari tiga komponen yaitu siswa senang belajar, siswa berani mengeluarkan pendapat dan siswa antusias dalam proses pembelajaran.
b. Keaktifan siswa yang terdiri dari tiga komponen yaitu siswa berani bertanya, siswa berani menjawaban pertanyaan dan siswa berani menanggapi pertanyaan dan jawabanan dari siswa lain.
c. Kemampuan siswa.
d. Hasil tes.
5. Refleksi
Data yang diperoleh dari tindakan kelas yang sudah dilaksanakan, akan dianalisis untuk memastikan bahwa dengan penerapan metode resitasi sebagai upaya meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPA materi rangka manusia. Dalam menganalisis data akan digunakan mekanisme dan metode-metode yang sesuai dengan tujuan yang ada atau yang akan dicapai, yakni mempersembahkan peluang pada siswa untuk menemukan pengetahuan-pengetahuan gres dalam pembelajaran IPA, sehingga siswa merasa pengetahuan yang gres didapatnya lebih berharga karena itu ialah hasil temuan sendiri yang pada akhirnya sanggup meningkatkan hasil berguru siswa.
Pelaksanaan mekanisme penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti yakni sebagai diberikut:
1) Siklus I
a) Tahap perencanaan tindakan
Dalam tahap perencanaan tindakan pada siklus ini, kegiatan yang dilakukan adalah:
(1) Peneliti menyusun silabus dan RPP yang berkaitan dengan materi rangka manusia.
(2) Peneliti mempersiapkan lembar observasi guru dan siswa.
(3) Peneliti mempersiapkan alat peraga/ media pembelajaran.
(4) Peneliti merancang skenario pembelajaran yang sanggup mengaktifkan siswa di dalam kelas.
(5) Merancang alat pengumpul data yang berupa tes dan digunakan untuk mengetahui pemahaman kemampuan siswa yang berkaitan dengan materi rangka manusia.
b) Tahap pelaksanaan tindakan:
(1) Pada siswa didiberikan klarifikasi umum wacana tujuan penelitian tindakan kelas sesuai dengan rancangan yang sudah direncanakan, baik terkena pengumpulan data maupun kegiatan-kegiatan yang lain.
(2) Kegiatan dalam penelitian tindakan kelas ini meliputi:
(a) Memdiberikan klarifikasi secara umum wacana pokok bahasan yang diajarkan dengan menggunakan taktik pembelajaran aktif dengan rasa ingin tahu siswa.
(b) Mendorong siswa yang belum aktif untuk aktif dalam mengikuti pembelajaran.
(c) Mengembangkan kemandirian siswa dalam mengerjakan kiprah berupa tes atau LKS
(d) Mengembangkan kreativitas siswa dalam melaksanakan proses pembelajaran
(e) Membina tanggung tanggapan dan disiplin siswa dalam mengerjakan kiprah yang sudah didiberikan oleh guru
(f) Mengamati dan mencatat siswa yang berpartisipasi aktif dalam pembelajaran.
(g) Memdiberikan tes kepada siswa yang berbentuk Lomba Kompetensi Siswa untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan dan pemahaman siswa terhadap materi rangka manusia.
(h) Mengumpulkan hasil pengujian yang diperoleh siswa dalam mengerjakan LKS.
(i) Menganalisa hasil tes yang sudah dikerjakan siswa.
(j) Memdiberikan penugasan pada simpulan pembelajaran yang relevan dengan materi rangka insan kepada siswa sebagai pelengkap untuk siswa terus belajar, berpikir aktif dan mempunyai pengetahuan yang luas biar bisa meningkatkan hasil berguru pada mata pelajaran IPA.
(3) Peneliti mengajar sesuai dengan skenario pembelajaran yang sudah dirancang dan mencatat kegiatan-kegiatan yang dilakukan siswa selama pembelajaran dengan memakai lembar observasi siswa.
(4) Peneliti mempersembahkan penilaian pada siswa untuk mengetahui pemahaman siswa berkaitan dengan materi rangka manusia.
c) Tahap observasi tindakan
Peneliti mengamati dan mencatat tiruana insiden yang terjadi pada ketika siswa mengikuti pengajaran dan menanyakan pada siswa yang kurang aktif dalam pembelajaran wacana kesusahan-kesusahan yang dihadapinya.
d) Tahap refleksi
Peneliti menganalisa hasil pekerjaan siswa dan hasil observasi oleh observer secara kolaboratif langkah diberikutnya. Peneliti memdiberikan kiprah yang didasarkan pada hasil yang didapatkan siswa pada penilaian yang dilakukan.
2) Siklus II
a) Tahap perencanaan tindakan:
(1) Mempersiapkan kemudahan dan masukana yang sesuai dengan materi pertama yaitu materi yang sudah disampaikan pada siklus I.
(2) Membuat materi didik yang akan disampaikan.
(3) Mempersiapkan angket.
b) Tahap pelaksanaan tindakan:
(1) Peneliti mempersembahkan klarifikasi wacana pokok bahasan yang akan dipelajari sesuai dengan materi yang sudah disampaikan pada siklus I, serta menerangkan kegiatan yang akan dilaksanakan berkaitan dengan pengajaran.
(2) Memdiberikan penilaian pada siswa untuk mengetahui kemampuan siswa dalam menguasai materi rangka manusia.
(3) Peneliti mempersembahkan Lomba Kompetensi Siswa kepada siswa, bahan didik yang didiberikan meliputi kiprah tindak lanjut dari siklus I.
(4) Pada simpulan pembelajaran, peneliti mempersembahkan angket kepada siswa untuk mengetahui bagaimana tanggapan siswa terhadap pembelajaran tersebut.
c) Tahap observasi tindakan
Peneliti mencatat hasil-hasil yang diperoleh anak didik serta mencatat kesalahan-kesalahan yang dilakukan anak didik dalam mengerjakan LKS yang berkaitan dengan materi didik yang didiberikan.
d) Tahap refleksi
Peneliti mengevaluasi bahan didik yang sudah didiberikan, mendata siswa yang sudah bisa menuntaskan soal dan bisa mendapatkan nilai di atas standar ketuntasan belajar. Untuk selanjutnya membuat kesimpulan yaitu menganalisis dalam upaya meningkatkan hasil berguru siswa pada mata pelajaran IPA materi rangka insan dengan memakai metode resitasi, yang berdasarkan pada hasil tes dalam penelitian tersebut.
0 Response to "Skripsi Penggalan I Hingga Iii"
Posting Komentar